Dua Poin Penting Pada Novel Merindu Baginda Nabi Karya Kang Abik

 

Novel Merindu Baginda Nabi karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) | Foto oleh Pecandu Sastra©2022.ist



     Siapa yang tidak mengenal sosok Habiburrahman El Shirazy atau yang lebih akrab disapa Kang Abik. Seorang novelis nomor 1 di Indonesia yang karyanya tak pernah padam di hati para pembaca. 

Bagaimana tidak, setiap karya yang ditulis oleh sarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini selalu menginspirasi. Banyak kalimat-kalimat yang menggetarkan jiwa, menjadi bagian sarana dakwah Islami. 

Merindu Baginda Nabi merupakan novel karya Kang Abik yang kesekian. Hingga saat ini, sudah tercetak ulang ke-enam kalinya. 

Mengambil latar tempat di sebuah Pesantren di Malang, Jawa Timur, serta kota-kota di Amerika. Novel ini berkisah tentang kehidupan seorang dara; Syarifatul Bariyyah (Rifa)-terlahir tanpa orang tua, ia ditemukan seorang nenek di tempat sampah. Namun, takdir berkata lain, ia dipertemukan oleh Allah dengan orang tua angkat yang sangat penyayang. 

Terkait kerinduan, pernahkan sahabat pembaca secara tiba-tiba merasa rindu, didera rasa rindu yang amat begitu luar biasa. Bahkan, ada pula yang sampai air matanya terjatuh tanpa terduga. Baik itu rindu kepada orang tua, guru, sahabat, kekasih, atau...? Entahlah, yang jelas rindu!

Ada satu dialog yang begitu amazing banget dalam novel 'Merindu Baginda Nabi' karya da'i kelahiran 30 September 1976 ini-membuat air mataku berderai tak karuan. Di mana pada suatu ketika Rifa bertanya penasaran sebab belakangan Abahnya (Pak Nur Rochim) sering merenung, menyendiri. Bahkan, beberapa kali ia menyaksikan secara tak sengaja Abahnya terlihat menangis. 

"Abah, nyuwun sewu (mohon maaf), Rifa lihat Abah akhir ini banyak merenung. Apakah ini karena Rifa tidak mau dijodohkan dengan Ustadz Anam sehingga Abah sedih?" tanya Rifa penasaran. 

"Astaghfirullah, tidak nduk. Abah malah sudah tidak memikirkan hal itu."

"Lantas mengapa Abah selalu murung. Apa yang terjadi bah?"

"Abah didera rasa rindu yang luar biasa."

"Rindu apa atau siapa bah? Bukankah kami semua orang yang abah cintai ada di samping Abah?"

"Abah didera rasa rindu pada Baginda Nabi Muhammad SAW."

Mendengar jawaban abahnya, seluruh tubuh Rifa merinding dan bergetar. Abahnya menangis. 

"Apakah kau dan seluruh santri Darus Sunnah, anak-anak yatim semuanya mengizinkan kalau abah umrah untuk sowan pada Baginda Nabi, nduk?" kata abahnya sambil terisak. 

Rifa langsung memeluk abahnya. Ia tahu persis selama ini rezeki yang didapat abahnya dari jualan bakso digunakan untuk menghidupi anak-anak yatim. Beberapa kali mau umrah ia urungkan karena ada keperluan mendadak dari anak-anak yatim yang memerlukan biaya pengobatan, maka biaya untuk umrahnya diinfaqkan bagi mereka. Umminya juga cerita, tujuh tahun yang lalu saat abahnya mau umrah juga, ia mendengar ada seorang santri hafal Al-Qur'an mau kuliah ke Mesir tapi tidak punya biaya beli tiket pesawat. Abahnya merelakan uang yang akan digunakan umrah untuk membelikan tiket santri itu. 

- - - - - - -

Dialog di atas begitu menggetarkan jiwa, siapapun yang membacanya pasti akan tergetar hatinya. 

Bagaimana tidak, sosok yang luar biasa rendah hati. Seorang pimpinan pesantren Yatim Piatu yang tidak pernah mau untuk dipanggil Kiai ataupun Ustadz sebab merasa dirinya tak pantas. Bahkan untuk menjadi Imam masjid pun enggan. Sebab ia sangat ta'dzim kepada perintah gurunya, di mana awal ia merantau hanya di minta menjadi muadzin masjid dan mengajarkan kitab sebagaimana diperintahkan guru, meski ia paham beberapa. 

Seorang penjual bakso yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk anak yatim piatu. Bahkan, hasil jualan dan tabungannya ia utamakan untuk yayasan. Keinginannya untuk ke tanah suci sejak dulu selalu tertunda, sebab ia lebih mengutamakan kebutuhan anak yatim piatu. 

Ada dua poin penting yang dapat dipetik dari kisah Pak Nur. Tentang ta'dzimnya seorang murid kepada guru, juga kedermawanan Pak Nur dalam memikul tanggungjawab dan amanah sebagai pimpinan yayasan. 

Kebanyakan dari kita banyak mengedepankan ego, merasa paling layak dan paling benar. Hingga lupa, hakikat kehidupan sejatinya seperti apa. 

Kita selalu berlomba-lomba ingin dimuliakan oleh manusia dan mendapat pengakuan darinya. Jangankan mengalah, berkorban untuk sesama. Sekadar salah panggil atau ada gelar yang tidak disebutkan saja kita sudah bereaksi luar biasa. Kadang merajuk, seakan nggak dihargai. Padahal kita itu sama dihadapan Sang Pencipta. 

Berkaca dari Pak Nur, semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan Allah jadikan kita orang dermawan yang beriman. Yang mampu mengendalikan ego, bukan dikendalikan oleh ego. 

Sangatlah beruntung bagi siapa saja yang didera rindu kepada Sang Nabi. Semoga kita pun Allah ridhai merindu pada sang Murobbi, Allahumma Shalli Wassalim Ala Sayyidina Wamaulana Muhammadin Adada ma Fi'ilmillahi Shalatan da Imatan Bidawami Mulkillahi; "Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad SAW sebanyak bilangan yang ada dalam bilangan Allah, dengan rahmat yang abadi se-abadi kerajaan Allah."


"Beruntunglah orang yang pernah melihatku, kemudian beriman kepadaku dan beruntunglah orang-orang yang beriman kepadaku, padahal ia tidak pernah melihatku," sabda Nabi saw., dalam Musnad Imam Ahmad. 

"Teman terbaik kalian dalam menghadapi tantangan hidup adalah iman dan ilmu. Ilmu adalah investasi terbaik yang akan terus mendatangkan keuntungan setiap saat," halaman 89.

"Penyakit orang alim itu biasanya takabur, sombong," halaman 59.

"Jadilah seperti bumi. Lihatlah keikhlasan bumi. Bila segala yang busuk dan buruk dilempar dan ditanam ke dalamnya, bumi tetap setia menumbuhkan buah-buahan yang segar dan harum. Menumbuhkan tetumbuhan, tanaman, dan rerumputan yang menjadi bahan makanan mahluk Allah di atas muka bumi ini. Meski ia diinjak-injak setiap saat, ia tidak pernah mengeluh," halaman 117.


Identitas Buku:

Judul: Merindu Baginda Nabi

Penulis: Habiburrahman El Shirazy

Penerbit: Republika

Tahun: 2018

Jumlah halaman: iv + 176 halaman

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.