Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/


Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berdzikir Jum'at petang itu, aku bergegas telah bersiap menemani abah beserta jamaah Majelis Ta’lim wal Mudzakarah Al-Maujud guna memenuhi undangan majelis peringatan hari besar Islam (Isra’ Mi’raj) di salah satu desa di Bogor bagian Timur.


Abah, demikian aku memanggil lelaki paruh baya yang tengah menginjak usia emas kehidupan. Tepat pada April esok, ia akan genap 50 tahun. Seorang pendakwah ulung yang begitu istikomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu.


Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau dalam rihlah dakwah rutinan ratib dan maulid di Desa Nameng, sepekan sekali dengan mengendarai motor. Tidak peduli gerimis, bahkan hujan sekali pun, dingin atau panasnya cuaca tidak sama sekali mampu menggugurkan semangat dalam misi menyebarkan dakwah Islam dan dakwah Baginda Nabi Muhammad saw,. Meski lelah seharian aktivitas, beliau tetap istikomah hadir di majelis tanpa absen, kecuali jika ada uzur yang mendesak. Hal tersebut yang membuat aku kagum dan mengagumi sosok abah.


Hidup itu memang lucu, penuh misteri. Kita tidak pernah tahu siapa yang akan Allah hadirkan dalam hidup kita, dalam keadaan baik atau sebaliknya. Lebih dari setahun lalu, tanpa disengaja perjumpaan aku dan abah, hal yang tak pernah diduga. Karena begitu berat ketika hendak melepas diri mengarungi samudera di luar pulau, apalagi untuk pertama kalinya. Ada rasa gundah, sedih, dan kecewa. Antara menyesal dan menyalahkan diri, karena begitu banyak yang harus dikorbankan. Dari aktivitas, komunitas, hingga kerabat dan persahabatan. Namun, sebagaimana pepatah dari Imam Syafi’i perihal merantau; “merantaulah, maka kau akan mendapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang.” Aku yakin dan percaya, bahwa nasihat itu tidak hanya sekadar nasihat, juga keajaiban yang nyata.


Di tengah terpaan galau dan sedih, aku berdoa seraya mencoba menguatkan hati untuk ikhlas menjalani apa yang terjadi. Dalam doaku, aku meminta agar Allah ganti sosok-sosok yang dahulu berada di dekatku sebagai sahabat, support sistem, partner, dan lingkungan yang lebih baik dari sebelumnya. 


Sore itu, setelah hampir tiga hari menginjakkan kaki di Kabupaten Bogor, beliau hadir menyapa-tepat ketika aku sedang duduk santai di tepi teras kostan. Perjumpaan singkat yang memberikan kesan pertama yang baik dan mengagumkan. Dari gestur, cara beliau dalam menjalin komunikasi, aku merasa nyaman dan senang berada di dekat beliau, dari situlah jalinan persahabatan terjadi.


Perjumpaan itu sempat terjeda, setelah dua bulan berada di Kota Hujan, aku kembali ke tanah Lampung, Sai Bumi Ruwa Jurai. Namun, komunikasi dan silaturahmi tetap terjaga, berkah dari adanya perkembangan teknologi yang memudahkan komunikasi. Setahun setelahnya, Allah kembali pertemukan kita dalam majelis tercinta hingga terbentuklah persahabatan berlandaskan cinta karena Allah dan untuk Allah.


*   *   *   *   *


Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat ba'da shalat asar dan tiba paling lambat setelah maghrib. Mengingat perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja dan pada jam segitu ialah puncak macetnya lalu lintas. Orang-orang berlalu-lalang setelah seharian beraktivitas, mengais rezeki di hamparan samudera.


Aku yang sudah siap, lebih dahulu menuju rumah abah, sembari menunggu yang lain. Aku tidak ikut rombongan, melainkan berangkat paling akhir. Abah memintaku agar turut serta menemani Kang Obay dan rekannya dari pihak panitia menjemput Habib Mustofa (guru abah dan guru kita semua) dan  rombongan yang dijadwalkan mengisi ta'lim malam itu. Sebab abah yang meminta, aku sami'na wa athona dengan beliau. Tak sedikitpun berani berkomentar, bagiku beliau adalah sosok orang tua dan guru yang menjadi panutan.


Tak baik pula jika kita banyak berkomentar, apalagi guru yang memerintah. Aku pernah mendengar kalam dari salah satu ulama yang aku dapatkan dari sebuah postingan ulama terkemuka yang aku ikuti di media sosial; Habib Hasan bin Abdullah bin Umar Asyatiri pernah mengatakan bahwa kedekatan murid dengan gurunya bukan terukur dari banyaknya salaman, atau misalkan banyaknya kita menghabiskan bekas minum guru, atau tangan beliau pernah ditaruh di atas kepala atau dada kita. Bukan dari hal-hal seperti itu. Akan tetapi, Allah melihat bagaimana hati kita mencintai guru kita dan bagaimana hati kita sami'na wa athona terhadap apa yang beliau sampaikan, kita dengar dan kita patuhi.


Setelah kurang lebih tiga puluh menit menembus padatnya lalu lintas, kami pun tiba di kediaman Habibana Musthofa. Di sambut dengan ramah oleh Habib Sholeh Assegaf, serta Habib Hamid Al-Kaff yang tengah berdzikir. Tak lama kemudian menyusul beliau, sang murabbi. Kami pun bergegas meraih tangan beliau, bersalaman, lalu segera bersuci untuk menunaikan ibadah shalat maghrib di pelataran majelis. Karena waktu maghrib makin menipis, awan hitam pun kian mengebul di langit Citeureup. 


Usai berbincang sejenak dan menikmati sajian kudapan, kita melanjutkan perjalanan. Masih tersisa dua hingga tiga jam yang harus ditaklukkan untuk mencapai lokasi tujuan. Hujan deras berlabuh tepat usai shalat maghrib didirikan. Rintik hujan yang tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada bumi Citeureup menyisakan hawa dingin. Aku berbisik pada Kang Obay, apakah di mobil ada payung? Sayangnya, tidak! Akses jalan yang cukup sempit, hanya bisa dilalui kendaraan bermotor, mengharuskan kita memarkirkan mobil cukup jauh dari rumah. 


Sembari berpikir mencari solusi, aku bergegas menuju parkiran, mengangkut barang-barang yang hendak dibawa-sesekali memperhatikan rumah warga sekitar. Sepi, sunyi, semua pintu tertutup rapi. Penghuninya mungkin sedang meringkuk di atas ranjang dengan selimut tebal, menghindari dinginnya cuaca malam di tengah hujan.


Aku harap ada satu atau dua rumah yang masih terjaga pintunya, namun sepi yang didapat. Tidaklah mudah untuk mengetuk rumah warga, lagi pula siapa yang mau membukakan pintu untukku di tengah derasnya hujan, apalagi meminjamkan payung kepada orang yang sama sekali tidak mereka kenal ini.


Seketika hatiku berdesir, menangis, air mata berguguran tak terasa bersama rintik hujan. Pemandangan malam itu kian mencekam ulu hati. Bagaimana tidak, beliau (para Habaib) basah kuyup menebas genangan hujan yang kian deras menuju parkiran. Hati bergetar tak karuan, membatin; "Ya Rabb, maafkan aku, aku bersalah, telah membiarkan guruku kehujanan. Sosok mulia yang juga merupakan salah satu keturunan kekasihMu ini basah kuyup. Maafkan diri ini Ya Allah." Aku bergegas, segara menghampiri para Habaib, meraih tas dan apa saja yang beliau bawa, lalu membukakan pintu mobil. Tidak lagi peduli dengan derasnya hujan malam itu yang kian membungkus tubuh. Jika guruku dan para Habaib basah kuyup, aku pun harus lebih basah.

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.