Dakwatuna.com - Mei 2008 | Ist
“Ikhlas”
Bintang Untuk Noah Part 10
"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan kesembilan........ Untuk membaca tulisan kesembilan, silahkan klik >>> Buah Penantian....."
NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.
follow instagram : @pecandusastra96
Twitter : @pecandusastra96
Email : disisisf.bpun@gmail.com
Tak
terasa waktu hampir genap enam bulan sejak penerimaan siswa baru pada Juli
lalu. Serta peristiwa pada Agustus yang seampai kini terus belanjut.
Menjelang akhir semester ganjil, malam
itu Purnama memutuskan untuk bermalam di yayasan. Banyak tugas yang diamanahkan
kepadanya untuk segera di pertanggungjawabkan. Updating data, upload,
hingga tugas email yang harus terkoneksi dengan internet. Mengharuskannya untuk
menghabiskan waktu di madrasah. Selian itu pula, sudah lama ia tidak
menghabiskan malam bersama anak-anak. Ia rindu suasana itu.
Pagi.
Menjelang akhir semester. Keluarga besar Yayasan Permata bersama-sama gotong
royong, kerja bakti membersihkan lingkungan yayasan serta madrasah. Dalam ragka
menyambut libur panjang akhir semester.
“Bro.
Haus. Hayuklah cari minum dingin” –Adi memberi kode pada Purnama. Ia memang
sedikit berbeda dari yang lain. Agak nyeleneh. Sebenarnya bukan ia tidak beretika
maupun tidak sopan. Memanggil Purnama dengan sebutan itu. Adi bilang, sebutan
itu agar ia lebih dekat dan ada kamestri diantara ia dan dengan Purnama.
–Pandai sekali ia meniyindir dengan bahasa isyarat semacam itu.
“Hayuklah
ikut aku ke kamar mandi!”
“Kenapa
ke kamar mandi”
“Lha.
Bukannya kau yang minta minuman dingin. Air kran jauh lebih dingin.
Langsung dari sumbernya” –Purnama terbahak. Tertawa lepas. –“Ayolah. Kita cari
es”
Yayasan
Permata cukup luas. Untuk mempermudah pekerjaan dan menghemat waktu serta
tenaga, sebab itu kerja bakti terbagi menjadi beberapa kelompok. Purnama
bersama dengan Adi dan enam anak lainnya mendapat bagian di arena Madrasah
Aliyah. Tidak begitu luas bagian yang mereka dapatkan, sebab itu mereka
terlebih dahulu menyelesaikan tugas dari pada yang lain.
“Dua
Ahad lagi liburan. Kau hendak kemana bro,” Adi menatap tajam.
“Entahlah
aku belum ada planing. Kuliah ku saja belum melaksanakan UAS,”
“Kau tidak ikut wisata religi ke pulau
Jawa?”
“InshaAllah.
Sedari awal ada niat. Namun masih menjadi pertimbangan sebab jadwal bertabrakan
juga dengan UAS kampus”
Akhir
semester Yayasan Permata akan
melaksanakan field trip wisata religi selama sepekan bersama anak-anak.
Semua pendidik madrasah diikutsertakan mendampingi. Mendapatkan potongan tiket
lima puluh persen dari harga tiket umum. Sedari awal mendapat kabar, Purnama
sudah berencana untuk ikut serta mengajak Mama. Ia rasa hal itu adalah
kesempatan baik. Liburan murah sekaligus refreshing otak pada awal libur
panjang. Apalagi banyak tugas menguras pikirannya.
Kemarin
ia mendapat tawaran dari organisasi yang ia geluti. Mengikuti konferensi secara
nasional di pulau Jawa. Sengaja ia tolak. Sebab ia ingin ikut tergabung field
trip wisata religi bersama anak-anak
serta sang mama.
“Halo, Noah. Lelah sekali nampaknya” Purnama
meyapa. Melambaikan tangan. Mendekati Noah.
Ia baru saja menyelesaikan tugas.
Gotong royong dibagian asrama. Nampaknya ia begitu lelah, keringat bercucuran
membasahi sekujur tubuh anak itu. Bahkan pakian yang ia kenakan sebagian basah
kuyup.
“No. Es buat kamu” tutur Purnama,
sembari menyodorkan segelas es kepada Noah. Tersenyum.
Noah merasa enggan menerima pemberian
abang, namun ia juga tak enak hati menolaknya. –“Terima kasih bang” ia kembali
tersenyum. Membalas. Menatap, meski seolah terpaksa.
“Kau liburan esok hendak kemana No”
Noah hanya diam, tak berani bicara.
Wajahnya tertunduk. Memutar-mutarkan pipet, mengaduk es yang Purnama berikan
kepadanya beberapa saat lalu. Tak lama kembali menatap Purnama. Kaku.
“Ya pulang kerumahlah. Kemana lagi”
jawabnya cetus.
“Enggak ikut wisata religi? Entar aku
tanggung biayanya” –Purnama merayu.
Ia serius untuk mengajak Noah turut
ikut dan menanggung semua biaya. Meski field trip tersebut diperuntukan
khusus bagi siswa yang sudah lulus dan yang akan lulus. Jika ada yang berminat
sangat di perbolehkan. Selagi berbayar.
Noah masih terdiam. Tak menjawab.
“Aku ikutan, kalau kamu ikut” –Rayu Purnama
lagi. “Tenang semua aku yang tanggung. Yang penting kau mau ikut” ujarnya.
“Tidaklah. Terima kasih” Noah pergi
meninggalkan lokasi.
Sejak informasi wisata religi beredar
di yayasan, beberapa bulan lalu. Purnama telah menyisipkan uang untuk ikut
dalam kegiatan tersebut. Awalnya ia berniat mengajak Mama. Namun satu bulan
lalu ia mendapat kabar, bahwasanya Mama tidak bisa ikut menemaninya. Sebab
perjalanan yang ditempuh sepekan. Ia khawatir jika nanti kesehatannya menurun.
Apalagi ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Karena kepalang
tanggung dan mendapat diskon. Ia memutuskan untuk menawarkan hal itu kepada
Noah.
Noah sama sekali tidak berminat. Enggak
menerima tawaran Purnama. Padahal jika ia mau, ia hanya mempersiapkan diri
serta barang-barang seperlunya selama perjalanan.
Purnama meminta agar Rayyan merayu.
Membujuk Noah untuk turut ikut dan menerima tawaran itu. Namun sayang,
berkali-kali Rayyan merayu, Noah tetap bersikeras menolak. Tak satupun rayuan
Rayyan mampu mengetuk hati seorang Noah. Merubah niatnya.
Berakhir
sudah penilaian akhir semester ganjil. Anak-anak sangat senang. Betapa riang
gembira menyelimuti raut wajah mereka. Penantian yang telah lama dinantikan itu
hadir juga.
Begitupun
dengan Noah. Ia sangat gembira. Akhir penantian panjang itu datang. Ia akan
segera berjumpa sang bunda serta keluarga di rumah.
Pagi itu anak-anak memadati ruangan.
Berjuta rasa dan prasangka memenuhi wajah-wajah kecemasan. Sebab selama enam
bulan sudah, telah usai mereka lalui.
Seperti
biasa, Purnama selalu menyisihkan sebagian rejeki yang ia peroleh dari jerih
payah keringatnya. Memberi reward sebagai apresiasi terhadap anak-anak
yang berprestasi di madrasah. Saat pembagian raport tiba, seluruh siswa telah
berbaris rapi dalam ruangan, tergabung menjadi satu. Sebab siswa sedikit, tidak
mencapai angka seratus. Guna mempermudah dalam menyampaikan informasi serta
menghemat suara, mereka digabungkan. Satu persatu anak ia panggil sesuai
urutan. Seusai pembagian reward tiga besar disetiap kelas.
“Noah”
–tutur Purnama memanggil.
Mendengar
hal itu, Noah melangkah maju. Mengambil raport seusai mendengar namanya
disebut. Raut wajahnya begitu gembira. Terpaut indah. Bahagia menyambut libur
panjang akhir semester. Ia tergesa-gesa, tak sabar meraih raport dari tangan
Purnama.
“Senyum
dulu. Baru aku kasih” pinta Purnama. Ia begitu rindu melihat senyum riang
khasnya sang permata Bu Asiyah. –Purnama senang, melihat senyum sumringah Noah
berikan. Sudah lama tidak ia dapatkan senyum menawan semasa majelis itu.
Setelah
semua mendapatkan laporan semasa semester ganjil. Semua bubar meninggalkan
ruangan. Tak sabar menanti jemputan.
“Noah”
–teriak Purnama mengejar Noah. Segera bergegas menghampiri. Ia sodorkan sebuah
bingkisah. –“Buat kamu No,” sengaja ia kasih terakhir, agar Noah menerimanya.
Uluran
tangan itu sama sekali tak mendapat respon. Noah sama sekali tak menghargai
pemberian itu. Sejak semalam Bang Purnama menyiapkan. Ia bungkus rapi dengan
kertas kado cerah. Noah terdiam lalu pergi tanpa permisi. Larut malam Purnama
siapkan khusus untuknya. Begitu ia tolak. –“No, maafkan Puan” Purnama
berteriak.
Permata
Bu Asiyah masih saja keras kepala menolak pemberian Bang Purnama. Sama sekali
tidak menghargai betapa susah payah Purnama hingga larut malam menghias
bingkisan. Dengan harapan Noah tertarik dan menerimanya.
Sebab
Noah bersikeras menolak. Purnama titipkan bingkisan itu kepada Aby, yang pagi
itu menjemput Noah.
Bingkisan
persegi sederhana itu ia bingkai rapi. Dengan pita merah diatasnya. Terselip
sebuah surat sebagai permohonan maaf.
Dear Permata Bu Aisyah, yang aku sayang
“Mengawali
kata yang tertulis rapi pada secarik kertas kecil yang kini kau baca. Semoga
adikku Noah dapat meluangkan waktu sejenak untuk merampungkan hingga akhir
kalimat. Abang minta maaf, jika selama ini abang bersalah dan membuatmu
berubah. Jujur, abang masih bingung hal apa yang begitu membuatmu berubah tidak
suka.
Sedari awal, sama sekali tidak ada niat maupun rencana jahat
padamu nak. Abang hanya ingin akrab.
Hal yang menjadi tanda tanya, tidak hanya bagiku saja.
Melainkan Bunda Aisyah yang kau sayang, serta keluarga besarmu. Kini abang
paham apa yang telah merubah sikapmu begitu cepat.
Sejak itu. Sejak persepsi buruk yang melekat padaku. Aku
memutuskan untuk berjuang dan menanamkan cinta serta sayang padamu. Untuk
merubah prasangka-prasangka itu. Bahwa apa yang menjadi sangkaan mereka
tidaklah benar.
Selamat
menikmati libur akhir pekan bersama keluarga, nak. Salam untuk Bunda dan
Abahmu. Terus semangat!!!
Dari Abangmu
~ Puan Purnama”
Comments
Post a Comment