Doktrin Jahat


Doktrin Jahat

 Oleh : Senja Jingga Purnama (@pecandusastra96)

Bintang Untuk Noah Part 6


"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan kelima........ Untuk membaca tulisan kelima, silahkan klik >>> Salah Paham....."


NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.

follow instagram : @pecandusastra96

Twitter : @pecandusastra96

Email : disisisf.bpun@gmail.com 

          


        Lima hari pasca resepsi pernikahan Ibrahim dan istri. Purnama tak lagi berjumpa dengan Noah. Terakhir ia bertemu, siang hari di beranda Masjid Al Furqon bersama Bu Aisyah dan bibi Noah. Ketika ia hendak menyusul sahabatnya.

 

          Kesibukan civitas akademik perkulihan di kampus yang baru aktif sepekan terakhir, memberikannya banyak tuntunan, yang mengharuskan ia untuk ijin beberapa hari dari madrasah. Nasib baik ia mendapatkan kelas perkuliahan siang hingga sore hari, sehingga ia masih bisa berbagi waktu antara kuliah dan mengabdi di madrasah.

          Purnama sama sekali tidak berminat menjadi seorang pendidik, sebab ia tak punya latar belakang pendidikan. Apalagi ia barusan menghatamkan pendidikan menengah atas, masih banyak pe-er yang harus ia benahi. Kalau bukan sebab madrasah kekurangan tenaga pendidik, ia tidak akan pernah mau mengajar. Ia lebih senang berada di kantor sebagai staff TU.

 

          Teiga hati terakhir, seharian full perkuliahan padat. Sebagaimana pada umunya, setiap mahasiswa bary diwajibkan untuk mengikuti orientasi perguruan tinggi (ospek) atau yang lebih ngetren di kampusnya dengan isilah perkenalan budaya kampus (PBK). Hal itu wajib ia ikuti sebagai syarat yang sah untuk menjadi mahasiswa yang diakui di kampus setempat.

 

Purnama mendadak jadi rindu dengan suasana madrasah. Suara bising yang biasa gaduh dan memecah suasana kelas. Meskipun siswa madrasah sedikit, namun tidak mengurangi antusias dan semangat anak-anak. Suasana kelas hidup dan ramai. Ia jadi teringat dengan Noah.

Rindu tatapan teduh matanya, rindu akan senyum khasnya, dan suara itu. –“Apa kabar Noah? Semakin penasaran dengan sosok anak itu, latar belakangnya, keluarga. Purnama berharap ia bisa akrab dan bersahabat dengan Noah. Bahkan ingin menjadikan dirinya sebagai bagian dari keluarga.

         

          Hor are you?”  tulis Purnama pada keterangan sebuah poto yang ia unggah sebagai story whatsapp miliknya. Poto kenangan majelis malam lalu. Masih membekas raut riang wajah anak itu dalam benaknya.

 

          “Apakah itu Noah?” ujar Intan membalas story whatsapp yang ia posting beberapa menit lalu. –“Pagi tadi aku melihat ia menangis,”

 

Intan merupakan pembimbing akademik bidang pengetahuan alam. Dua tahun lebih utama mengabdi di yayasan. Memiliki pribadi yang cukup baik, hanya saja ia dan Purnama sering beradu argumen sebab tak sama pemikiran. Ya hal biasa.

 

Purnama kaget mendengar akan hal itu. Segera ia membalas pesan. Penasaran akan hal yang terjadi pada Noah. –“Apa hal yang membuat ia menangis?” jawab Purnama penasaran. Terbengong menatap layar ponsel. Menunggu jawaban.

 

          “Entahlah. Aku pun tidak begitu paham. Hal apa yang sebenarnya terjadi padanya. Menurut informasi yang didapat, ia menangis sebab di jahili oleh kakak tingkat nya di aliyah”

 

          “Terima kasih bu informasinya”

 

          Hal apa yang membuat Noah menangis. Jika benar demikian, sebagaimana informasi yang diberikan Intan.

 

          Ia mulai seudzon. Sepengetahuan dirinya, anak-anak aliyah memang suka jail, terutama kepada siswa baru. Atau memang benar itu salah Noah.

          Jika benar demikian! Sungguh sangat keterlaluan sikap anak-anak. Seharusnya mereka sebagai kakak dan senior, harus bisa membuat adik-adiknya betah. Bukan mahal dibuat nangis dan dijahili macam ini, memangnya mereka mainan, dengan seenaknya mereka permainkan. Jikapun itu hanya sekedar candaan, tak baik pula sampai membuat ia menangis semacam itu, kan masih banyak candaan lain yang lebih baik dan mendidik. Seandainya orang tua mereka tahu, pasti akan marah besar.

         

 

          Pagi itu Purnama memutuskan untuk kembali masuk madrasah, setelah beberapa hari ijin. Tak sabar untuk segera mencari tahu penyebab Noah menangis.

 

Aktivitas di kampus kosong, kemarin adalah hari terakhir perhelatan PBK. Ia sudah berusaha untuk aktif dalam forum, diberbagai kesempatan ia banyak bertanya mengenai topik pembahasan. Namun sayang predikat yang ia idamkan masih belum bisa ia raih; sebagai peserta terbaik pekan PBK. Sangat melelahkan memang, bahkan semalam ia tertidur begitu nyenyak hingga subuh menjelang. Pekerjaan diluar pun sedang free, sebab itu ia putuskan kembali ke madrasah. Apalagi jadwal mengajar memang padat, setiap hari mengharuskan dirinya untuk hadir.

 

“Puan,” sahut Adin menyapa dari depan kelasnya. Melambaikan tangan. –“Apa kabar Puan. Sudah lima hari tidak masuk, kemana saja?”

 

“Alhamdulillah. Baik Din. Sebagaimana yang kau lihat sekarang,” –“Dunia perkulihan membuat sedikit sibuk dan menyita banyak waktu pekan ini. Alhamdulillah pekan esok full kosong jadwal. Sangat bagus sebagai penawar lelah PBK kemarin!”

 

“Puan sudah tahu informasi?”

 

“Informasi apa?” ia penasaran. Matanya terpelongok. Menatap serius. Menunggu jawaban. Seakan tidak tahu apa-apa.

 

“Kemarin adek barumu menangis”

 

“Adek baru. Maksudnya?” Bingung. Mengangkat kedua bahu.

 

“Aissh, pura-pura enggak tahu agaknya” –“Adek yang waktu kau ajak poto bareng di taman, saat resepsi Pak Ibrahim”

 

“Eeeeh. Iiiyaaa deh” Purnama bingung. Terbata-bata. Tahu dari mana sahabatnya itu, jikalau ia berniat menjadikan Noah sebagai adiknya. Belum juga ia bercerita.

 

Untuk seorang Adin, ia sangat mudah memahami karakter Purnama. Terlebih jika Purnama sudah sayang dan menaruh perhatian. Purnama tersenyum, meyembunyikan sikap malu dari sahabatnya itu.

 

“Apa yang membuat Noah menangis?” tanya Purnama penasaran.

 

“Ia dijahili oleh Fikar,”

 

Dugaan Purnama benar. Noah dijahili oleh kakak tingkatnya. Anak-anak bercandanya suka berlebihan.

 

Paman Noah marah besar sebab hal itu. Terlebih kepada Fikar, ya memang salah dirinya sampai begitu. Apalagi Noah masih kecil dan berstatus siswa baru. Tak sepantasnya mereka berbuat semacam itu.

 

Purnama memperhatikan sekitar, matanya melirik sekeliling. –“Sedari tadi aku tidak melihat Noah. Apakah dia baik-baik saja?”

 

“Lha dia kan pulang. Kemarin bunda dan paman nya kesini, sebab itu beliau marah besar,”

 

Ia semakin bingung akan sikap anak-anak. Berkali-kali ia peringatkan agar tidak berlebihan dalam candaan, sebab hal itu yang ia khawatirkan terjadi. Begitu keras kepala mereka, sangat susah diatur dan di tahlukan.

Hal itu yang membuat dirinya mundur, untuk mencari kostan diluar. Ia lelah, selalu dimarah, dimaki-maki oleh pimpinan yayasan. Setiap anak-anak melakukan kesalahan, selalu ia yang dibawa, meskipun sedikit. Ia sudah berusaha untuk berlaku adil terhadap siapa-pun itu, baik sahabat maupun yang lain. Merangkul semua, memberi nasihat, motivasi, dan masukan-masukan positif. Selalu saja mereka menyamakan dirinya dengan mereka, sebab diantara penasihat-penasihat asrama, hanyalah dirinya yang paling muda. Hal itu yang membuat dirinya lebih akrab dengan anak-anak. Umurnya-pun tidak begitu jauh berbeda, apalagi ia baru tiga tahun menghatamkan pendidikan menengah atas.

 

Purnama memilik mengalah ketimbang mempertahankan posisi. Baginya jidup mandiri diluar sudah biasa ia jalani, sebab sedari masa putih abu-abu ia sudah tidak lagi bersama kedua orag tuanya.

Dari pada terus-menerus disalahkan. Ia harap anak-anak bisa tenang dan tidak lagi ada kecemburuan sosial. Namun nyatanya tidak juga.

 

 

    

 

          Rasa khawatir mendadak hadir menyelimuti perasaan Purnamaa. Bagaimana jika Noah menuntut abah dan bundanya untuk dipindahkan dari yayasan. Bisa saja ia bersandiwara. Bercerita yang enggak-enggak, supaya kedua orang tuanya percaya dan terbujuk untuk memindahkan Noah. Bukankah kemarin ia merasa tidak betah dan menangis. Rindu dengan Bunda dan keluarga di rumah.

         

Satu-satu cara untuk mendapatkan informasi mengenai Noah dengan menghubungi orang rumah. Purnma kebingungan. Bagaimana ia mendapatkan kabar Noah, sedangkan ia sama sekali tidak punya nomor telepon satupun anggota keluarga Noah. Saat jumpa Bu Aisyah pada rsesepsi lalu, ia pun lupa untuk meminta.

Purnama terdiam. Teringat sesuatu. Segera ia bergegas menuju ruang kantor madrasah. Mengobrak-abrik isi lemari kayu tua yang terletak diujung utara ruang kantor persegi. Dilihatnya satu persatu kertas yang menumpuk tinggi bagaikan bukit. Formulir. Ya. Hanya itu yang ia ingat. Biasanya, setiap siswa baru memiliki data dalam lembaran kertas. Identitas pribadi, hingga keluarga. Mungkin ia dapat menemukan nomor telepon keluarga Noah yang dapat ia hubungi nantinya.

 

          Selang beberapa menit, usai mengacak-acak kondisi kantor. Membongkar semua berkas pendataan siswa baru yang menjadi arsip madrasah. Purnama tersenyum riang. Wajahnya sumringah. Lega. Akhirnya sesuatu yang ia cari berhasil ditemukan.

 

Pada lembaran kertas milik siswa bernama Noah, ia mendapatkan sebuah nomor telepon yang tertera, atas nama Bu Aisyah.

          Tak sengaja ia baca sekilas, sedikit informasi pribadi Noah yang tertulis pada lembaran formulir yang kini berada di tangannya. Nama ibu; Aisyah. Ayah; Asy’ari (Alm). Ia terdiam. Bertanya-tanya. –“Apa benar Noah tidak lagi memiliki sosok Ayah? Sebab itukah ia begitu akrab dengan Bunda. Pada lembaran selanjutnya, tepat pada lembar kertas biru langit, sebagai kartu keluarga (KK). Tertera empat nama, diantaranya nama Noah, dan Bu Aisyah. Satu nama yang menambah ia menjadi lebih kebingungan. Prabu, selaku kepala keluarga. –“Siapakah Asy’ari yang tertera dalam formulir itu. Lalu siapa Prabu dalam KK.

 

          Usai mencatat nomor telepon yang ia dapatkan. Ia kembali berbenah, membereskan isi lemari yang telah ia obrak-abrik. Menuju kelas, menyelesaikan tugas hari itu.

 

 

         Setelah beberapa menit, melaksanakan ibadah sholat maghrib. Ia mencoba untuk menghubungi Bu Aisyah.

         Purnama gugup. Antara lanjut menghubungi atau lain kali saja. Ia memantapkan diri. Percaya. Bismillah.

 

         Berulang kali ia hubungi, namun tak satupun yang mampu terhubung. Sebab itu ia bertanya melalui pesan singkat.

 

         “Assalamu’alaikum” –Tulisnya. Purnama menyapa. Memperkenalkan diri, dan bertanya. –“Saya Purnama, salah seorang pendidik di madrasah Noah. Bagaimana kabar Noah, dengar kabar ia kemarin menangis sebab kakak tingkatnya. Apakah benar?”

 

         “Kemarin, saya mendapat kabar itu dari Bu Intan, rekan sekantor. Sebab lima hari belakang ini saya ijin dari madrasah dikarenakan aktivitas diluar. Jadi tidak tahu perkembangan di madrasah.”

 

         Ia was-was. Khawatir. Tidak juga pemuda itu beranjak dari tempat tidurnya. Menatap layar ponsel, menanti jawaban. Tiga puluh menit setelah ia menerima laporan, bahwa pesan yang ia kirimkan telah berhasil diterima oleh nomor tujuan. Jawaban yang ia tunggu akhirnya tiba. Sebuah pesan baru, masuk. Dari Bu Aisyah. Namun sayang, jawaban yang ia dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Bahkan pesan itu membuat ia bertanya-tanya. Kecewa.

 

         “Sudah.lah. Jangan lagi abang ikut cam-pur urusan hidup.ku lagi. Lyla” pesan itu terputus-putus ejaannya.

 

         Sungguh ia merasa sangat bingung akan jawaban itu. Benarkah itu Noah yang ia jumpai di majelis. Siswanya yang sudah sebulan belum ia kenal. Apa benar itu dia yang membalas? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya.

        

         Dari cara pengetikan pesan itu, jelas. Bahwa orang yang membalas pesan tersebut belum begitu memahami, pengetikan yang benar melalui smartphone. Isi pesannya-pun seperti tulisan anak-anak. Dan tertera nama Noah.

         Jika benar itu dia, mengapa ia berubah memanggil Purnama dengan sebutan awal. Bukankah ia telah berjanji untuk memanggil Puan, sebagai panggilan akrab.

 

         “Baiklah nak. Maaf jika membuatmu tidak nyaman. Aku tidak akan lagi ikut campur,”

 

         Masih tak percaya. Purnama berharap sesuatu yang lebih baik. Mungkin ia salah nomor, atau ada yang iseng. Entahlah. Pikirannya kacau.

 

         Ia paham, jika Noah sedang dalam masalah. Pasti ada sesuatu yang tidak beres terhadap dirinya. Tidak mungkin secepat itu ia berubah. Tidak seperti saat majelis lalu, ia menyapanya dengan senyum. Padahal keduanya belum begitu akrab, bahkan ia sama sekali lupa akan Noah. Sebab itu ia membalas dengan perkataan sedemikian. Jika benar itu Noah, ia tidak ingin menambah emosi dan tensi nya.

 

         Masalah ini harus segera usai. Purnama yakin ada sesuatu di balik semua.

 

 

         Lima menit, setelah ia membalas jawaban pesan yang ia terima. Telepon Senja berdering. Bu Aisyah menelpon. Ia terdiam. Heran.

 

         “Bunda Noah! Ada apa ya” –apa ada yang salah dalam perkataan pada pesan yang ia tuliskan. Kembali ia buka pesan-pesan yang telah ia kirimkan tadi. Tak ada yang salah. –“Apa benar itu Bu Aisyah” Ia bergumam penuh tanya. Atau itu Noah. Ia takut jika Noah bertambah marah padanya, enggak jelas. –Siapapun itu, tak baik jika ia tolak panggilannya. Apalagi ia sedang tidak sibuk.

 

         “Assalamu’alaikum” jawabnya hati-hati. Pelan. Lembut.

 

         “Wa’alaikum salam”

 

         Terdengar suara seorang wanita dari seberang. Lega. Purnama mengelus dada.

 

         “Dengan Ibunda Noah. Mohon maaf sebelumnya pak, atas ketidak-sopanan anak saya; Noah”

 

         “Ohya bu, tidak mengapa” Alhamdulillah. Mengelus dada. Menghela napas sejenak. –“Saya memahami hal itu, namanya juga anak-anak. Mungkin saja ia sedang dalam masalah,”

 

         “Benar pak. Kemarin ia menangis. Saat kita menjemput Noah, ia bertutur kepada kami, jika ia di jahili dengan kakak tingkatnya di aliyah,”

 

         Jadi benar akan hal itu. Purnama menggeleng kepala. Memukul jidat.

 

         “Mohon maaf bu, sebelumnya. Saya tidak bermaksud ikut campur, hanya ingin mengklarifikasi dan meluruskan saja. Sebagai pendidik sekaligus orang yang di percaya sebagai wali kelas, saya merasa kurang perhatian jika tidak tahu akan hal itu,” –“Sebab penasaran akan hal yang terjadi. Setelah bertanya kepada anak-anak yang akrab dengan saya, namun saya masih belum puas akan informasi yang didapatkan. Sebab itu saya menghubungi sampean,”

 

         “Setelah kita introgasi, hal itu hanyalah candaan pak. Namun hal yang membuat kami bingung dengan anak-anak, candaannya berlebihan. Tahu sendiri anak saya masih baru di yayasan, ya seharusnya mereka turut membantu supaya Noah betah di asrama,” –Membujuk Noah untuk tinggal di asrama saja begitu susah pak, butuh waktu dan rayuan yang menyakinkan dirinya.

 

         “Saya mewakili anak-anak memohon maaf bu. Akan saya nasehati mereka agar tidak lagi mengulang hal itu” –Senja sedih mendengar hal itu. Matanya berlinang. Kabut air mulai menyelimuti kelopak mata. Ia begitu paham bagaimana rasanya menjadi seorang Noah, sebab ia pun pernah merasakan asam asinnya kehidupan di yayasan.

 

         “Terima kasih pak. Saat ini Noah masih di rumah, acara keluarga,”

 

         “Sama-sama bu. Kapan ia kembali”

 

         “InshaAllah dua hari lagi, setelah idul adha. Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidak-sopanan Noah terhadap bapak”

 

         “Siap Bu. Tidak mengapa. Salam untuk Noah.”

 

         Purnama begitu bersyukur, bisa mendapatkan informasi secara langsung dari Bunda Noah. Ia senang jika Noah baik-baik saja, meskipun ia berubah terhadap dirinya. Hal itu menjadi dua sisi baginya, senang mendapat kabar bahwa Noah akan segera kembali ke madrasah. Sedih mendengar keluh kesah Bu Aisyah akan perlakuan anak-anak. Ia berjanji akan segera mencari tahu penyebab yang membuat Noah berubah, berkata demikian itu.

 

 

    

 

 

         Dua hari berlalu. Idul adha-pun ikut usai. Umat muslim menyambut dengan riang hari raya qurban itu. Purnama menghabiskan waktu di tanah rantau, merayakan idul adha bersama keluarga angkatnya. Seperti biasa, setiap idul adha ia tidak pernah pulang kampung. Sejak menginjakkan kaki di tanah rantau 2012 silam, ia selalu merayakan hari besar Islam itu di negeri orang. Selain hari libur yang hanya satu hari, almarhum ayah nya pernah berkata, bahwasanya untuk merayakan hari kemenangan itu harus terbagi. Antara keluarga di kampung halaman dan di tanah rantau.

 

 

         Rangkaian demi rangkaian acara di helat, menyambut semarak hari kemenangan. Kehadiran hari raya qurban. Yayasan Permata turut memeriahkan hari itu. Dua hari sebelum idul adha, keluarga besar Yayasan Permata menggelar manasik haji bersama siswa-siswi madrasah, dan hari ini karnaval kembali di gelar. Sebagai bentuk cinta tanah air dan ta’aruf kepada masyarakat sekitar. Purnama turut ikut memeriahkan, sedari pagi mendampingi anak-anak keliling kampung. Arak-arakan dengan berbagai jenis busana dan tampilan kreasi seni. Hal itu juga dilakukan agar banyak masyarakat tertarik untuk menyekolahkan anaknya di Yayasan Permata.

         Rasa lelah usai seharian keliling mulai menghakimi Purnama. Setengah hari ia keliling kampung mengawal anak-anak, dibawah panas terik matahari. Meski ia tak banyak ikut jalan kaki, namun tetap saja rasa letih pada lutut terasa. Hal itu sudah biasa ia lakukan, sedari masa duduk dibangku sekolah dasar hingga menengah atas, ia selalu berjalan kaki menempuh jarak ke sekolah. Sangat jarang ia mengenakan kendaraan. Hanya beberapa saat saja, semasa putih abu-abu. Sebab saat itu sering diajak paman Satria untuk jalan bareng. Kantor paman pun searah dengan sekolah. Mungkin sebab sudah jarang ia lakukan, sebab itu betis dan sekujur kaki Senja sakit-sakitan.

 

         Pukul 22.15. Menatap layar komputer. Masih banyak tugas-tugas yang harus segera ia selesaikan. Deadline waktu memburunya. Meski lelah seharian, ia tak langsung rebahan di kamar. Tugas menumpuk. Presentasi perkuliahan hingga pekerjaan luar lainnya. Telepon Purnama berdering. Bu Aisyah menelpon.

 

         “Assalamu’alaikum” –Tak biasanya Bu Aisyah menelpon. Malam begini. Ada apa ya? Ia bertanya-tanya. Penasaran.

 

         “Wa’alaikum salam. Nak Purnama”

        

         “Iya Bu”

 

         “Belum tidur nak? Apa saya mengganggu waktunya?”

 

         “Belum bu, masih duduk didepan komputer. InshaAllah tidak. Ada apa ya?”

 

         “Maaf mengganggu malamnya. Saya ingin bertanya tentang Noah!”

 

         Ada apa dengan Noah. Bukahkan ia sudah baikan. Terdiam. Lesu. Bertanya-tanya. Menatap komputer lama. –“Ohya, bagaimana bu?”

 

         “Tadi saat saya mengantarkan Noah kembali ke asrama. Ada sebuah foto diatas lemarinya. Apa benar itu titipan nak Purnama!”

 

         “Iiiyaa betul Bu. Itu foto kenang-kenangan saat di taman kemarin,”

 

         “Begini nak. Mohon maaf sebelumnya. Saat Noah melihat foto itu, tatapannya begitu sinis ke kamu. Apa ada masalah dengan kau juga?”

 

         Purnama merenung. Mencoba mengingat-ingat kembali pada waktu kemarin. Setahunya ia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Sejak majelis malam itu, semua baik-baik saja. Terkecuali malam itu, Noah tiba-tiba marah melalui sms yang ia kirimkan. –“Selama ini kita baik-baik saja. Saya mengenal dan akrab dengan Noah sejak majelis pekan lalu. Sebenarnya Noah ada masalah apa ya bu?”

 

         Kemarin Noah dibuat usil oleh kakak tingatnya di aliyah. Fikar, ketua kamar 1C. Hal yang sebenarnya hanya candaan itu berakhir dengan tangisan. Peristiwa tersebut membuat Aby Ilham (Paman Noah) marah. Tensinya naik. Ia mengamuk di asrama permata. Memaki habis-habisan Fikar, sebab yang ia lakukan sangat tidak baik dan berakibat patal. Apalagi Noah masih kecil dan baru menetap di asrama. Bukan lagi sepantaran dirinya. Bahkan Aby mengancam akan bertindak secara hukum jika terjadi apa-apa dengan Noah.

 

         “Tapi benar-kan nak. Kau tidak ada masalah dengan Noah?” Bu Aisyah khawatir. Ia bertanya-tanya. Takut, jika hal sama dilakukan SPurnama kepada anaknya.

 

         “Saya mewakili anak-anak dan pribadi memohon maaf bu. Atas segala salah” –Purnama termenung. Betapa ia berharap agar bisa akrab dengan Noah. Namun semua ambyar. Ia berjanji untuk menasehati anak-anak supaya tidak lagi mengulang hal semacam itu.  –“Ibu bisa main ke kediaman saya. Di Gang Melati dekat Polsek. Tak jauh dari Yayasan” Purnama menawarkan Bu Aisyah untuk bersilarahmi ke kediamannya, agar semua dibicarakan dengan baik. Ia-pun bertutur jika ia merupakan pendatang dari Kota Jaya.

 

         “Kau mengajar bidang apa nak di sekolah?” Bu Aisyah semakin penasaran. Barang kali Purnam berbohong. Ia ingin mendapatkan sesuatu yang dapat menjawab keluh kesahnya.

 

         “Saya dipercayakan dibagian TU bu. Untuk mengajar hal itu adalah bonus” Sejak awal ia dipercayakan sebagai staff  Tata Usaha (TU) di Madrasah Tsanawiyah Permata. Sebab kekurangan tenaga pendidik ia diminta untuk mengisi kekosongan jadwal, bagian ilmu komputer dasar,” –“Saat ini, jadwal saya di madrasah setiap hari bu. Sampean bisa jumpa saya di madrasah,” ucap Purnama meyakinkan.

 

         “Baik nak. Mohon maaf sudah mengganggu waktunya,” Bu Aisyah hanya memastikan, bahwasanya putera yang menjadi permata dan harapan baginya itu baik-baik saja. Dan tidak ada permasalahan dengan Purnama ataupun lainnya. Sebab Ia melihat jika Noah begitu sinis menatap poto yang Purnama titipkan.

 

         “Siap bu. Tidak apa-aa. Nanti tak bantu mencari tahu” –Purnama tidak ingin ada kesalah-pahaman antara ia dan keluarga Noah. Apalagi Noah adalah orang yang baru saja akrab dengan dirinya. Ia menghela napas panjang. Mengusap kening. Tersandar ke sebuah kursi didepan komputer.

 

         Kepalanya semakin mumet. Pusing. Belum juga ia selesaikan masalah Noah kemarin, bertambah kembali masalah baru yang ikut menyeret namanya.

 

         Begitu aneh perubahan terhadap Noah. Setahunya, ia tidak pernah berbuat hal yang tidak senooh kepada Noah. Baru sepekan ia akrab dan kenal sejak majelis triwulan malam ahad pekan itu.

         Tidak mungkin anak sepolos Noah bersikap seperti itu, sebagaimana kata-kata yang ia kirimkan pada dirinya melalui pesan singkat, lalu. Ia paham, dari tatapan dan senyum yang berikan padanya, saat Noah menegurnya majelis lalu.

        

         “Bukankah Noah anak yang baik!” –Ia semakin bingung, memikirkan hal itu. Lanjut untuk mengenal Noah dan menjadikan ia bagian dari keluarganya dan sebagai adik. Atau mundur dengan nama yang tidak baik. Sebab asumsi dari Bu Aisyah dan keluarga.


 


Comments