; Alfa Arkana Eounoia
Tubuh kurus dengan tinggi hampir 170 cm, yang berharap tingginya itu bertambah menjadi 175 cm, memiliki hidung yang mancung serta kulit sawo matang terang. Pria berdarah Lampung itu tengah berdiri, bersemangat menyambut pagi. Hari itu jarum jam berdetak tepat pada pukul Tujuh pagi, ketika semua berawal. Aku begitu bersemangat menyambut hari dengan ribuan aktivitas, meski matahari tak tampak cerah namun tak sedikitpun bisa mengurangi semangat empat puluh limaku.
Sore nanti usai pulang kerja, aku memiliki janji dengan Nara sahabat baruku. Kami akan bepergian untuk mengunjungi salah satu yayasan dimana aku dan Nara pernah bersama-sama berjuang menimba ilmu selama satu bulan penuh.
Kawan-kawan biasa memanggilku Noia. Semalam aku dan Noia chatting via whatsapp, begitu banyak yang kami obrolkan hingga larut malam. Tanpa sengaja obrolan kami menyinggung masalah program lanjutan leadership yang mana kami merupakan salah satu alumninya. Aku adalah alumni leadership Yayasan Satu Nama angkatan pertama tahun 2015, sedangkan Nara merupakan alumni tahun setelah aku, yakni tahun 2016. Pada tahun 2016 aku diberi mandat oleh Pimpinan yayasan satu nama untuk menjadi penggerak dalam program sama.
Satu bulan sudah kami lalui bersama, kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan yang begitu indah dan cepat terjalin diantara kami. Begitu banyak kenangan penuh suka duka terkenang, sampai hati tak ingin melepas semua. Berat hati untuk meninggalkan, namun siap atau tidak semua akan tetap berjumpa pada sebuah perpisahan sampai batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Aku percaya bahwa setiap pertemuan akan berakhir pada sebuah perpisahan dan aku percaya setiap perpisahan bukanlah untuk berpisah selamanya, aku percaya Allah akan mempertemukan kita meski dilain waktu, tempat, dan usia serta dengan suasana yang berbeda. Begitupun dengan sebaliknya.
Hari-hari berlalu, semua dilalui dengan kesibukan dan aktivitas sebagaimana biasanya dan tanpa terasa Empat Bulan berlalu sudah. Liburan akhir pekan terlewatkan begitu juga dengan Ramadhan dan Hari Raya. Malam ini kami bernostalgia kembali kedalam masa-masa indah yang kelabu dengan mengenang berbagai macam kisah meski telah menjadi album kenangan namun tetap terkenang selamanya.
Suasana malam pada bulan Juni cukup dingin, ditambah lagi dengan suara gemuruh hujan dan petir menyambar membuat diri tak ingin keluar rumah. Apalagi akhir ini tugas kuliah banyak menumpuk. Sembari mengerjakan tugas kuliah ditemani dengan secangkir kopi, kubuka kembali file-file lama di laptop. Tak sengaja aku melihat ratusan foto sisa-sisa kebersamaan pada program leadership, begitu indah kebersamaan, kekompakan, keberagaman, dan kekeluargaan yang terjalin. Meski hanya satu bulan bersama namun begitu banyak pengalaman, ilmu, dan wawasan yang didapatkan. Rupanya aku merindukan mereka para pejuang hebat juga keluarga baru di pesantren. Maklum orang jomblo, tak ada yang dirindukan melainkan kenangan bersama kawan.
Entah, mendapatkan ide dari mana. Tiba-tiba saja aku chat kawan alumni satu persatu, sembari menanyakan kabar mereka sebab sudah lama kita tak saling sapa meski hanya sekedar memberi kabar. Hingga pada akhirnya terbentuklah suatu forum dalam grup whatsapp dan tercetuslah ide brilian untuk mengunjungi pesantren. Namun sayang tak semua kita bisa ikut, sebab beberapa diantara kami berada di luar kota, seperti Bangka Belitung, Jambi, Baturaja, Palembamg, dan Aceh. Tak banyak pula yang berada di kota-kota di Lampung, hanya aku, Nara, dan Reja saja yang masih menetap di kampung. Maklum kami semua berasal dari keluarga yang sederhana jadi tidak bisa hidup dengan berpoya-poya dan bergelimang harta, semua harus diatur dengan sebaik-baiknya apalagi masalah pendidikan untuk masa depan. Ditambah lagi dengan tahun ajaran baru, jadi tidak mungkin akan meninggalkan aktivitas ngampus.
Sebab sibuk dan jauh, maka hanya aku dan Nara saja yang hadir untuk bersilaturahmi di pesantren. Meski hanya berdua, tak mengurangi rasa kebersamaan dan kekompakan kita sebagai keluarga yang dipertemukan dalam satu forum.
ᴥᴥᴥᴥᴥᴥ
Empat puluh menit perjalanan menuju pesantren, dengan mengendarai sepeda motor kami-pun tiba. Begitu senangnya hati melihat suasana rumah yang sudah lama tak terlihat serta sambutan para santri yang penuh bahagia dengan wajah berserinya, satu persatu menyambut dengan saling berjabat tangan.
Sembari menunggu Abah dan Ibu Nyai di ruang tamu. Aku disibukkan dengan ponselku. Begitu banyak pesan masuk sebab selama perjalanan tak sedikitpun menyentuh ponsel jadi aku balas satu persatu pesan itu. Fokusku kini hanya pada ponsel, ya tak lain hanya ponsel. Sampai suatu ketika ada seorang anak mengucap salam dari balik pintu tak aku hiraukan.
“Assalamu’alaikum,” sapa suara itu dari balik pintu.
Karena hanya terfokus kepada ponsel. Jadi salam itu tak terdengar oleh telingaku. Sampai akhirnya anak itu mengetok pintu dengan sedikit keras.
“Assalamu’alaikum,”
Seketika fokusku buyar, aku terkaget, langsungku berdiri melangkah menuju pintu dimana suara itu berasal.
“Wa’alaikum salam,” ujarku, Aku tersipu malu melihat sosok yang sudah sejak tadi berdiri di balik pintu.
Seorang anak laki-laki, dengan wajah berseri, matanya bening bak purnama kedua belas. Diam, tenang sekatika. Dengan penuh tatap. Ia menatap wajahku dengan serius dan begitu tajam.
Aku malu ketika menatap wajahnya sebab ia sudah berkali-kali mengucap salam namun tak aku hiraukan. Anak itu mengulurkan tangan, akupun menerima juluran tangan itu dengan begitu sigap dan cepat. Ia mencium tanganku lalu pergi.
Aku ternganga melihat langkah demi langkah kaki itu meninggalkanku. Fokusku kini berpindah pada anak itu. Sekujur tubuh terasa kaku seketika tak sedikitpun mata ini berpaling darinya, padahal ia telah pergi meninggalkanku begitu jauh. Entah jin apa yang telah merasuki ragaku atau mungkin aku telah terhipnotis olehnya.
Dia benar-benar telah membuatku terlena, ia bagaikan malaikat yang baru saja Allah hadirkan untuk menemuiku beberapa saat. Wajahnya tenang setenang air ditelaga pada siang hari yang mampu menghilangkan penat dan panas seketika. Senyum nya mampu menentramkan hati, sebagaimana ketika berada dibawah pepohonan yang rimbun pada siang hari. Kutatap lamat-lamat bayang demi bayangan yang kian menghilang dari pandangan dan segeraku bergegas untuk menyusulnya.
“Hei tunggu,”
“Siapa namamu dik?”
“Bisakah kita berkenalan sebentar?”
Tak sedikitpun ia mendengarkan suaraku. Bayangan itu semakin menghilang tak meninggalkan jejak. Aku benar-benar dibuat penasaran olehnya, siapakah gerangan? Mengapa aku begitu penasaran dengan anak itu, sehingga hati ingin segera untuk bertemu.
∆∆∆ B E R S A M B U N G . . . . . ∆∆∆
Comments
Post a Comment