Ragam media sosial. Freepic. ist |
Semakin berkembangnya teknologi informasi menjadi daya dorong bagi masyarakat semakin mudah dalam mengakses internet. Laju pesat informasi yang terus meroket, termasuk di dalamnya penggunaan media sosial. Bahkan, saat ini satu orang tidak hanya memiliki satu akun media sosial saja, namun banyak. Dan, itu tersebar di berbagai platform.
Sayangnya, hal ini tidak sejalan dengan harapan. Fakta yang terjadi, banyak pengguna dari platform digital ini memanfaatkannya untuk hal-hal negatif. Menyebar hoaks, menciptakan konten-konten yang menyebabkan pertikaian hingga perpecahan, menyebarkan hate speech atau komentar negatif, dan lain sebagainya. Karenanya, kebijaksanaan diri dalam memanfaatkan media sosial menjadi penting untuk diutamakan.
Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023 Ridwan Kamil, dalam salah satu podcast mengatakan; Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan orang Indonesia berada pada rangking sepuluh dari sebelas negara di Asean. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia terlebih utama mengedepankan jempol dari pada berpikir. Bahkan, netizen paling mengerikan (terjulid) se-Asia Pasifik adalah netizen Indonesia.
Seseorang jika sedang bertemu (berkumpul) ramai-ramai, kondisinya akan baik-baik. Namun, jika sudah dalam kesendirian, terlebih berada di ruang pribadi - bertemu handphone (HP), maka sifat aslinya akan keluar.
Baca: Dua Poin Penting Pada Novel Merindu Baginda Nabi Karya Kang Abik
Nah, dalam bermedia sosial penting kiranya kita menerapkan Stoikisme, terlebih dikotomi kendali dalam kehidupan kita. Stoikisme ini mengajak manusia untuk lebih bernalar. Hal ini, jika diterapkan dalam bermedia sosial, kita dapat memfilter apa-apa yang hadir dalam hidup kita.
Dikotomi kendali ini terbagi menjadi dua; hal yang berada di bawah kendali kita dan yang berada di luar kendali kita. Yang berada di bawah kendali kita seperti pikiran, perbuatan, dan tindakan. Sedangkan, selebihnya berada di luar kendali.
Kita sering merasa cemas, galau, bahkan stress karena memikirkan hal-hal yang tidak ada dalam kendali kita. Seperti contohnya, ketika mengunggah foto dan video mengenai diri kita atau orang terdekat ke media sosial, kita tidak bisa menahan jari seseorang untuk berkomentar negatif maupun hal lain sebagainya. Namun, kita bisa memfilternya dengan tidak memperdulikan omongan orang tersebut yang bisa membuat kita stress, galau, dan sebagainya.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti menjadikan kita seorang yang apatis, yang masa bodo. Harus ada usaha pula sebagai ikhtiar dalam penerapannya. Kalau kita tidak mau mendapatkan cemoohan dari orang, maka kita harus lebih bijak dalam membagikan sesuatu terlebih di media sosial.
Konten yang dibagikan apakah sudah sesuai dengan norma disekitar dan tidak bertentangan dengan hukum di sekitar. Harus diperhatikan pula dampak dari apa yang kita bagikan ke publik. Jika hal ini sudah kita lakukan, sisanya kita lepaskan. Karena bukan lagi di bawah kendali kita.
Media sosial ibaratkan sebuah mobil. Jika digunakan untuk kebaikan, maka ia akan menjadi mobil kebaikan. Sebaliknya, jika ia dimanfaatkan untuk kejahatan, ia akan menjadi mobil kejahatan.
Sebagaimana dikatakan Ridwan Kamil; "manusia memiliki dua sisi. Sisi gelap (jahat) dan sisi putih (baik). Hal ini jika tidak menggunakan agama dan nilai-nilai moral, maka sisi gelapnya akan terpanggungkan. Namun, jika menggunakan agama, pendidikan, dan nilai-nilai moral, kita bisa menahan sisi buruk kita dengan memperlihatkan siapa kita dari sisi baik."
Comments
Post a Comment