”Ahad”
Bintang Untuk Noah Part 4
"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan ketiga........ Untuk membaca tulisan ketiga, silahkan klik >>> Majelis....."
NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.
follow instagram : @pecandusastra96
Twitter : @pecandusastra96
Email : disisisf.bpun@gmail.com
Purnama begitu bersemangat, tak sabar
menuju yayasan. Bersama sang Mama; Bu Muslimah, ia mengendarai sepeda motor
jenis honda miliknya. Membawa bingkisan kado iuran rekan-rekan kerja sekantor
di madrasah.
Dengan balutan kemeja polos, hijau
muda. Yang dipadukan dengan kain songket berwarna jingga pada pergelangan
tangan dan tepi baju bagian tengah, serta bagian kerah. Serupa dengan yang
dikenakan oleh Bu Muslimah. Bawahan panjang, hitam polos. Sengaja ia minta agar
Bu Muslimah mengenakan pakian yang sama. Ia rindu dengan suasana sebagaimana
hari raya. Terlihat romantis. Sangat jarang bisa menikmati waktu bersama sang
Mama. Tak lupa pula ia kenakan peci hitam, pantopel, serta jam tangan sebagai
pelengkap.
Hari beranjak siang, tidak juga ia
menemukan bayang Noah. Kemana saja anak itu, sedari pagi tak terlihat. Dari
sekian orang hilir mudik, melintasi alun-alun. Tidak juga berjumpa dengannya.
Matanya tak terdiam lirik sana-sini.
“Maaf nak. Apakah kau melihat Noah?” Purnama
menghentikan laju seorang siswa yang melintas di hadapnnya.
“Noah. Siswa madrsah tsanawiyah kah
bang?”
“Ya, betul. Siswa baru yang berasal
dari Kota Bambu!”
“Coba abang cek ke asrama, sepertinya
ia tadi menangis”
Baik. Terima kasih, nak”
“Menangis?” ada apa dengan Noah, pagi
begini menangis. Benarkah? Bukankah semalam ia baik-baik saja? Apa ada yang
jahil kepadanya? Ia segera bergegas menuju asrama, usai mendapat informasi
tersebut.
“Pagi Noah,” Purnama menyelinap masuk
tanpa permisi sembari melambaikan tangan kearah Noah. Ia tersenyum. Seolah tak
tahu apa yang terjadi pada Noah.
Raut wajah anak itu sama sekali tidak
memberikan tanda-tanda yang menyimpulkan bahwa ia baru saja menangis. Hanyalah
senyum riang yang terpaut pada wajahnya, sudah menjadi ciri khas setiap kali
berjumpa. Namun sudut matanya sedikit membengkak, seperti orang yang menangis
lama. Ketika Noah melihat Bang Purnama memasuki kamar, ia segera mengelus pipi.
Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Benarkah Noah dijahili oleh anak lain,
atau sebab ia merindukan kedua orang tuanya? Pertanyaan itu memenuhi pikiran
Purnama. Ia berusaha menggali informasi,
berbagai cara ia gunakan, supaya Noah terjebak dan bercerita. Namun tetap saja
ia ngeles, berkata tidak apa-apa, sebagai jawaban. Mungkin ia belum
akrab dengannya, sebab itu Noah tak berkata jujur.
“Hayu kita ke alun-alun,” Purnama
manarik tangan Noah, keduanya berdiri dan segera bergegas. Hari semakin siang,
asrama mulai nampak sepi. Sebentar lagi resepsi Mas Ibrahim akan segera
berlangsung.
Sesampai keduanya di alun-alun.
Purnama dan Noah duduk di tepi kolam, bersebelahan dengan pohon mangga, tepat
di depan rumah Ustadz Habiburrahman. Menanti sepasang pengantin, keduanya turut
mengiringi pengantin menuju pelaminan.
Sembari menunggu, mereka berbincang
sembari guyon dan tebak teka-teki bersama siswa serta panitia lainnya.
Bahkan sebelum pada bubar untuk menjalankan tugas masing-masing, Purnama
menyempatkan mengambil gambar bersama rombongan mengenakan kamera miliknya,
secara bergantian.
Bang Purnama turut ikut rombongan
pengantin bersama grub nasyid, ia sebagai photografer, ditemani Adin;
kakak kelas Noah. Sedangkan Noah sendiri kembali pada tanggung jawabnya. Hingga
menjelang siang hari, Purnama banyak menghabiskan waktu di panggung utama, tak
jauh dari grub nasyid.
Kring!!!
Suara ponsel Purnama berdentang dari
dalam saku celana yang ia kenakan. Getaran yang disebabkan ponsel tersebut
membuatnya tak kuasa untuk segera mengambil dan menerima panggilan itu. Belum
sempat ia menjawab, ponselnya kembali hening, terlebih dahulu terputus. Ada
banyak pesan whatsapp yang masuk, baik chat personal maupun pesan
grub.
Satu pesan dari sahabatnya, yang
terlebih utama ia baca. Sahabat semasa bimbel dua tahun silam. Kemarin, sengaja
ia mengundang teman-teman alumni bimbel untuk hadir. Sebab meraka –pun bagian
dari keluarga besar yayasan, satu bulan penuh tinggal di Yayasan Permata, guna
menuntut ilmu. Lagi pula Mas Ibrahim
juga pernah mengisi kajian malam pada saat itu, sebagai kelas inspirasi dan
motivasi.
Dani, Firza, dan Syahri. Tiga sekawan,
yang akrab sejak masa putih abu-abu. Ketiganya dipertemukan dengan Purnama.
Sejak ikut bimbel ia mengenal dan bersahabat baik dengan mereka. Rumah
ketiganya-pun tidak saling berjauhan, hanya saja berbeda kampung, dalam satu
kecamatan. Sama dengannya. Tak jarang ia bersilaturahmi kerumah ketiga
sahabatnya itu, dikala waktu luang. Saat ia masih berada di Kota Bambu dulu,
sekarang ia dan ketiga sahabatnya terpisahkan oleh jarak.
Ia mengabdikan diri di Yayasan
Permata, sekaligus melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di kampus lokal.
Kampus dimana sahabatnya Firza menempuh pendidikan. Hanya saja Firza terlebih
utama mengenyam pendidikan dibandingkan dirinya. Beda jurusan. Sedangkan Dani,
ia menjadi karyawan honorer di salah satu kantor milik pemerintah setempat,
sembari kuliah juga. Hanya Syahri yang
tinggal diluar kota. Menempuh pendidikan disana. Ia berhasil meraih beasiswa.
Purnama berharap, agar semua sukses sebagaimana jalan yang telah Allah tentukan
bagi mereka.
Ketika hendak menyusul ketiga sahabatnya
yang sudah menanti jemputan di Masjid Al Furqon. ia tak sengaja berjumpa Noah
yang sedang bersama dengan dua wanita. Keduanya sama sekali belum ia kenal,
duduk, berbincang-bincang di tepi masjid. Ia melangkah, menghampiri. Mengusik
suasana.
“Assalamu’alaikum”
–Purnama bertutur, memecah suasana. Tersenyum, menatap dengan serius.
“Wa’alaikum
salam,”
“Puan.
Sudah selesai mengambil gambarnya” –Noah menghampiri Purnama, menarik ke arah
wanita disampingnya.
“Belum
dik, masih istiharat. Ada kawan Puan dari Kota Bambu, turut hadir” –“Wanita ini
siapa” ujar Purnama berbisik kepada Noah sembari melirik kearah wanita
disamping mereka.
“Perkenalkan,
ini Bunda Aisyah” Menunjuk kearah wanita berkebaya abu-abu. –“sebelahnya ayunda
Mila”
“Salam
kenal. Purnama, sahabat Noah” –Purnama menjulurkan tangan, bersalam-salaman.
“Purnama
kelas berapa?” tutur Bunda Asiyah bertanya.
“Haa?
Kee.. Ke... Kelas satu aliyah. Iya kelas satu. Siswa baru juga,” Purnama
terbata-bata. Ia berbohong. Nyengir, malu-malu.
Purnama
berbohong mengenai posisinya di yayasan, sebab ia ingin akrab dengan Noah.
Sebab itu ia mengaku, jika dirinya masih duduk di bangku aliyah kelas satu.
Agar Bunda Aisyah tidak juga canggung.
Secara
wajah, memang masih seperti pelajar. Suatu ketika, saat ia diminta untuk
mengantar berkas ke salah satu sekolah, bersama Adin sahabatnya. Saat itu, ia
ditanya dengan tatapan serius oleh kepala sekolah yang menyambutnya. Ia mengira
bahwa Purnama masih duduk dibangku tsanawiyah kelas tiga.
Secara
badan, masih mumpuni. Hanya saja, kurang berisi. Jadi tak apa jika ia
berbohong, Lagi pula Noah pasti akan mengklarifikasi hal itu kepada sang bunda.
Tak
banyak yang ia bicarakan, hanya sekedar basa-basi. Sosok Bunda Noah masih
terlihat muda. Raut wajahnya menandakan jika ia adalah sosok yang penyayang
terhadap anak-anak. Pejuang tangguh.
Ia
segera pamitan, menemu sahabat-sahabatnya. Ia tak ingin banyak mengganggu waktu
kebersamaan Noah. Apalagi, jika pagi tadi Noah menangis sebab ia rindu dengan
bundanya. Sangat wajar, jika anak seusianya sangat rindu pada orang tua. Ia pun
dulu sama demikian, baru sepekan berada di tanah rantau, sudah rindu saja
dengan mama dan ayah di kampung halaman. Noah adalah sosok yang sangat akrab
dengan ibundanya sedari kecil, sebab itu
ia tidak terbiasa jauh.
Comments
Post a Comment