Majelis


”Majelis”

 

 Oleh : Senja Jingga Purnama (@pecandusastra96)

Bintang Untuk Noah Part 3


"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan kedua........ Untuk membaca tulisan kedua, silahkan klik >>> Hari-Hari Sepi!"

NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.

follow instagram : @pecandusastra96

Twitter : @pecandusastra96

Email : disisisf.bpun@gmail.com 


             “Purnama.. Purnama” –“Kemana saja anak bujang, sedari tadi tidak kelihatan wujudnya” Bu Muslimah mendesis. Sejak tadi ia keliling mencari putranya itu, tak juga kunjung ketemu. Nampaknya ia mulai garang, matanya melotot.

 

          Petang kian menghilang, malam mulai berlabuh.

 

          “Rupanya kau disini, pantas saja sedari tadi mama tidak melihatmu,” –“Purnama. Bangun. Bangun. Apa kau tak dengar suara adzan berkumandang,” ia semakin kesal sebab anak lelakinya tidak juga terbangun dari tempat pembaringan. Seusai sholat ashar Purnama terlelap di kamarnya.

 

          Spontan. Purnama terkaget sebab suara bising Bu Muslimah yang sedari tadi membangunkan dirinya. Lelah begitu sangat menghakimi dirinya. Ia terpaksa terlelap tak berdaya dalam dunia yang entah-berantah. Pulau kapuk mengutuk, membuat dirinya begitu terlelap tak sadarkan diri. Sejak pagi hingga menjelang sore hari waktu ia habiskan untuk rewang. Berbenah di Yayasan Permata pimpinan Ustadz Habiburrahman. Putra nya, Mas Ibrahim beberapa pekan lalu telah usai melaksanakan akad nikah (walimatul ursyi) dengan wanita pilihannya. Esok merupakan hari perayaan bagi kedua mempelai (resepsi). Menjadi raja dan ratu dalam sehari.

          Sebagaimana aktivitas rutinan setiap triwulan dilaksanakan. Majelis yang digelar setiap tanggal lima belas selama tiga bulan sekali. Tepat kali ini, majelis digelar malam nanti. Bertepatan sama dengan perayaan pernikahan Arkan, hanya saja majelis diadakan malam hari dan resepsi esok pagi.

 

          Purnama beranjak dari ranjang pembaringan, tempat kesayangannya yang membuat ia terlelap tak sadarkan diri hingga lupa waktu. Matanya melirik kearah sudut dinding kamar, sebuah jam berukuran sedang terpampang pada dinding bagian atas pintu kamar, berbentuk bulat dengan desain club bola favoritnya; Barcaleona. Menunjukkan pukul 18.15. begitu terlelap hingga maghrib tiba, terhanyut dalam dunia mimpi, sebab lelah seharian. Usai melaksanakan ibadah sholat maghrib bersama Mama. Segera ia siap-siap guna menghadiri majelis rutinan di Yayasan Permata. Satu kilo dari rumahnya di Gang Melati.

           Majelis nanti ia berharap tidak lagi bertatap muka dengan sahabatnya; Ridwan. Terlalu banyak luka yang tergoreskan hanya karena memperjuangkan orang yang sama sekali tak pernah menghargainya. Orang yang ia anggap saudara, yang ia perlakukan dengan baik, justru berkhianat dan menjelekan dirinya, menusuk dari belakang.

Mata Purnama berlinang. menatap indah sebuah gambar pada kamarnya. Foto kenangan saat awal-awal keakraban ia dengan sahabatnya itu, yang kini menjadi bagian dari keluarga dan kisah hidupnya. Kini semua berakhir dengan luka.

 

          Ia begitu optimis, semua luka akan segera menemukan penawar. Dilepaskannya foto itu dari bingkai yang terpasang. Ia tidak ingin berlarut dalam kesedihan, sebab hal itu hanya memperburuk keadaan.

 

          “Semua akan berakhir malam ini” –Gambar ini akan segera menemukan pengganti. Bersama derai air mata, Purnama merobek foto kenangan dan membakarnya bersama luka-luka yang terpahat pada hati. “Bismillah. Aku ikhlas semua pergi. Terima kasih atas kenangan yang kau ukir, semoga luka segera membaik.”

           Malam itu ia terlihat gagah dan ceria. Raut wajahnya kembali bersinar. Dengan mengenakan jas hitam yang terbordir sebuah logo organisasi Islam kebanggaannya; Nahdlatul Ulama (NU). Sejak 2015 silam ia berteduh dibawah hijau-nya Nusantara itu. Banyak pengalaman, ilmu, serta pegetahuan ia dapatkan. Keluarga serta sahabat.  Terbordir rapi dengan  benang kuning emas cerah pada bagian dada sebelah kiri. Sedangkan pada sebelah kanan, terpampang namanya; Senja Purnama. Tidak lupa ia kenakan penutup kepala hitam polos dan sarungan ala santri pesantren.

          Cuaca malam itu, begitu dingin terasa. Hawanya merobek kulit, menusuk hinga tulang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu, sebab ia mandi malam. Juga karena cuaca pancaroba; kemarau panjang akan segera usai.

          Masyarakat begitu banyak turut memadati arena majelis, baik para wali siswa maupun warga sekitar yayasan. Antusias yang sangat luar biasa, tak biasanya majelis terpenuhi sepadat ini. Masyarakat berdatangan dari berbagai daerah, bahkan Masjid Al Furqon yang luasnya seratus dua puluh meter persegi-pun tak mampu menampung jama’ah sholat isya.

Ia sangat beruntung, meski hadir belakangan, ia masih bisa menempati tempat duduk yang berada didepan. Setelah berdesak-desakan memadati arena majelis. Meski berada di shaff  ketiga, dibelakang tempat duduk para tamu vip.

           “Hai, bolehkah aku duduk disini?” –Purnama menyeringai, tersenyum menatap seorang anak disebelah kanan nya.

           Ia tersenyum riang, malu-malu menatap. “Silahkan bang. Belum ada yang menempatinya juga” Tatap matanya tajam. Binar bening, dalam. Sedalam lautan. Kau tak akan mampu menyelam.

 

          “Kau seorang diri, kemari dik?”

           “Kami berdua disini bang,” Ia merangkul seorang temannya yang berada tepat pada sebelah kanan. Keduanya mulai terkantuk. Rona merah kelopak mata mulai terlihat.

 

          “Kalian hebat. Luar biasa. Malam begini, ke majelis hanya berdua,” Purnama tersenyum. Mengacung jempol, sebagai tanda apresiasi luar biasa.

 

          Keduanya tersenyum. Menahan tawa melihat sikap Senja. Terheran-heran ia memperhatikan kedua anak itu, barang kali ada yang salah dengannya. Semua baik-baik saja, tak ada hal aneh maupun lucu. Apa hal yang membuat ia ditertawakan.

 

          “Bang. Kami siswa disini. Tinggal di Asrama Permata,” keduanya bertutur sembari menunjuk kearah gedung tinggi yang tak jauh dari hadapan mereka. Tak ada gedung lain, satu-satunya hanya itu.

 

          “Ampun” –tutur Purnama malu.

 

Mati kutu. Ia benar-benar tidak paham, jika keduanya merupakan bagian dari penghuni asrama itu. Siswa yang tinggal di Asrama Permata. Seingatnya, wajah-wajah siswa baru tidak ada satupun yang tidak ia kenali, dan tidak ada yang seperti mereka. Mungkin kedua nya memang belum bertatap muka dengan dirinya, atau bisa jadi kedunya baru masuk. Sebab itu ia tidak mengenali mereka.

 

          “Abang kenapa? Kok diam saja!”

 

          “Tidak apa dik, hanya teringat sesuatu” –“Minta tolong tempat duduk Abang dijaga ya,” Purnama berdiri, beranjak melangkah kedepan panggung.

 

          “Yaelah, tempat duduknya enggak akan kabur. Lagian siapa juga yang mau ngambil, dibelakang masih banyak yang kosong”

 

          “Lha, kalau dibelakang kejauhan. Enggak bisa fokus. Disini, selain dekat dengan panggung utama, juga dekat dengan kalian” –Purnama tersenyum. Merayu.

 

          Seperti biasa. Setiap kegiatan ia selalu dilibatkan menjadi bagian sebagai fotografer. Sebenarnya ia merasa sangat risi, diberi amanah sebagai tukang foto. Mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yayasan. Selain rasa malu yang ia miliki, terlebih saat berada didepan. Sebab semua akan terfokus padanya. Selain  itu juga, ia tak pernah terlihat dalam moment-moment itu, sebab tak ada yang menggantikan posisinya. Terkadang rasa sedih menyelimuti, sebab saat ia di foto hasilnya selalu saja ngeblur enggak karuan dan jelek. Nasib seorang fotografer.

          Sedari ia menduduki bangku menengah atas, ia begitu hobi memotret. Ia terlibat dalam jurnalistik di sekolahnya. Namun sama sekali tak ada niat maupun minat menjadi fotografer. Semua dilakukan sebagai sadaqoh, guna mengurangi dosa-dosa yang di perbuat setiap harinya. Meski sedikit.

 

          “Abang tinggal dimana?” tanya anak itu sembari menepuk pundak Purnama. Masih sama, senyum khas terpaut pada wajahnya.

 

          “Gang Melati. Satu kilo dari Yayasan, sebelah kanan”

 

          “Aku paham tempat itu. Tak jauh dari tempat pamanku, di Jalan Cendrawasih” Ia menyeru. Teduh matanya seolah benar-benar ia memahami.

 

          “Namamu siapa? Sedari tadi kita belum saling mengenal”

 

          “Aku Noah” tangannya menjulur, menerima jabat tangan dari Purnamaa. Ia kembali tersenyum.

 

          “Astagfirullah. Jadi selama ini!” –Purnama terkejut. Jantungnya berdekat tak karuan, macam mendengar petir di siang bolong. Ia sangat terkejut, mendengar pengakuan sang anak. Sebab hal yang menjadi misteri beberapa pekan ini adalah  dia.

 

          “Abang kenapa”

 

          Saat Perkenalan Budaya Sekolah Baru (PBSB), hari kedua awal semester lalu. Purnama melihat seorang anak menatap serius padanya, begitu tajam memperhatikan. Ia hanya tersenyum, saat dirinya kembali melihat.

Sebab terburu-buru meninggalkan madrasah, dikarenakan ada pekerjaan yang mendadak. Ia hanya ingat sebuah kata pada papan nama yang dikenakan oleh anak itu; A.H. Tak ada lain.

         

PBSB tahun ajaran baru, tidak bisa ia ikuti secara maksimal. Tidak seperti biasa pada tahun-tahun sebelumnya. Bisa ia ikuti dan ikut andil sedari awal. Manajemen waktu yang belum bisa terorganisir dengan baik, serta kesibukan aktivitas yang begitu banyak menyita waktu. Saat itu para siswa baru mengenakan atribut, sebuah papan nama yang digantung pada bagian leher, sebagai hiasan kalung. Sebab terburu-buru, ia hanya membaca bagian akhir namanya saja; A.H. Hal itulah yang masih teringat dalam benak, serta senyum manis yang menjadi ciri khas. Pantas saja saat Noah tersenyum beberapa kali, sudah tidak asing lagi ia kenal.

 

          “Noah, rumahnya dimana?”

 

          “Ditinggal”

 

          Maksudnya?”

          “Aku-kan tinggal di asrama bang” ucap Noah guyon.

 

          Purnama tak mampu menahan tawa. Meski ia sedikit kesal. –“Maksudnya kau berasal dari daerah mana? Sebelum tinggal di asrama?”

 

          “Kota Bambu”

 

          “Bambu. Simpang Empat?”

 

          “Iya. Abang tahu tempat itu?”

 

          “Ya. Dulu pernah tinggal disana” –Sungguh suatu yang lucu. Sudah satu bulan setelah penerimaan siswa baru. Baru sekarang ia menyadari dan paham pada hari ini, bahwasanya ada siswa baru, muridnya, bernama Noah. Ia juga baru ingat hal yang begitu menjadi misteri dalam pikirannya.

Ternyata Noah berasal dari kota yang sama. Dimana selama empat tahun lamanya ia bergelut dengan buku. Beradaptasi dengan lingkungan baru, bahkan sangat awam baginya. Mengukir sejarah baru dalam kehidupan, hidup mandiri di negeri orang. Jadi teringat awal menginjakkan kaki di tanah rantau.

 

          “Abang. Namanya Senja Purnama?” Ia berseru. Masih tersenyum menatap.

 

          Bagaimana Noah begitu paham akan nama Purnama, bahkan sangat lengkap ia sebutkan. Ia sama sekali belum memperkenalkan diri padanya. Begitupun saat PBSB lalu. Sebab ia tidak memiliki waktu untuk memperkenalkan diri. Saat itu ia hanya diminta menjadi moderator, kelas motivasi. Itupun ia sama sekali tidak mengenakan atribut pengenal. Tidak juga memperkenalkan diri.

 

          “Kau bisa hapal dengan namaku”

 

          “Apa abang lupa, saat berkenalan di kelas. Abang minta untuk tidak di panggil dengan sebutan bapak dan juga mas. Pada jas yang sampean kenakan, itupun sama; Senja Purnama”

 

          “Jadi selama ini, sudah berapa kali kita jumpa? Aku sama sekali lupa” –Purnama terheran-heran.

 

          “Wajar jika lupa. Abang jarang masuk kelas sebab sibuk”

 

          “Yah baiklah. Maafkan abang yang belum mengenalimu.. Naaak”

 

          “Oke! Mulai sekarang, jangan lagi panggil dengan sebutan abang. Panggil saja Puan. Agar kita bisa lebih akrab”

 

Purnama merasa risi, ketika di panggil dengan sebutan mas. Baginya panggilan itu kurang cocok dengannya, sebab ia bukanlah keturunan Jawa. Kebanyakan penghuni dan siswa yang bernaung dalam Yayasan Permata, mayoritasnya suku Jawa, sebab itu ia metolerir hal itu. Sudah menjadi kebiasaan dan melekat padanya, sejak awal mengabdi disana. Ia pun tidak ingin di panggil dengan sebutan bapak. Masih terlalu muda. Belum cocok dengan sebutan itu. Karena itulah Purnama mengganti nama panggilan dengan Abang. Dan Puan bagi anak-anak yang bersahabat dan akrab dengannya.

 

          “Baaaiik. Bang” terbata-taba. Kaku. –“Puan. Maksudnya”

 

          Purnama merasa sangat senang. Misteri terpecahkan. Begitu berkahnya majelis itu, mempertemukannya dengan Noah, yang selama ini menjadi tanda tanya dalam benak dan pikiran. Sama sekali ia tak menyangka, berjumpa dengan siswa yang sudah sebulan bertatap muka dengan dirinya. Bahkan berasal satu kota, saat ia menghatamkan pendidikan menengah atas, dalam balutan putih abu-abu tiga tahun silam.

          Mahluk tuhan, dengan tinggi badan minimum serta mata sipit dan senyum manis merekah, yang menjadi khasnya. Sesuatu yang sangat membanggakan, Noah berdarah sama (suku) dengannya. Ia sama sekali tidak pernah membeda-bedakan, baik suku, warna, bahasa, maupun golongan orang. Baginya, siapa saja boleh akrab dan dekat dengannya. Ia selalu welcome terhadap siapa saja. Selagi itu baik dalam bersikap dan berprilaku, juga bisa saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

 

          “Mengapa tidak! Bukankah kita saudara. Sebangsa, setanah air”

 

          Waktu semakin berlalu. Malam berlarut dalam ramainya majelis. Syair-syair indah lantunan sholawat begitu menentramkan hati, siapa saja yang mendengarnya. Noah mulai lesu. Matanya memerah, desir kabut air menyelimuti permukaan kelopak mata. Berkedip tak kuasa menahan kantuk disamping Senja.

 

          “Kau terlihat sangat mengantuk sekali. Kau tidur saja disini. Nanti Puan bangunkan jika acaranya selesai”

 

          “Makasih Puan” –Ia menggeleng. Tersenyum. Tak ingin merepotkan orang yang baru akrab dengannya.

 

          Noah memutuskan untuk tidur di arena majelis disamping Purnama. Ia memilih untuk bersandar pada pundak sebelah kanan Purnama, dibandingkan tidur beralas kaki sebagaimana tawaran Purnama padanya.

 

          Noah sangat lelah. Mungkin ia juga belum terbiasa, berlarut malam seperti ini. Sebab itu Purnama menawarkan padanya untuk tidur terlebih dulu. Tiba-tiba saja, ia merasa sayang kepada anak itu. Hadirnya bak malaikat tak bersayap, yang tuhan kirim untuk ia jaga.

          Setiap ada rasa untuk melepas madrasah itu, pasti selalu ada saja hal yang membuatnya untuk selalu menetap. Akhir ini Purnama memang tidak lagi bersemangat, begitu banyak peristiwa aneh, serta masalah-masalah menghampirinya. Oleh sebab itulah ia jarang nampak di madrasah. Sebab itu ia banyak menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas diluar. Ditambah jadwal perkuliahan yang padat, serta organisasi yang menyita banyak waktu.

          Hadirnya Noah merupakan sebuah kejaiban. Bagaimana tidak! Ia merasa ada suatu energi mengalir. Semangat kembali hadir dan tumbuh, mengajaknya untuk mengabdikan diri lebih lama lagi di madrasah. Dia datang menumbuhkan semangat yang mulai padam.

 

          “Noah, bangun nak” Malam berlarut. Majelis-pun usai. Purnama membangunkan Lyla dari pangkuan pundaknya.

 

          Satu persatu jama’ah pergi meninggalkan arena majelis. Ada yang masih menetap, mengambil gambar dengan latar background benner majelis empat kali lima meter, yang terpasang pada panggung utama majelis. Ada pula orang tua yang masih bersua dengan anak-anaknya, yang menetap di asrama.

 

          “Puan. Sampean pulangkah?” –Noah menatap tajam abang itu. Tatapan matanya seakan meminta Purnamaa untuk tinggal, bermalam di asrama.


          “Aku pulang, sebab ada mama di rumah” Purnama teringat Mama yang hadir kemarin tadi dari kampung halamannya.

 

          Sebenarnya ia ingin sekali bermalam di yayasan. Sebagaimana waktu biasa, acap kali Yayasan Permata menggelar kegiatan baik skala kecil maupun besar, dirinya ikut terlibat dan menghabiskan waktu di yayasan. Ia selalu bermalam menemani anak-anak lembur. Malam ini ia putuskan untuk bermalam di rumah, ia tak ingin jika Bu Muslimah ia tinggalkan sendiri di rumah.

          Sengaja ia meminta agar mama nya turut hadir esok di resepsi pernikahan Mas Ibrahim. Atasannya yang juga putera pertama Ustadz Habiburrahman. Agar rekan kerja serta para petinggi di madrasah dan yayasan turut mengenal Bu Muslimah, Mama nya.

 

          Purnama adalah anak rantau, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Ia menginjakkan kaki di tanah rantau, sejak usai menghatamkan pendidikan menengah pertama. Dan akan melanjutkan ke jenjang menengah atas. Awalnya ia tak ingin sekolah jauh, apalagi sangat jauh dari kedua orang tua. Sebab kondisi ekonomi yang kurang memungkinkan, serta letak geografis dan kondisi sekolah yang tidak pas di hatinya. Akhirnya ia memutuskan untuk merantau, tinggal bersama paman.

 

          “Aku ke asrama, Puan”

 

          “Tunggu,” –Seru Purnama menghentikan langkah Noah. Menggenggam jari. Tersenyum. –“Kita selfie dulu”

 

          Sebelum Noah kembali ke asrama, dan Purnama pulang. Ia mengajak anak itu selfie bersama, menggunakan smartphone miliknya. Sebagai kenang-kenangan, juga pengingat majelis awal semester baru di yayasan, yang mempertemukan dirinya dengan sosok yang selama ini menjadi misteri baginya. Merasuk pikiran. Malam ini, kasus terpecahkan sudah.

 

          “Selamat beristihat Noah,” Purnama melangkah, meninggalkan arena majelis.

 

          “Sampai jumpa esok” Lambaian tangan, menjadi penutup perjumpaan meka malam itu.

 

 Ridwan menatap garang. Jari-jemari tangannya mengepal. Desah napas tak lagi beraturan, menatap tajam ke arah Purnama dan Noah. Sedari awal ia memperhatikan mereka. Darahnya naik tak karuan. Tak satupun kata ia ucap dari kejauahan. –“Awas saja. Tunggu saat pembalasan”.

Ia sama sekali tidak suka, jika ada yang dekat dengan Purnama. Apalagi anak baru yang akrab. Sejak pertengkarannya dengan Purnama, abang angkatnya itu kini ia menaruh benci.

Comments