“Titik Temu”
Bintang Untuk Noah Part 7
"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan keenam........ Untuk membaca tulisan keenam, silahkan klik >>> Doktrin Jahat....."
NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.
follow instagram : @pecandusastra96
Twitter : @pecandusastra96
Email : disisisf.bpun@gmail.com
Pagi itu Bu Pertiwi memanggil Purnama
ke bilik nya. Beberapa waktu lalu ia memberikan tugas kepada Purnama, usai
PBSB.
Purnama tersenyum. Tubuhnya lesu tak
bersemangat. Langkah kakinya gontai menghampiri Bu Pertiwi. Ia lupa akan tugas
yang telah diamanahkan kepadanya beberapa waktu lalu. Sebab kesibukan aktivitas
diluar yayasan.
“Sampean
sudah mengambil poto siswa baru Pur?” tanya Bu Pertiwi kepadanya. Tatap mata Bu
Pertiwi serius. Memperhatikan Purnama. –“Kau kenapa Pur, sakit kah?”
Ia
menggeleng. Sama sekali ia tidak memiliki masalah, hanya saja ia lupa sebab
kemarin tidak membawa kamera. Purnama segera beranjak pamitan mengambil kamera
di rumah.
Kebetulan,
pada jam kedua ada kekosongan jadwal pada kelas siswa baru. Sebab para pendidik
ada rapat khusus. Ia berjanji akan segera mengambil gambar siswa satu persatu.
Kesempatan baik itu tidak Purnama lewatkan. Ia memang sangat menantikan waktu
untuk berjumpa Noah agar bisa mengklarifikasi hal yang terjadi sebenarnya.
Terlebih kepada Noah.
Ia
diamanahkan untuk memotret siswa baru, guna pengarsipan sekaligus sebagai poto
laporan semester nanti. Tak sabar dirinya untuk segera berjumpa Noah. Putra
sekaligus permata harapan Bu Aisyah. Ia ingin segera bertanya langsung akan
masalah yang sedang ia hadapi.
“Assalamu’alaikum.
Selamat pagi,” Purnama melangkahkan kaki, memasuki ruang kelas satu tsanawiyah.
Ia tersenyum riang menatap anak-anak.
“Wa’alaikum
salam, pagi juga bang,” seru anak-anak, saling sahut menyahut bergantian.
Mereka tersenyum riang.
Anak-anak
madrasah sudah terbiasa memanggil Purnama dengan sebutan abang. Ia yang meminta
untuk dipanggil dengan sebutan itu, sebab ia tidak ingin jika dirinya di
panggil dengan sebutan bapak. Bagi seorang Purnama, bapak itu seakan ia sudah
tua saja. Ia merasa kurang pas, apalagi dengan sebutan mas, membuatan dirinya
risi.
Ada
beberapa yang memang sudah terbiasa memanggil dengan sebutan mas, sebab sedari
awal ia mengajar, ia di panggil mas. Sebagaimana Ustadz Habiburrahman, yang
sedari awal memanggil dengan sebutan itu. Sangat susah baginya merubah, apalagi
hal yang sudah menjadi kebiasaan. Sebab itulah ia memulai dari siswa baru.
“Bang,
kemana saja akhir ini enggak kelihatan?” Asma menyapa dari belakang. Ia
tersenyum.
“Biasa,
kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan, jadi ijin dulu di madrasah,” jawabnya.
“Kami
rindu lho,” Salsa menimbrung pembicaraan. Disambut meriah senyum teman-teman
sekelas. Terkecuali Noah. Ia hanya terdiam.
“Cie
yang dirindukan” Purnama ke-geer-an. Malu menatap anak-anak. Pipinya
memerah.
“Kita
mau foto ya bang”
“Ya
betul”
“Horeeee.
Nanti kita foto bareng-bareng ya bang,”
Kelas
satu tsanawiyah, siswanya memang masih sedikit. Tahun ini menurun drastis. Tak
seperti tahun lalu yang membludak hampir mencapai angka empat puluhan. Tahun
ini tak sampai setengah dari persentase tahun lalu. Hanya dua belas siswa saja.
Meski sedikit semua mampu terhendel. Kelas ramai. Suasana hidup dan
kegiatannya-pun aktif.
Satu
persatu ia persilahkan anak-anak untuk berdandan rapi. Secantik dan setampan
mungkin untuk ia potret. Semua anak berbaris rapi menunggu giliran, hingga
sampai barisan terakhir. Hanya tersisa Noah.
Ia
terdiam. Menunduk. Tak mau menatap. Badannya masih tegak, gagah. Berdiri
dihadapan Purnama.
“Noah,
kau kok diam saja,” –“Mari abang ambil gambarnya,”
Purnama
tidak terburu-buru mengenakan panggilan Puan, sebab ia khawatir jika Noah nanti
bertambah marah padanya.
Ia
masih terdiam. Tak bergerak dari barisan dimana ia berdiri sedari mengantri.
Purnama paham, jika ia masih enggan menegur sebab amarah yang ia lontarkan
padanya.
Sebenarnya
Noah tidak nyaman berada didekat Bang Purnama. Ia ingin segera pergi menyusul
teman yang lain, yang terlebih dahulu keluar.
“Kau
kenapa Noah?” ujar Purnama mendekati Noah.
Noah
sama sekali tidak menghiraukan hal itu. Ia justru memalingkan muka dari
pandangan Purnama. –“Baiklah. Abang tidak akan memaksamu untuk bercerita,
sekarang abang ambil gambarmu ya, abang sudah di runggu oleh Bu Pertiwi,”
“Apa
kamu mau jika nanti tidak mendapatkan raport dan tidak pula dianggap
sebagai siswa disini?” Purnama terpaksa berbohong. Merayu Noah agar mau diambil
gambarnya.
Dengan
keterpaksaan, Noah menuruti titah Bang Purnama. Ia berdiri dihadapan Purnama
sembari tersenyum sebagaimana ajakan Purnama kepadanya.
Tidak
ada lagi senyum manis, tulus merekah pada bibir anak itu. Tidak lagi sama
sebagaimana majelis pekan lalu. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Purnama rasa ada
orang yang dengan sengaja menghasut Noah. Mendoktrin, supaya ia menjauhi dan
membenci dirinya.
Usai
pengambilan gambar anak-anak. Ia bergegas keluar ruangan, menjumpai sahabatnya
di madrasah. Adin dan Rayyan. Kedunya ia kenal sejak awal ketika masuk yayasan.
Saat itu ia belum menetap di yayasan dan belum menjadi bagian dari madrasah.
“Puan.
Ada apa, tergesa-gesa,” Rayyan menyahut. Menghentikan langkahnya dari depan.
“Haaah.
Syukurlah kalian disini rupanya,” Menghela napas. Tertunduk. –“Aku butuh
bantuan kalian,” –Senja menatap keduanya.
“Ada
masalah apa Puan?” tanya Adin merangkul.
Langsung
ia bertutur panjang lebar, akan masalah yang sebenarnya terjadi dan menimpa
dirinya. Sejak ia berjumpa dengan Noah. Kenal hingga akrab dengan Noah pada
majelis lalu, hingga permasalahan yang kiri turut menyeret namanya. Ia tidak
ingin nama baiknya tercoreng dihadapan keluarga Noah, sebab masalah yang orang
lain perbuat, ia yang mendapatkan getahnya.
Purnama
memutuskan untuk berjuang mengembalikan nama baiknya dihadapan keluarga Noah.
Terutama Bu Aisyah. Ia harap asumsi buruk yang telah melekat pada dirinya
tidaklah benar.
Awal
mengenal Noah, Senja begitu senang. Tatapan teduh matanya serta senyum yang
membuat ia jatuh hati. Sebab itu ia menaruh perhatian pada anak itu, agar ia
betah di yayasan. Apalagi setelah ia tahu, jika Noah adalah anak yatim yang
ditinggal sang ayah sejak ia sedang berproses di taman kanak-kanak. Sekarang ia
sudah mendapatkan pengganti sang ayah.
Ia
dapatkan informasi tersebut dari Adin, sengaja ia meminta sahabatnya itu
menggali sedikit banyak informasi tentang Noah. Sebab sudah kepalang tanggung Adin
mengetahui maksud dan niat Purnama untuk
menjadikan Noah sebagai adiknya.
Setelah sepekan, Adin dan Rayyan
mencari tahu sebab masalah perubahan yang terjadi pada Noah. Dalang masalah
yang membuat ia berubah begitu pesat. Rupanya dugaan Purnama benar, bahwa Noah,
adiknya itu di doktrin oleh orang-orang yang tidak senang akan dirinya.
Dirinya
memang tipe orang yang memilih untuk bersahabat. Namun ia sama sekali tidak
melarang bagi siapa saja untuk akrab dengannya. Siapa saja boleh dekat dan
akrab, selagi ia baik dan sependapat dengannya.
Sudah
ia duga, sejak Ahad pekan lalu. Saat resepsi pernikahan Pak Ibrahim. Maulana
dan Wawan, keduanya begitu serius memperhatika dirinya, terlebih ketika ia
dekat dengan Noah. Kedua sama-sama menduduki bangku aliyah. Dulu mereka begitu
akrab dengan Purnama, begitupun sebaliknya. Namun semua berubah. Sampai suatu
hari ia dihadapkan dengan permasalahan yang ternyata mereka dalangnya.
Ia
dijebak. Padahal ia begitu baik terhadap mereka, apa saja selalu ia bagi. Tak
hanya makanan dan minuman. Masih banyak
lainnya.
Sejak
ia paham akan topeng keduanya. Ia mulai melepas perlahan-lahan dan menjauhi
mereka yang berkhianat terhadap persahabatan itu. Sebab itu ia turut kecewa
akan kegagalannya menjauhkan Ridwan.
Purnama
hanya berharap agar semua kembali membaik. Terutama, anatara dirinya dengan
Noah dan keluarga. –“Siapa yang akan menjadi pemenang!”
Comments
Post a Comment