Hari-Hari Sepi


“Hari-Hari Sepi”
Oleh : Senja Jingga Purnama
Bintang Untuk Noah Part 2

"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan pertama........ Untuk membaca tulisan pertama, silahkan klik >>> Bunda, Haruskah Berpisah?"

NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.

follow instagram : @pecandusastra96
Twitter : @pecandusastra96
Email : disisisf.bpun@gmail.com


        “Noah,” jerit wanita tua dari dalam bilik rumahnya. Ia begitu senang melihat sang cucunya kini telah sampai di kota. “Kau apa kabar. Bagaimana perjalananmu melelahkan atau menyenangkan?” Noah hanya tersenyum. Segera ia meraih tangan neneknya dan bergantian menyalimi satu persatu keluarga bunda yang berada di kota. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua jam itu, membuatnya lelah.

“Batin mau minum?” Rio menyodorkan secangkir es yang telah ia buatkan untuk menyambut pamannya itu. “Terima kasih, Yo”.

Jantung Noah kini berdebar. Rasa khawatir kemarin kini mulai menghantuinya kembali. Tak lama lagi ia akan sampai di yayasan tempat yang akan ia tinggali selama beberapa tahun kedepan. “Batin kenapa, wajahnya pucat begitu,” –“Ah tidak apa-apa,” Noah segera memalingkan wajahnya dari Rio. Matanya berkedip, dipaksanya bibir mungilnya itu membuat lengkungan garis kecil tipis. Seakan tidak lagi dalam kesehidan. –“Kau punya mainan baru ya, Batin lihatin dong,” ujarnya merayu Rio. Kedua bergegas menuju kamar. Dengan senang Rio menunjukkan permainan baru yang dibelikan oleh Aby nya.

 

“Apakah kau sudah benar-benar yakin Syah menitipkan Noah di yayasan,” ujar Oppa Nirmala kepada Bu Asiyah. Ia merasa kasihan terhadap cucunya yang masih kecil harus hidup mandiri di yayasan, namun disisi lain keputusan puterinya itu ada baiknya juga. Sebab dengan itu Noah bisa belajar menjadi pribadi yang baik, mandiri, dan tentunya menjadi pribadi yang dewasa dan paham akan agama. Aisyah mengangguk. Matanya menatap keluar jendela. Sejujurnya ia belum rela jika buah hatinya harus ia tinggalkan. Ia paham betul bagaimana sikap anaknya itu yang pecicilan, manja. Disuatu sisi ia memandang tak ada jalan lain selain itu untuk mengubah sikap Noah, apalagi ia malas-malasan dirumah bahkan sering kabur guna menghindari tugas-tugas. –“Niatku dengan Mas Prabu sudah bulatbu, inshaAllah kami ikhlas dalam hal apapun demi kebaikan Noah,” rela atau tidak, suka tidak suka semua harus dijalani. Tak ada yang harus dibatalkan.

Selepas makan siang, bersama sang Bunda, Abah, serta Aby Ilham yang turut menghantar Noah ke yayasan. Noah terbelalak dengan bangunan megah yang berada dihadapannya. Dipandanginya sekeliling bangunan indah itu, terdapat banyak sekali tanaman rindang. Sangat indah dipandang.

“Assalamu’alakum,” seseorang menyapa dari balik ruang tamu. Beliau Ustadz Habiburrahman, lelaki tua yang cukup awet muda dengan mengenakan sorban yang dikalungkan pada lehernya, menghiasi jas koko berwarna cokelat pekat yang ia kenakan, serta kacamata hitam bening. Sudah empat tahun beliau diberi kepercayaan oleh kantor pusat untuk memimpin yayasan permata itu. Beliau juga sekaligus guru agama di yayasan. –“Wa’alaikum salam,” –“Adik ini namanya siapa,” tutur Ustadz Habib mengajak Noah bicara. Ia sudah tahu namanya, hanya saja ia ingin agar Noah memperkenalkan diri dengan sendirinya. Noah tertunduk, tak berani menatap. –“Aku Noah Ustadz,” jawabnya kaku.

Dua hari lalu, Aby Ilham sudah terlebih dahulu mendaftarkan nama Noah sebagai salah satu siswa baru di Madrasah Tsanawiyah Permata. Ia juga sudah berbincang-bincang mengenai Noah kepada Ustadz Habib, jadi bagaimana mungkin beliau tak mengenal Noah. –“Noah berasal dari mana?” –“Kota Bambu Ustadz.” Ustadz Habib senang mendengar hal itu, dengan cara berbincang singkat itu beliau bisa menilai karakter sang anak, terlebih yang akan ia bimbing nantinya. Jadi beliau sedikit paham bagaimana harus menyikapi anak-anak yang berbeda-beda karakternya.

“Ibrahim...” Ustadz Habiburrahman memanggil puteranya. “Na’am Abah,” –“Ini lo Him, namanya Noah, salah satu anak muridmu,” tuturnya sembari memperkenalkan Noah, beliau juga memperkenalkan Ibrahim kepada Noah dan juga keluarga. Ibrahim merupakan putera kedua beliau sekaligus Kepala Madrasah Permata. Setelah berbincang-bincang, Ustadz Habib pun mempersilahkan Noah menuju asrama dengan diarahkan oleh seorang santri yang merupakan kepala kamar 3B. Sesuai dengan urutan pendaftaran maka Noah ditempatkan pada kamar 3B.

Usai berbenah merapikan lemari serta tempat tidur yang ia tempati. Bunda Aisyah serta keluarga yang turut menghantarkan Noah, pamitan. Sebab tak bisa berlama-lama di yayasan, hari pun semakin sore.

“Nak, Bunda pamit pulang ya,” wanita itu memeluk erat tubuh buah hatinya. Noah menangis, kembali memeluk erat tubuh sang bunda dan tak ingin melepaskannya. –“Bunda...,” –“Kau harus kuat nak. Semangat ya, Abah yakin kau betah. Lihat tuh teman-temanmu semua tidak ada yang menangis,” Pak Prabu membujuk Noah, ia juga menyemangatinya. –“Anak Bunda enggak boleh nangis, Senyum dong,” ujar Bu Aisyah sembari melepas pelukan Noah.

Sore itu, awal semua bermula. Kini tinggal Noah seorang diri berada dalam dunia barunya bersama orang-orang asing yang nantinya akan menjadi temannya. Dalam kamar tersebut terdapat lima belas anak, berlatar belakang berbeda-beda, dengan karakter berbeda, serta jenjang yang berbeda. Ada yang merupakan santri lama, namun tak banyak yang satu angkatan dengannya.

Hari pertama, kedua, dan ketiga ia hadapi dengan dengan tenang. Noah kini mulai bersosialisasi dengan rekan-rekan sekamar dan se-asramanya. Ia punya teman akrab; Wawan, Aly, dan Maulana. Aly adalah siswa baru, hanya saja berbeda tingkatan dengannya, sedangkan Wawan dan Maulana, keduanya merupakan siswa lama yang merupakan kakak tingkat Aly. Mereka mulai akrab dan membentuk geng.

Sejak keakraban mereka, Noah banyak mengikuti perubahan. Sebagaimana teman se-geng­ nya itu, namun banyak yang tidak menyukai mereka sebab sikap dan ulah mereka yang terkadang jahil, buat rusuh, bahkan terkadang tidak taat aturan.

Seminggu berlalu, pagi itu usai seluruh siswa beramai-ramai, gotong royong membersihkan yayasan serta senam pagi. Noah duduk menyepi. Tak biasanya hari itu ia berdiam diri, melamun diatas anak tangga pada pojok asrama. Hatinya mulai luluh, ia teringat akan suasana rumah, bunda, abah, serta aunty nya. –“Bagaimana kabar mereka ya!” Ia sangat rindu, terlebih akan hadirnya bunda. Waktu berubah cepat, kemarin ia baik-baik saja menjalani hari-hari di yayasan tanpa keluh kesah. Namun tidak pagi itu, ia justru merenung. Ia ingin kembali pulang, namun hal itu tidak mungkin terjadi. Ia menangis, tersedu. Apalagi jika ia mengingat begitu banyak yang tak suka akan dirinya, sebab keikutsertaan dirinya dengan geng itu. Ia juga bingung jika hendak meninggalkan teman se-geng nya, sebab tak ada teman yang akrab lain.

“Kamu kenapa Noah,” ujar Rayyan memecah lamunannya. Ia hendak menjemur pakaian. Sebab ia melihat Noah menangis, akhirnya ia menghampiri. Rayyan adalah kakak tingkat Noah, siswa baru yang hampir empat tahun menimba ilmu di yayasan permata. –“Enggak apa-apa bang,” –“Jika kau tak kenapa-napa, lantas mengapa menangis. Ada yang jahil padamu?” Noah terdiam. “Hmm... aku tahu, kau rindu rumah ya?” ia kembali terdiam, hanya menggelengkan kepalanya. “Kau rindu ibumu? Iya kan,” bisik Rayyan. Ia paham, penyakit anak-anak di yayasan setelah menghabiskan masa liburnya, apalagi anak baru. Noah mengangguk. Empat tahun berada di yayasan, Rayyan sudah biasa mandiri dan jauh dari keluarga. Ia mencoba menenangkan Noah serta menasehati dan menyemangati, bahkan ia tak segan berbagai hal-hal yang bisa menghilangkan kejenuhan. Noah sama sekali tak menyangka, ternyata prasangkanya selama ini tidak baik. Rupanya masih ada yang peduli kepadanya. Sejak saat itu ia mulai mengenal dan akrab dengan Rayyan.

Sejak pristiwa itu, Noah banyak menghabiskan waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang membuat mood nya naik. Ia pun sering berbagi cerita dengan Rayyan, kakak kelasnya di madrasah yang ia jumpai saat itu. Rayyan pun sama, ia sangat welcome terhadap Noah, terlebih ketika Noah sedang bad mood dan jenuh di yayasan. Terkadang mereka pergi memancing, ke kebun. Hal itu membuat lupa Noah, waktu kian berlalu, tanpa terasa ia telah satu bulan lebih berada di yayasan. Ia sangat bersyukur dipertemukan dengan Rayyan.

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.