”Salah
Paham”
Bintang Untuk Noah Part 5
"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan keempat........ Untuk membaca tulisan keempat, silahkan klik >>> Ahad....."
NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.
follow instagram : @pecandusastra96
Twitter : @pecandusastra96
Email : disisisf.bpun@gmail.com
Yusuf bergegas mengejar Noah usai
berjama’ah tiga rakaat, menuju beranda Masjid Al Furqon. Sejak siang tadi ia
mencari sahabatnya itu, hampir setiap sudut yayasan ia kunjungi, namun sama
sekali tak nampak bayang sahabatnya itu. –“Kemana saja kau ini, seharian aku
mencari batang hidungmu, tak juga kunjung ketemu,” ujarnya kesal.
Noah lupa memberitahu sahabatnya, jika
ia pulang ke rumah paman bersama bunda, usai resepsi Pak Ibrahim, Kepala
Madrasah.
“Lha, tumben kau Cuf mencariku, apa
hal?” Noah penasaran sebab apa sahabatnya itu mencari dirinya. Tak biasa,
apalagi jika Yusuf tergesa-gesa menghampiri dirinya di beranda masjid.
“Kalau bukan sebab abang itu, enggak
mungkin mencarimu. Terkecuali hal yang penting,” ujar Yusuf merajuk. Jika bukan
sebab Bang Purnama, tidak mungkin ia mencari sahabatnya itu dengan tergesa-gesa.
Usai berbenah di yayasan sore tadi, ia
mendapat bingkisan dari Bang Purnama. Satu untuk dirinya dan satunya lagi
titipan untuk sahabatnya; Noah.
“Abang siapa maksudmu?” Noah
penasaran.
“Yang semalam duduk bersama kita saat
majelis,”
“Bang Purnama maksudnya?”
“Ya, siapa lagi,”
Ia semakin penasaran, sebab apa sampai
terburu-buru semacam itu Yusuf mencarinya. Ada hal yang mendesak kah? Atau ada
hal buruk. –“Ada apa dengan Bang Purnama,”
“Kau ikut sajalah denganku,”
Keduanya bergegas balik menuju asrama.
Sebenarnya Noah masih ingin menghabiskan waktu di beranda masjid itu, ia belum
ingin kembali ke asrama. Sebab penasaran ia mengikuti langkah sahabatnya itu.
Yusuf menjulurkan tangan kepada Noah.
Sebuah bingkisan berwarna biru berukuran sedang. –“Apa ini?” tanya Noah.
“Dari Bang Purnama untuk dirimu. Tadi
abang itu mencarimu, namun tak ketemu. Sebab itu ia menitipkan kepadaku,”
Noah menjadi tak enak hati, merepotkan
Bang Purnama. Abang itu begitu baik kepadanya, padahal mereka baru akrab.
–“Sampaikan terima kasih dariku” tutur Noah. Ia beranjak menuju kamarnya.
Secara tiba-tiba dari balik pintu
muncul seseorang menghentikan langkah Noah. Ridwan, kakak kelasnya. Sejak tadi
ia menguping pembicaraan keduanya. Matanya melotot menatap Noah, tangannya
mengepal. Bibirnya pun turut komat-kamit seolah tak suka dengan Noah. “Cie yang
dapat hadiah”
Noah
tersenyum. Ia sama sekali tidak mengerti apa hal yang membuat kakak kelasnya
itu secara tiba-tiba datang dan menghentikan lajunya. –“Kak Ridwan, ada apa?”
Ridwan
marah tak jelas, tanpa basa-basi ia memaki Noah. Ia tak terima jika Noah
mendapatkan perhatian lebih dari Bang Purnama, orang yang dahulu begitu akrab
dan dekat dengannya. Terlebih, sejak malam majelis itu ia memang tidak suka
dengan ke akraban Noah dan Purnama.
Ratusan
ungkapan kebencian ia lontarkan, bahkan ia tak segan mengancam akan mengusik
segala ketenangan Noah jika ia masih berhubungan baik dengan Bang Purnama.
Noah
bingung. Hal apa yang sebenarnya terjadi. Ia benar-benar tak tahu. Purnama,
abang itu begitu baik padanya, tak mungkin ia secara tiba-tiba menajuh dan
membencinya. Apalagi setiap hari ia jumpa di kelas. Disisi lain ia merasa
khawatir jika benar demikian perkataan Ridwan. Ia tak ingin mencari masalah. Hal
itu akan membuat bunda nya marah jika sampai beliau tahu.
Tak
hanya itu, Ridwan pun turut menghasut Wawan dan Maulana. Teman se-geng
Noah. Ia berkata hal-hal buruk mengenai Purnama. Bahkan ia tak segan mengatakan
jika Purnama suatu saat nanti akan memisahkan Noah dengan mereka, sebab ia tak
suka dengan geng yang melibatkan Noah. Menurutnya geng mereka itu
jelek, norak, dan sangat tidak layak untuk dipertahankan. Yang pasti sangat
tidak pantas untuk seorang Noah.
Sumbu
mana yang tak mudah terbakar. Apalagi Purnama akhir ini memang tidak disukai,
terlebih Wawan dan Maulana. Keduanya berubah menaruh benci. Mendengar hal itu,
Wawan dan Maulana tak tinggal diam. Hati nya penuh amarah, berapi-api. Keduanya
bertambah benci dengan sosok Purnama.
Pada
majelis lalu, keduanya memang sudah was-was. Khawatir jika Noah akrab. Terlebih
saat Purnama meminta foto bersama dan mencari Noah terus-menerus. Namun
keduanya masih biasa saja, tak sebenci itu.
Ridwan
senang, hasutan nya berhasil. –“Awas kamu bang, kau akan menyesal sebab
meninggalkanku,”
Hatinya
penuh akan kebencian dan rasa balas dendam terhadap Purnama. Padahal ia dan
Purnama begitu baik dan sangat akrab, namun sejak Ridwan mengenal Wawan dan
Maulana serta akrab dengan mereka, ia mulai terhasut, mengikuti hal-hal yang
tidak baik. Melihat hal itu, Purnama tidak tinggal diam. Berkali-kali ia
memperingatkan agar Ridwan berhati-hati dan menjauhi mereka, namun sama sekali
tak ia hiraukan. Terlebih ketika Ridwan kabur dan madrasah dan pergi dari
rumah, membuat geger para tetangga. Siapa yang tidak marah dan kecewa melihat
hal itu, apalagi seorang sahabatnya sendiri. Hanya karena ia tidak terima di
nasehati Bang Purnama, ia memutuskan agar Purnama menjauh dari hidupnya serta
untuk tidak lagi ikut campur dalam segala urusan.
“No.
Jujur dah sama kita,” Maulana datang mengusik pembicaraan Noah dan Aly di
kamar. Nada bicaranya tinggi.
“Jujur
apa bang,” –Noah bingung. Secara tiba-tiba Maulana datang bersama Wawan dan
meminta ia untuk jujur. Ia tidak paham akan kalimat itu. Sama sekali ia tidak
pernah berbohong kepada mereka.
“Apa
yang telah lelaki itu perbuat padamu,” –“Kau mau meninggalkan tim kita?”
Sontak
Noah kaget, ia semakin tidak mengerti yang dimaksud teman-temannya. Lelaki yang
mana yang mereka katakan. Apa maksud dari meninggalkan tim, ia sama sekali
tidak pernah berpikir demikian. Sampai kini. –“Aku enggak pernah berpikir
tentang itu bang, janganlah salah paham,”
Semua
amarah tertuju pada Noah. Wawan dan Maulana memberikan dua pilihan, antara
memilih meninggalkan tim dan selamanya bermusuhan atau ia harus menjauh dan
tidak diperkenankan untuk berhubungan dengan Purnama.
Noah
terdiam. Ia tidak tahu harus berpihak kemana. Mereka adalah teman yang sejak
awal akrab dan satu tim, sedangkan Bang Purnama adalah orang yang sangat baik,
apalagi ia sering jumpa saban hari.
Matanya
berkaca-kaca, gumpalan air membendung membasahi kelopak matanya. Ia terdiam tak
berkata lagi. Menahan derai air mata.
Noah
merasa kecewa dengan teman se-geng nya itu, tanpa klarifikasi mereka
langsung menuduh hal yang belum pasti kebenarannya. Padahal Bang Purnama begitu
baik padanya. Ia sama sekali tidak pernah menghasut dirinya untuk menjauh,
apalagi meninggalkan geng yang sedari awal menjadi tempatnya bernaung.
Jika memang benar akan hal itu, tidak mungkin ia langsung menerima begitu saja.
Semua
pergi, tinggalah Noah seorang diri di sudut kamar. Ia beranjak, menatap panjang
ke arah jendela.
“Yang
mana harus ku pilih,” gumamnya. Ia belum bisa menyimpulkan.
Hatinya lebih
berpihak pada Bang Purnama, sebab abang itu baik dan perhatian kepadanya. Baru
akrab saja ia begitu prihatin. Namun disisi lain Bang Purnama berada jauh
darinya, ia lebih banyak membutuhkan bantuan serta uluran temannya. Apalagi
saat ini hanya mereka yang akrab.
“Sudahlah
Noah, tinggalkan saja dia. Memangnya abang barumu itu selalu ada untukmu,”
tutur Aly sembari menghampiri Noah.
Noah
terkejut. Segera ia mengusap pipi nya.
“Purnama
itu jahat, sekarang saja ia baik padamu. Jika ia sudah dekat dan akrab
denganmu, kau akan tahu sipatnya seperti apa!” ujar Aly menghasut. Ia kini
turut menjelekan Purnama, orang yang sama sekali belum ia kenal. –“Kalau kau
masih keras kepala, jangankan Bang Wawan dan Maulana, aku pun akan turut
membencimu,”
“Memangnya
kakak tahu kepribadian Bang Purnama, kakak sendiri belum pernah jumpa,”
“Gini-gini
aku bisa melihat siapa dia, aku kan punya indra ke-enam,”
Noah
tediam.
“Ingat
Noah, yang terlebih dahulu kau kenal itu siapa. Jangan main-main,” bisik Aly
dengan nada ancaman.
“Jangan
sembarang berbicara kau ini, seolah tahu saja siapa Bang Purnama,” Adin
menyelinap masuk. Ia tak sengaja menguping pembicaraan kedunya. –“Tidak perlu
sampai menghasut seperti itu, Noah masih polos jangan kau kotori dengan sikap
jelekmu,” –“Pilihlah dengan hatimu,” bisik Adin kepada Noah.
Adin tak
terima, jika Bang Purnama di jelekan. Apalagi oleh orang yang sok akrab dan
mengerti pribadi Purnama. Ia paham betul bagaimana karakter seorang Purnama,
sebab ia bersahabat dengannya sudah hampir tiga tahun lebih.
Comments
Post a Comment