Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri |
Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur.
Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu.
Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah.
Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah puncak macetnya lalu lintas. Orang-orang lalu-lalang setelah seharian beraktivitas. Aku tidak ikut gabung bersama rombongan kali itu, Abah meminta agar aku menemani pihak panitia guna menjemput Habaib (guru beliau) yang dijadwalkan mengisi ta'lim malam itu. Biasanya, kalau berangkat selalu bareng Abah dan rombongan. Sebab Abah yang memerintah, aku sami'na wa athona dengan beliau.
Singkat cerita, setelah kurang lebih tiga puluh menit menembus padatnya lalu lintas, kami pun tiba di kediaman Habib Musthofa. Karena waktu maghrib telah berjalan dan awan hitam kian mengebul di langit Citeureup, aku dan pihak panitia segera bersuci-mendirikan shalat di pelataran majelis milik Habib. Selepas itu kita berbincang sebentar dan bergegas melanjutkan perjalanan.
Hujan deras tepat turun setelah kami menunaikan shalat maghrib. Karena perjalanan akan menempuh waktu dua hingga tiga jam, kami pun bergegas berangkat. Rintik hujan kian deras melepas kerinduan di bumi Citereup, aku berbisik pada Bang Obay, apakah di mobil ada payung, sayangnya tidak! Sembari berpikir mencari solusi, aku bergegas menuju parkiran-mengangkut barang-barang yang akan dibawa. Sesekali memerhatikan rumah warga sekitar. Namun sepi yang didapat, semua tertutup rapi. Lagi pula belum tentu ada yang mau membukakan pintu untukku, apalagi meminjamkan payung. Selain cuaca yang hujan, juga aku kan orang asing (bukan penduduk setempat).
Seketika hatiku berdesir, menangis, air mata jatuh tak terasa bersama rintik hujan, melihat pemandangan yang mencekam ulu hati. Bagaimana tidak, beliau (para habib) basah kuyup menebas hujan yang deras menuju parkiran. Hatiku bergeming; Ya Rabb, maafkan aku, aku bersalah, telah membiarkan guruku kehujanan. Keturunan kekasihMu basah kuyup. Maafkan aku Ya Rabb. Segera aku bergegas menghampiri Habib, mengambil tas yang beliau bawa dan membukakan pintu mobil. Tidak peduli deras hujan kian membasahi tubuh, jika Habib basah kuyup, aku pun harus lebih.
Perjalanan malam ditemani dingin dan derasnya hujan. Membuat tubuh gigil dan mengundang kantuk. Aku berusaha terjaga. Sekira pukul dua puluh dua waktu Indonesia bagian barat,kami tiba di Desa Nameng, istirahat melepas penat sejenak di kediaman Bang Joni (shohibul wilayah) sembari menikmati kudapan, menghangatkan badan.
Baca: Ramadhan Rindu Bersama Guru
Lantunan sholawat Tholaal Badru menggema diiringi tabuhan hadrah menyambut kedatangan yang mulia, Habibana Musthofa dan rombongan. Aku ikut mengiring di bagian belakang.
Usai menyampaikan mauidatul khasanah, Habib dan rombongan kembali ke rumah shohibul wilayah, santapan jasmani dan bincang-bincang. Tidak begitu banyak hal yang aku tangkap dari materi yang beliau sampaikan, karena penyampaian lebih banyak memakai bahasa daerah; Sunda. Di mana aku hanya mengerti sangat-sangat sedikit, lebih banyak tidak mengertinya. Doaku selalu; semoga Allah memberikan pemahaman kepadaku terhadap yang baik-baik. Aamiin.
Usai santap malam, jamaah rombongan Majelis Ta'lim Al-Maujud pamitan-balik kanan. Aku menyengaja tidak ikut pulang bareng rombongan. Selain bertugas mengawal Habib, sedari rumah memang sudah berniat untuk mengawal sampai tuntas, apalagi Abah juga tidak pulang dan beliau pula sudah berpesan agar aku pulang belakangan. Bagiku, Abah adalah orang tua, bukan sekadar guru, jadi samina wa atona dengan beliau.
Kesempatan ini tentu tidak aku sia-siakan, sangat jarang bisa bersama Habib dan dekat (mengawal) beliau. Tidak semua orang bisa, apalagi untuk orang yang sepertiku; banyak salah, khilaf, dan dosa. Semoga berkah dari mengawal beliau-beliau, para keturunan manusia yang agung, yang insyaallah kita semua mengidolakannya; Habibana wa Nabiyuna Muhammad SAW. Semoga dengannya Allah mengampuni segala salah, khilaf, dan dosaku, Aamiin.
Jika ditanya apakah bangga? Tentu, kebanggaan dan kebahagiaan itu tidak bisa diungkap dengan kata-kata. Sekalinya mengawal Habib, langsung tiga; Habib Musthofa bin Usman bin Yahya, Habib Hamid Al-Kaff, dan Habib Sholeh. Siapa yang tidak bangga dan senang hatinya, bisa duduk bersama, memandang wajahnya secara lama. MasyaAllah.
Baca: Konbes dan Rakernas Persatukan Ukhuwah
Meski kantuk kian berat, aku berusaha tetap terjaga. Bagiku pantang rebahan sebelum Habib terlebih dulu istirahat. Sebagai pengawal, masa tumbang lebih dulu! Di tengah pekatnya malam, kopi hitam tanpa gula menjadi andalan. Dan malam itu larut sampai pukul dua dini hari.
Kekuatan Al-Fatihah dan Doa
Rasanya, rasa syukur harus terus bertambah. Sangat beruntung gusti Allah pertemukan diri ini dengan orang-orang shalih. Jika bukan wasilah manut dawuh Abah, mungkin aku nggak akan bisa sedekat dan akrab dengan para habib, sebagaimana malam ini. Tentunya pula atas izin-Nya Sang Khalik.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari para guru. Benar apa yang Abah pernah katakan, banyak pelajaran yang bisa diambil dari orang-orang shalih. Tidak hanya dari bicaranya, bahkan dari cara mereka duduk, berdiri sekalipun bisa menjadi pelajaran. Tergantung dari sudut mana kita mengambil hikmahnya.
Alhamdulillah, pagi-pagi menemani beliau-beliau ngopi sembari bincang santai, dilanjutkan dengan sarapan pagi.
Pagi itu kita melanjutkan perjalanan ke Gunung Gambir yang terletak di antara perbatasan salah satu desa di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sudah tiga kali aku berniat ke sini sejak Abah bercerita tentang wilayah tersebut, namun selalu gagal. Setelah aku benar-benar berniat dengan wasilah Al-Fatihah dan doa, Alhamdulillah pagi ini Allah beri kesempatan.
Bersama rombongan, Habib Musthofa mengawali ziarah maqam di wilayah setempat. Pertama kita ziarah ke makam Syaikh Jabaranta, tidak ada yang begitu paham akan sosok tersebut. Namun, menurut pengetahuan dan wawasan, serta sejarah yang Habib Musthofa telusuri, tidak ada yang memiliki nama Syaikh Jabaranta selain Syaikh Siti Jenar. Perihal itu benar atau tidak makamnya beliau, ya wallahu alam.
Ada sesuatu yang aneh menurutku, diakhir doa setelah ziarah di makam Syaikh Jabaranta, aku mencium wangi bunga, entahlah bunga apa itu, begitu jelas tercium wanginya. Padahal, diantara kita saat itu tidak ada yang memakai parfum dengan aroma tersebut. Bahkan tidak hanya aku yang menciumnya, hampir kita semua menciumnya. Hal ini aku ketahui saat berbincang-bincang bersama rombongan usai kita ziarah, kala berteduh di gubuk Kang Karim sembari menikmati buah Rambutan ditemani sepoi angin menjelang sore. Ada tiga makam yang kita ziarahi kala itu; Makam Syaikh Jabaranta, Eyang Haji Surya Padang, dan Ki Tubagus Yusuf.
Di makan Eyang H Surya Padang |
Ziarah Makam Syaikh Jabaranta |
Malam menjelang ditemani gerimis yang kian melepas rindu. Adzan maghrib berkumandang dari gubuk tempat kita berteduh. Teduh, nyaring, kumandang adzan yang dilantunkan Habib Hamid Al-Kaff menggetarkan hati, masyaAllah suara beliau merdu, ditambah dengan nada khas Kota Makkah, semakin menggetarkan qalbu dan membuat rindu kian tumbuh dalam hati pada kota tersebut. Semoga suatu hari bisa memijakkan kaki di negeri Nabi bersama Mama, keluarga, dan para guru.
Baca: Terima Kasih Untuk Waktu yang Lupa Aku Syukuri
Dari beberapa kali kita berjamaah dalam shalat, ada sesuatu yang bagiku istimewa, dari mengimami shalat hingga berdoa. Di sini para habaib saling tunjuk siapa yang mengimami shalat dan siapa-siapa yang memimpin doa. Dari yang aku tangkap, hal ini merupakan suatu penghormatan atau saling menghormati atara sesama dan agar semuanya mendapatkan pahala. Juga, kita tidak tahu di antara yang berdoa entah doa siapa yang Allah kabulkan. Oleh karenanya setiap berdoa saling bergantian yang memimpin. Masya Allah sekali memang ya orang-orang shalih.
Malamnya kita ta'lim bersama, menyenandungkan Maulid Burdah. Meski hujan dan berada di tengah hutan, masyaAllah, jamaah yang hadir ramai, gubuknya penuh dan padat. Dingin cuaca pegunungan ditambah angin pasca hujan, sama sekali tidak menyurutkan semangat.
Majelis usai sekira pukul sepuluh malam, dilanjutkan santapan jasmani bersama. Seperti kemarin, malam ini aku pun tetap terjaga. Meski rasa kantuk sisa semalam belum terbayarkan, lelah hari ini sama sekali tidak terasa. Sebenarnya badan sudah mendemo untuk merebah. Tapi, hati selalu menguatkan; sabar, jangan dulu, masa pengawal tumbang duluan. Dan, akhirnya rebahan bisa dirasakan pada tengah malam, setelah para Habaib dan Abah istirahat.
Setengah dua dini hari kita terbangun dari lelap. Usai qiyamullail, akhirnya kita pun berpisah. Rombongan para habaib diantarkan oleh pihak panitia, kita ikut mengantarkan sampai depan. Entahlah, tiba-tiba hatiku gundah, ada rasa sedih datang melanda bersamaan taat kala melepas para guru kami pulang menuju rumah. Air mata jatuh tak tertahan, namun senyum tetap harus terangkai. Saat mencium tangan beliau-beliau, dalam hati membatin, berdoa kepada Allah, agar guru-guru kita dijaga oleh-Nya dan Ia pertemukan kita kembali. Kita berjumpa atas-Nya, karena-Nya, dan oleh-Nya. Kita berpisah untuk bersua kembali.
Terima kasih Ya Allah tiga puluh jam bersama Habibana. Bersua, bercengkrama, menemani Syuriyahnya kekasih-Mu, Habibana wa Nabiyana Muhammad saw., semoga beliau-beliau, guru kami menjadi saksi bagi kami di hadapan kakeknya kelak.
Comments
Post a Comment