Skip to main content

"Menangkap Makna di Tengah Arus Zaman" Catatan Kuliah Umum Bersama Gus Faiz

 

KH. Muhammad Faiz Syukron Makmun MA (Gus Faiz) saat menyampaikan kuliah umum. (Tangkapan layar/Masjid Raya Bintara Jaya TV).

Di tengah gempuran teknologi, kecepatan hidup, dan rutinitas yang makin padat, ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita: waktu. Ia hadir diam-diam, berjalan tanpa kompromi, dan tak pernah bisa diulang.


Kajian yang digelar Masjid Raya Bintaro bersama KH. Muhammad Faiz Syukron Makmun (Gus Faiz) beberapa hari lalu, membuka kembali kesadaran saya tentang makna waktu dan tantangan zaman yang menyertainya.


Dalam bahasa sederhana namun menusuk, Gus Faiz mengingatkan bahwa waktu adalah manifestasi dari sifat Allah: Al-Awwal (Yang Awal) dan Al-Akhir (Yang Akhir). Waktu bukan sekadar detik dan jam di dinding, tapi cermin yang menunjukkan siapa kita sebenarnya: makhluk yang terbatas, lemah, dan sangat bergantung pada kemurahan Allah.


Tidak seperti teknologi yang bisa dimatikan, kendaraan yang bisa diberhentikan, atau media sosial yang bisa dijeda, waktu tak bisa ditunda apalagi diulang. Ini menjadikannya sumber daya paling mahal dan paling tak tergantikan dalam hidup manusia. Kita bisa cari uang yang hilang, pulihkan kesehatan yang menurun, tapi kita tak bisa mengambil kembali satu jam yang sudah terbuang sia-sia.


Gus Faiz mengutip Qur'an Surah Al-Asr yang sederhana tapi luar biasa dalam maknanya: manusia berada dalam kerugian, kecuali yang beriman, beramal baik, saling menasihati dalam kebenaran, dan dalam kesabaran. Ini bukan sekadar ayat, tapi peta jalan menghadapi zaman yang makin kompleks.


Dalam dunia yang menilai produktivitas dari seberapa banyak hasil, Surah Al-Asr justru mengingatkan soal kualitas: iman, amal, kesabaran, dan keberanian untuk menasihati dengan cinta.


Waktu dan Tantangan Zaman


Zaman sekarang tak hanya menuntut kita bergerak cepat, tapi juga multitugas, kompetitif, dan selalu on. Tapi semakin cepat dunia berjalan, semakin banyak orang yang kehilangan arah. Di sinilah waktu menjadi ujian. Bukan hanya soal produktif atau tidak, tapi juga soal apa yang kita isi di dalamnya.


Gus Faiz mengingatkan bahwa setiap manusia akan mengalami empat hal dalam waktu hidupnya: menerima nikmat, mendapat ujian, diberi hidayah untuk taat, atau jatuh dalam kemaksiatan.


Respons kita terhadap keempat keadaan ini menunjukkan siapa kita. Saat diberi nikmat, mampukah kita bersyukur? Saat diberi hidayah, mampukah kita istiqamah tanpa merasa lebih baik dari orang lain?


Kisah Ulama, Cermin Sikap terhadap Waktu


Dalam kajiannya, Gus Faiz juga mengisahkan tentang orang-orang saleh terdahulu, seperti; Imam Hasan Basri yang selalu mengisi detik hidupnya agar tak terbuang sia-sia. Ada Abu Abbas Almursi, sufi yang tak pernah lepas dari zikir. Dan Bahlul, tokoh sufi nyentrik yang menertawakan dunia karena tahu betapa fana dan terbatasnya ia.


Mereka bukan hanya menunjukkan bagaimana hidup sederhana, tapi juga bagaimana memaknai waktu sebagai ladang akhirat. Mereka tidak mengejar banyaknya amal, tapi kualitas hubungan dengan Allah. Sebuah pelajaran penting bagi generasi yang terlalu sering mengejar kesan luar, tapi lupa merawat dalam.


Dunia Pasti Berakhir, Tapi Amal Tetap Dihitung


Yang paling menggetarkan adalah kesadaran bahwa waktu dunia ini punya batas. Suatu saat semua akan selesai: pekerjaan, pencapaian, bahkan kehidupan itu sendiri. Dan yang tersisa hanyalah catatan amal.


Saat itu, yang akan menolong bukan gelar atau pengikut, tapi apa yang kita lakukan dengan waktu yang kita miliki. Maka, manusia yang cerdas bukan yang paling sibuk, tapi yang paling mampu memaknai kesibukan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.


Waktu Adalah Ujian, dan Kita Harus Lulus


Kajian ini bukan hanya memberi pemahaman, tapi juga membangunkan kesadaran. Bahwa dalam hidup yang makin sibuk, kita butuh jeda. Bukan untuk berhenti, tapi untuk bertanya: sudahkah kita berjalan ke arah yang benar? Sudahkah waktu kita diisi dengan sesuatu yang bermakna?


Zaman boleh berubah. Teknologi boleh semakin canggih. Tapi nilai waktu akan selalu tetap: terbatas, berjalan satu arah, dan akan dimintai pertanggungjawaban.


Jadi hari ini, di tengah kesibukan kita mengejar karier, deadline, atau scroll media sosial, ingatlah: setiap detik adalah karunia, sekaligus ujian. Jangan biarkan ia berlalu sia-sia.


"Karena waktu tak bisa kita simpan, tak bisa kita ulang - tapi bisa kita isi dengan hal yang berarti."

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...