![]() |
Ilustrasi - pertemuan dua insan di suatu mushola. (Sumber: AI) |
Langkahku berat, hati terasa enggan menepi.
Tempat asing, dinding-dinding sunyi,
Tapi tanggung jawab menarikku berdiri.
Kupikir hanya akan sholat lalu pergi,
Namun takdir menyusun pertemuan sunyi.
Seorang anak kecil -
Dengan mata teduh dan senyum yang tak biasa mengalir.
Tak ada salam, tak sempat bicara,
Hanya tatapan yang menyentuh jiwa.
Seolah Allah berkata lirih di dada:
"Lihatlah, ini bukan kebetulan semata."
Hari berikutnya, ia kembali hadir.
Tak ada kata, hanya hadir yang menyejukkan batin.
Tiga kali datang, tiga kali bertemu,
Hingga akhirnya kita menyapa, malu tapi rindu.
Namanya tak seagung bintang,
Tapi ada kedalaman dalam caranya memandang.
Bukan cinta yang kuharapkan,
Hanya ketenangan yang tak kutemukan dari mana pun selain dari senyumnya yang perlahan.
Aku takut
Bukan pada rasa, tapi pada arah rasa ini dibawa.
Tak ingin ia jadi ujian bagi hatiku,
Namun tak juga bisa kuingkari betapa ia menggetarkan waktu.
Mungkin ini bukan tentang memiliki,
Tapi tentang memahami bahwa takdir bisa sehalus ini.
Tentang betapa Allah tahu:
Kadang yang kita butuh hanya seseorang yang datang diam-diam,
lalu mengajarkan makna hadir tanpa harus mendekap dalam genggam.
Tempat asing, dinding-dinding sunyi,
Tapi tanggung jawab menarikku berdiri.
Kupikir hanya akan sholat lalu pergi,
Namun takdir menyusun pertemuan sunyi.
Seorang anak kecil -
Dengan mata teduh dan senyum yang tak biasa mengalir.
Tak ada salam, tak sempat bicara,
Hanya tatapan yang menyentuh jiwa.
Seolah Allah berkata lirih di dada:
"Lihatlah, ini bukan kebetulan semata."
Hari berikutnya, ia kembali hadir.
Tak ada kata, hanya hadir yang menyejukkan batin.
Tiga kali datang, tiga kali bertemu,
Hingga akhirnya kita menyapa, malu tapi rindu.
Baca juga: Ketika Tukang Sol Sepatu Jadi Haji yang Mabrur Tanpa Berhaji
Namanya tak seagung bintang,
Tapi ada kedalaman dalam caranya memandang.
Bukan cinta yang kuharapkan,
Hanya ketenangan yang tak kutemukan dari mana pun selain dari senyumnya yang perlahan.
Aku takut
Bukan pada rasa, tapi pada arah rasa ini dibawa.
Tak ingin ia jadi ujian bagi hatiku,
Namun tak juga bisa kuingkari betapa ia menggetarkan waktu.
Mungkin ini bukan tentang memiliki,
Tapi tentang memahami bahwa takdir bisa sehalus ini.
Tentang betapa Allah tahu:
Kadang yang kita butuh hanya seseorang yang datang diam-diam,
lalu mengajarkan makna hadir tanpa harus mendekap dalam genggam.
Baca juga: Hikmah Pagi Dalam Kesunyian Idul Adha
Hari-hari berjalan, dan rasa tetap diam.
Tapi ia hidup -
seperti bisik di antara dua sujud,
seperti doa yang tak ingin jadi beban, tapi juga tak ingin dilupakan.
Jika nanti jarak memisah,
Semoga kenang ini cukup jadi arah.
Bahwa pernah, di sebuah mushola sederhana,
Aku dipertemukan bukan karena ingin, tapi karena Tuhan menyelipkan makna.
Lampung, 4 Juni 2025
Baca juga: Ebit G Ade dan Rasa yang Tak Lagi Sama
* Ditulis oleh Cendekia Alazzam dan dipublikasikan pertama kali di Kompasiana.
Comments
Post a Comment