Buah Penantian


“Buah Penantian”

 

 Oleh : Senja Jingga Purnama (@pecandusastra96)

Bintang Untuk Noah Part 9


"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan kedelapan........ Untuk membaca tulisan kedelapan, silahkan klik >>> Tantangan....."


NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.

follow instagram : @pecandusastra96

Twitter : @pecandusastra96

Email : disisisf.bpun@gmail.com 


 Rayyan tergesa-gesa menghampiri Purnama di kanting Pak Haji. Ia tak sabar memberikan informasi baik kepada Purnama. Nampaknya sedari tadi ia mencari Purnama, tak sabar menyampaikan sesuatu yang teramat penting. Tubuhnya berkeringat membasahi hampir seluruh pakaian.

Melihat hal itu, Purnama mempersilahkan sahabatnya itu untuk duduk terdahulu, serta mengatur pernapasan dengan baik.

 

          “Ada apa, kau terburu-buru begitu,” –“Minumlah” –Purnama menyodorkan segelas air.

 

          “Puan sudah tahu, jika rahasia selama ini yang puan sembunyikan itu..”

 

          Belum selesai Rayyan bicara, Purnama terlebih dulu memotongnya. Ia tahu maksud pembicaraan Rayyan, tak lain kebaikan yang selama ini ia lakukan.

 

          “Sabar Puan. Kebaikan akan selalu membawa keberkahan” –Rayyan tersenyum. Mengelus pundak sahabatnya. Merangkul.

 

          Purnama bingum, hal apa lagi yang akan ia lakukan. Ia paham, sebenarnya Noah bukanlah anak yang bersikap demikian. Hanya saja ia tidak ingin menjauh dan dimusuhi temannya yang sedari awal ia kenal. Ia juga tidak ingin berhenti berusaha sampai disini. Jika ia berhenti, asumsi pada Bu Aisyah serta keluarga Noah masih saja tetap begitu. Sama.

         

 “Hey” –Teriak Adin. Memukul pundak Purnama dan Rayyan. Tiba-tiba ia datang mengejutkan dari arah belakang.

 

“Kau buat orang kaget saja Din. Bagaimana kalau aku jantungan” –Detak jantung Senja berdebar kencang. Terkaget.

 

“Ucapan adalah do’a. Bukankah begitu yang Puan selalu bilang” –“Lagi pada ngapain sih?” –Adin semakin kepo.

 

“Kau kan tahu sendiri. Rahasia kita sudah terbongkar. Kemarin perbincangan Wawan dan Izya pun tidak sengaja kita dengarkan” Rayyan bertutur.

 

“Sudahlah. Tidak perlu dipikirkan akan hal itu”

 

“Bagaimana tidak dipikirkan. Wong ide yang kamu berikan dua bulan lalu kini bubar”

 

“Tenanglah. Aku punya ide lain” Adin tersenyum. Ia teringat dengan jadwal pekan esok akan ada rolling anggota kamar. Ia menyarankan agar mereka bekerjasama dengan Ega untuk memindahkan Noah supaya sekamar dengan mereka. Apalagi Ega paham, jika Noah banyak permasalahan.

 

          “Cerdik sekali otakmu Din” puji Rayyan.

 

Adin tersenyum riang. Purnama dan Rayyan tertawa sebab tingkah laku sahabatnya itu.

 

Setiap lima bulan, sekali. Ada perombakan anggota kamar asrama permata. Hal itu menjadi ide brilian kedua bagi Adin. Ia mengajak Rayyan untuk bersama-sama meminta Ega agar menempatkan Noah satu kamar dengan mereka.

Apalagi Ega tahu jika Noah sedang dalam banyak masalah, pasti Ega mau menempatkan Noahsatu kamar dengan mereka. Terlebih Noah kan masih saudaranya. Apalagi jika Noah malas-malasan di asrama, hal itu bisa menjadi alasan supaya ia lebih diperhatikan. Ega selaku ketua kamar, ia memiliki wewenang. Memilih siapa saja yang menjadi anggotanya.

 

          Pandai sekali Adin. Otaknya sangat encer untuk memunculkan ide-ide brilian. Purnama meminta supaya ia dan Rayyan memperkuat argumen, supaya Ega teryakinkan dengan mereka.

 

Pertemuan singkat itu, mereka akhiri dengan meneguk secangkir kopi di tempat biasa. Warung angkring Pak Haji.

 

 

    

 

          Sepekan berlalu. Usai Purnama dan kedua sahabatnya menyeruput kopi di angkringan Pak Haji, tempat biasa mereka mencurahkan keluh kesahnya. Waktu yang ia tunggu kini hadir.

          Tepat pada hari ini. Hari Ahad. Purnama sangat bangga, memiliki sahabat yang sampai kini masih komitmen. Adin dan Rayyan sangat patut diacungi jempol. Kedua berhasil.

 

          Saat perombakan anggota kamar, Ega menyodorkan beberapa nama yang ia catat pada selembar note. Namun ia sama sekali tidak memasukkan nama Noah sebagai salah satu bakal calon penghuni kamar yang ia pimpin, sebab menurutnya kurang efektif. Apalagi Noah merupakan bagian dari keluarganya, ia khawatir hal itu menjadi perspektif buruk bagi anak yang lain.

          Akan tetapi, bukan berarti ia tidak memperdulikan Noah. Hanya saja ia memiliki rencana lain .

 

          “Apa hal yang membuatmu memilih anak-anak yang namanya tercatat dalam daftar lampiran ini,” tutur Pak Ibrahim setelah membaca daftar nama-nama calon penghuni kamar yang dipimpin Ega.

 

          ““Penghuni lama, adalah mereka yang taat pada peraturan. Dan yang baru, ada beberapa yang memang perlu di bimbing lagi,”

 

          Usai menerima lampiran daftar penghuni yang Ega sodorkan dan ketua kamar lainnya. Pak Ibrahim, selaku koordinator sekaligus mewakili pimpinan, setelah banyak pertimbangan memutuskan. “Baik. Bapak acc. Terkecuali beberapa nama yang diberi kode contreng” –Pak Ibrahim mengembalikan lampiran. Ada beberapa nama yang menjadi masukan bagi setiap kamar untuk di roling.

 

          Hal itu Ega manfaatkan untuk menarik Noah agar satu kamar dengannya. Dari beberapa daftar nama yang diberikan Pak Ibrahim, Ega meminta agar Noah dapat ditukar dengan salah satu nama-nama tersebut.

          Dari pertimbangan serta alasan yang cukup baik. Apalagi ia telah sepakat dengan ketua kamar lain, agar Noah ia pimpin. Alasan Ega supaya ia bisa lebih memperhatikan Noah, sebab Noah bagian dari saudaranya. Terlebih belakangan ini Noah menjadi pemalas.

         

          Noah tertunduk. Ia hanya terdiam taat kala ditanya oleh Pak Ibrahim. Baginya dimanapun ia ditempatkan tidak menjadi masalah.

 

“Apakah yang lain setuju?” –Pak Ibrahim kembali bertanya dengan nada tinggi sebab tidak ada yang menanggapi dirinya. Alisnya tak lagi sejajar. Makin melengkung keatas.

 

“Setuju pak!” Adin dan Rayyan sepakat. Keduanya menyuara dengan lantang.

 

Teman satu geng Noah justru tidak sepakat. Mereka menolak atas keputusan. Pak Ibrahim terheran sebab keputusan yang belum ia resmi putuskan menjadi pro dan kontra. Keputusan yang sedari awal tidak ada yang menanggapi dengan baik mendadak bising.

 

“Kami tidak terima pak, jika Noah harus terpisahkan. Sedari awal ia bersama kami,” tutur Maulana. Ia sangat tidak terima dengan hal itu, sebab keakraban mereka jauh dari segalanya. Bagaimanapun Noah harus tetap satu kamar dengan dirinya dan teman satu geng lainnya.

Sedana dengan Maulana, Aly dan Wawan turut mengaminkan. Pertanda bahwa mereka sama tidak menyetujui.

 

“Pak, Noah menjadi pemalas sebab tidak ada yang menegurnya. Pengawasan harus lebih ketat lagi, sebab itu ia harus di roling dengan yang lain,” Adin kembali berpendapat. Ia bersikekeh mempertahankan argumen.

 

“Diam kau. Tahu apa. Memangnya kau sekamar dengannya,” Wawan marah. Tidak terima.

 

Suasana siang itu berubah memanas, tidak lagi hening, damai. Semua tegang. Berisik. Keputusan kembali kepada Pak Ibrahim.

Setelah mempertimbangkan banyak hal dan berdiskusi sejenak dengan ketua kamar, semua menyetujui. Terlebih Dito, ketua kamar 3B. Sejak Lima bulan lalu, sejak Noah menetap diasrama, terlebih ia bimbing. Ia tidak begitu suka dengan geng yang melibatkan Noah, sebab banyak yang tidak taat peraturan.

 

“Apapun keputusannya, tidak ada lagi yang berkomentar,” tutur Pak Ibrahim. Ia meminta agar semua patuh dan setuju akan keputusan yang ia ambil. Pak Ibrahim bersikap. –“Baiklah. Dengan ini saya putuskan agar Noah dipindah ke kamar 2A,”

 

Keheningan menyelimuti forum itu. Ruang mendadak hampa. Terdiam. Adin dan Rayyan tersenyum riang, saling merangkul.

 

 

    

 

 

          Rayyan dengan senang mengabari Bang Purnama melalui pesan massanger facebook. Ia dan Adin telah berhasil dalam memperjuangkan ide brilian yang telah mereka sepakati bersama.

          Mulanya, forum memanas. Tegang. Sebab banyak yang tidak terima jika dialih ungsikan dari kamar yang semula. Terlebih teman se-geng- Noah. Mereka masih saja berasumsi jika Noah tidak ingin dipindahkan, bahkan mereka berkata jika hal itu terjadi akan membuat Noah menjadi tidak betah di asrama.

          Hal yang lucu dan sangat tidak masuk akal. Hanya karena roling kamar saja membuat Noah menjadi tidak kerasan. Padahal Noah  sendiri sama sekali tidak berkutik apapun. Ia banyak terdiam. Menerima segala keputusan yang diambil dan ditetapkan oleh Pak Ibrahim.

 

          Purnama sangat salut dengan tekad serta dedikasi sahabat-sahabatnya, yang begitu komitmen sedari awal membantu. Tidak hanya mereka.

 

 

          “Apa kabar Puan. Sepekan enggak pernah hadir ke yayasan,” –Adin menyapa.

 

          Mereka membentuk grub massanger sebagai media komunikasi jarak jauh. Sebab di yayasan tidak di perkenankan untuk begitu leluasan menggunakan alat komunikasi; telepon. Mereka hanya diperbolehkan menggunakan telepon pada saat hari libur saja, hal itu agar lebih giat dan terpokus pada kegiatan. Sedangkan untuk laptop, diperbolehkan di operasikan saat keperluan tugas sekolah dan waktu senggang saja.

 

          “Alhamdulillah, baik Din. Bagaimana denganmu dan lainnya?”

 

          “Sama halnya denganku Puan. Semua keadaan membaik,” tutur Adin. –“By the way, Alhamdulillah Puan perjuangan kita menuai hasil baik,”

 

          Purnama sangat senang mendapat kabar tersebut. Hatinya berbung-bunga. Matanya berkaca. Teharu. Menahan tangis bahagia. Terlebih atas segala jasa kedua sahabatnya. –“Terima kasih atas segala bantuan kalian, sahabatku,” tulis Purnama.

          Ia semakin baper membalas pesan Adin. Sangat salut dengan perjuangan mereka yang akhirnya menuai hasil gemilang. Namun ia tidak begitu puas, sebab baginya perjuangan baru saja di mulai.

 

          “Kapan ini kita rayakan kemenangan,” tutur Rayyan ikut menimbrung pembahasan.

 

          “Kemenangan apa ya. Aku enggak ngeh,” Purnama pura-pura tidak paham akan ajakan Rayyan.

 

 

    

 

 

          Usai pekan itu, ketiga sekawan itu menghabiskan waktu luang di warung angkringan yang biasa menjadi tempat nongkrong serta berbagi cerita bersama. Selepas pulang sekolah, Purnama mengajak kedua sahabatnya pergi ke pasar, mencari beberapa keperluan sekolah dan keperluan pribadi serta bahan jamuan malam nanti. Setelah mendapatkan ijin dari Pak Ibrahim dan Ustadz Habiburrahman.

 

          “Dik Purnama,” tegur seseorang dari arah belakang.

 

          Purnama terkaget. Menoleh kearah belakang. –“Aby,” –“Apa kabar by” mencium tangan.

 

          Tak disengaja. Ditengah kegaduhan ramainya pasar. Hiruk pikuk keributan. Purnama dan kawan-kawan berjumpa Aby Ilham, Pamanda Noah. –“Hendak mencari apa by”

 

          “Hanya keliling saja. Menemani Mama mecari kebutuhan dapur,” –Aby Ilham tersenyum, mengusap kepala Purnama. –“Bagaimana kabar Noah dik?”

 

          “Baik. Sehat by”

 

          “Sikap Noah dengan dik Purnama, apakah masih seperti dulu,”

 

          Purnama terdiam. Ia resah. Bimbang hendak menjawab apa tentang Noah. Ia tidak ingin berkata yang tidak baik tentang anak itu. Khawatir jika nanti malah menjadi beban pikiran keluarga. Ia ingin agar keluarga Noah, terutama Bu Aisyah tenang, mencari nafkah untuk permatanya itu. Disisi lain ia juga tidak mungkin berbohong. Bagaimanapun Aby merupakan pamanda Noah yang secara jika ia menganggap Noah sebagai adik, maka Aby juga adalah bagian dari keluarganya.

 

          “Seperti halnya kemarin by. Hanya saja sudah mulai mereda,” tutur Purnama hati-hati berkata. Ia terpaksa untuk berterus terang. Berkata sejujurnya. Sebab tak ingin jika Aby tahu ia berbohong, pasti ia tidak akan lagi di percaya.

 

          Awalnya ia bingung. Hal yang membuat Noah berubah demikian drastis. Begitu cepat. Begitupun dengan Aby, tidak begitu memahami. Sebab saat di introgasi, Noah hanya berkata jika ia dijahili oleh kakak tingkatnya. Hal itu yang membuat Aby emosi. Marah. Sebab tindakan yang dilakukan anak-anak melewati ambang kewajaran. Sangat patal.

 

          “Apa Noah tidak pernah bercerita by?” –tanya Purnama penasaran.

 

          “Saat menerima poto yang kau titipkan pada teman sekamarnya, ia begitu sinis menatap. Hal itu yang menjadi tanda tanya bagi kami dik. Kami khawatir hal sama kau lakukan padanya, sebab itu Bunda Noah menelponmu malam itu juga,”

 

          Kurang lebih, ia memahami. Hal yang membuat Noah berubah tak suka padanya. Sebab beberapa orang yang tidak suka akan dirinya. Teman sekamar Noah, yang akrab dengannya sejak masuk yayasan. Noah terhasut. Menaruh benci pada dirinya. –“Jujur by. Aku merasa bersalah. Sebab itu sampai kini aku masih berjuang merubah sikap ponaan Aby sedikit demi sedikit” –Ia terdiam. Tertunduk. Haru. “Aku tidak ingin persepsi yang tidak baik melekat padaku,”

 

          “Sudah dik, jangan menyalahkan diri sendiri. Kami paham. Percaya padamu”

 

          “Terima kasih by. Alhamdulillah Noah tidak lagi tergabung bersama anak-anak itu”

 

          Perjumpaan itu membuat hati Purnama lega. Sedikit banyak, keluarga Noah sudah percaya padanya. Ia semakin bersemangat memperjuangkan seorang Noah, sampai kembali akrab. Sebagaimana awal jumpa.

 

          Setelah satu jam setengah, mengelilingi seluk-beluk pasar. Ia dan kedua sahabatnya kembali ke yayasan. Sebagaimana waktu yang diberikan. Mereka manfaatkan dengan bijak.

 

          Malam itu, bersama Erick, Adi, serta Ega turut ikut menemani Noah, sebagaimana ajakan Purnama. Menikmati kerlap-kerlip kilau bintang dibawah cahaya rembulan. Sengaja Purnama mengajak mereka, agar Noah tidak begitu canggung kaku padanya.

          Tak banyak obrolan. Sembari menyeruput kopi serta hidangan ayam bakar di pinggir kali dibelakang asrama. Mereka berbincang santai perihal masa lalu serta kehidupan bersama keluarga.

 

          Sedari tadi Noah hanya terdiam. Menikmati hidangan. Tanpa berkata. Ia hanya tersenyum taat kala yang lain bertutur kata. Menyimak.

 

          “Noah. Diam saja,” Purnama menegur. Mengusik keheningan. Noah terpaku, kaget. –“Bagaimana kabarmu, lama ya tak bersua,”

 

          “Baik bang,”

 

          Masih sama seperti kemarin. Ia tidak lagi memanggil Abang nya itu dengan sebutan Puan, sebagaimana perjanjian majelis lalu sebagai panggilan keakraban yang Purnama pinta.

 

          “Kau masih marah No?”

 

          “Enggak,” jawab Noah cetus.

 

“Saat kau pulang ke rumah beberapa waktu lalu, sebab acara apa No” –Purnama basa-basi. Menenangkan Noah. Mengikuti setiap geraknya.

 

Noah terdiam. Tak banyak kata. Bahkan tidak lagi berkata. Pertanyaan-pertanyaan tak satupun lagi ia jawab. Sebenarnya ia tidak lagi marah pada abang nya itu. Hanya saja ia masih enggan bertutur sapa. Sebab malu akan perbuatannya selama ini, dikarenakan hasutan dan juga desakan teman se-geng-nya lalu.

Meskipun sampai kini Noah belum begitu terbebaskan. Setidaknya Purnama merasa senang. Ia tidak lagi membisu.


No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.