Ketika Sang Imam Keluarga Pergi


Ilustrasi | Ist

Sebuah cerpen, terinspirasi dari kisah nyata;

Oleh : Alfa Arkana Eounoia (DSF) @NoiaAlfa



Kamis pagi usai melaksanakan sholat subuh berjamaah, Alfa bergegas membenahi barang-barangnya yang sempat berantakan. Semalam baru saja Alfa sampai dari kota, sebuah kota di Pulau Jawa, sebab ada kegiatan disana. Baru semalam Alfa pergi meninggalkan kota yang memiliki sebutan Kota Pelajar, namun dibenaknya masih teringat begitu indah dan asri kota itu. Masyarakat nya yang ramah serta pemandangan yang indah dan dipenuhi oleh kaum pendatang dari berbagai kota.

Mentari nampak begitu bersemangat memancarkan sinarnya yang begitu indah sehingga membuat mata Alfa sedikit sakit ketika memandanginya.  Usai menyantap sarapan pagi, Alfa segera bergegas menuju stasiun kereta untuk melanjutkan perjalanannya menuju tempat dimana ia tinggal. Tibanya di stasiun, sembari menunggu kereta yanag akan ditumpanginya datang, Alfa membuka ponsel untuk mengecek beberapa pesan whatsapp dan email yang masuk, namun pagi itu ponsel nya terasa sangat sepi sekali. Setelah menunggu beberapa menit diberanda stasiun akhirnya kereta yang akan ditumpangi datang juga, segera ia bergegas naik dan mencari tempat duduk sesuai nomor tiket yang ia pegang.

Beberapa menit setelah kereta melaju dari stasiun, tiba-tiba ponselku berdering berkali-kali namun sama sekali tak ku hiraukan. Ku lihat ponsel itu ternyata yang menghubungiku adalah bapak.
“Ada apa ya, pagi-pagi Bapak menelponku!"
Kuletakkan kembali ponselku kedalam saku, tak lama kemudian ponselku kembali bergetar, kulihatn  sebuah pesan singkat menghampiri ponselku, ternyata itu pesan dari bapak. “Nak Alfa sudah pulang dari kotakah? Bisa mampir ketempat kerja Bapak?”
Alfa terdiam sembari berpikir, ada apa dengan bapak? Mengapa beliau pagi ini menghubunginya berkali-kali. Ia merasa sangat bersalah, sebab ketika hendak pulang tidak memberitahu kepada bapak.

***

Perjalanan hari itu cukup jauh dan melelahkan, sehingga membuat Alfa lupa memberitahu kepada keluarga bahwasanya ia sudah sampai tujuan. Hari demi hari dilalui dengan berbagai kesibukan. Lima hari telah berlalu namun hatiku tidak bisa tenang, selalu dikhawatirkan dengan keadaan bapak sebab ia tak lagi menelepon atau smsku lagi.

“Tumben bapak enggak pernah menghubungiku lagi, biasanya bapak yang paling cerewet dengan anak nya,”

“Apa aku tanya saja kabar beliau?”.


Hati Alfa sangat gelisah dan risau sehingga membuat ia tak bisa beristiharat. Berkali-kali ia keluar masuk pintu rumah sembari memainkan ponsel, berharap ada sesuatu yang bisa menenangkan hati. Menjelang maghrib ponsel Alfa kembali berdering, ternyata ibu yang menelpon memberi kabar dari sang bapak.  Belum sempatku berbicara, tiba-tiba terdengar suara yang tergesa-gea dari bilik ponsel.

“Assalamua’laikum, Fa, maaf ibu tidak bisa lama. Langsung saja, beberapa hari lalu usai bapak pulang kerja, bapak sakit perut dan mual-mual, jadi ibu bawa ke puskesmas terdekat, namun pihak puskesmas menyarankan agar segera dirujuk ke rumah sakit. Siang itu bapak langsung dirujuk kerumah sakit, pihak rumah sakit juga tidak dapat menangani, sehingga bapak dioper kerumah sakit diluar kota.”

Sejak saat itu hatiku tak bisa tenang, selalu diselimuti rasa bersalah. Seandainya kemarin aku menyempatkan waktu untuk menjenguk bapak ditempat kerja, pasti semua tak akan seperti ini. Apalagi kemarin bapak sangat sibuk sekali menghubungiku. Aku jadi khawatir akan terjadi apa-apa dengan bapak, apalagi akhir ini aku dan beliau kurang akrab.

Hari semakin malam, namun pikiranku tak bisa tenang sebab aku belum juga menerima kabar mengenai kondisi bapak selanjutnya, ingin rasanya aku segera menyusul kerumah sakit. Namun itu sangat tidak mungkin, jarak antara tempat tinggalku dan rumah sakit sangat terlalu jauh apalagi sudah larut malam begini mana ada kendaraan yang melintas, sedangkan cuaca malam ini sangat gelap sekali dan suara gemuruh sedari tadi tak henti-hentinya menandakan akan turun hujan yang sangat lebat. Hatiku semakin resah terpikirkan kondisi bapak, apalagi beberapa pekan ini aku sedang dilanda banyak musibah.

***

Teringatku akan suatu masalah dengan pak Rehan, orang yang selama ini aku panggil papa. Sampai hari ini papa masih cuek tidak menegorku, senyum dibibir beliau seakan-akan hilang bagaikan ditelan masa, tidak seperti biasanya beliau bersikap seperti itu kepadaku. Biasanya beliau selalu tersenyum manis dan seakan terbebas ketika didekatku.
Setiap malam beliau memintaku untuk membuatkan secangkir kopi hangat untuk menemani kerjanya bahkan terkadang beliau bercerita mengenai masa muda beliau, beliau juga sering memintaku untuk menemani beliau ketika beliau hendak bepergian. Namun tidak untuk beberapa pekan ini, sepertinya beliau sangat marah atas segelintir kesalahan yang aku perbuat. Aku masih merasa malu dan enggan untuk menegor beliau, ingin rasanya aku menangis dipelukan beliau dan mengutarakan apa yang sedang hatiku rasakan serta meminta maaf kepada beliau atas perbuatanku kemarin.
Aku juga bosan dengan kondisiku sejak saat itu yang selalu mengurung diri didalam kamar, namun aku masih malu dan enggan untuk meminta maaf kepada beliau. Akan tetapi apabilaku tidak segera meminta maaf maka akan bertambah besar masalahnya dan akan membuat pikiranku sangat terbebani.
Kring!!! ponselku berdering, ibu kembali menelponku. Kali ini ibu benar-benar membuatku kaget,  saat ibu menelponku ibu terlihat sangat khawatir, nafasnya seakan tidak teratur.  
“Halo nak, barusan dokter memberitahu ibu mengenai penyakit yang diderita oleh bapak, dokter bilang bapak harus segara ronsen besok siang. Sebab keadaan bapak makin melemah,” tutur ibu memberitahuku. “Baik bu, Alfa besok pagi segera menuju rumah sakit,” jawabku sembari menutup telepon.  
Kejadian itu membuatku sangat terpukul,  aku
benar-benar terpuruk dan terjatuh lemas ketika mendengar informasi dari ibu, aku sangat mengkhawatirkan bapak. Aku bingung tidak bisa berfikir, bagaimana caraku memecahkan masalah ini, kepada siapa aku  harus mencari solusi dan mencurahkan perasaan hati yang sejak dalu aku sembunyikan.

Aku bergegas keluar rumah, mencari udara segar sembari menenangkan hati. Untung saja ketika aku jalan-jalan diluar aku bertemu sahabatku Alwi yang kebetulan juga sedang mencari udara diluar. Wajahku terlihat sangat murung sekali sehingga membuat Alwi bertanya.

“Fa, kamu sakit ya? Kelihatannya wajahmu sangat pucat sekali,”

“Enggak kok, aku sehat saja, hanya saja ada beberapa masalah yang sedang menghampiriku akhir ini”

Alwi saat itu membujukku untuk menceritakan masalah yang sedang melandaku, dan memberiku solusi atas masalah tersebut. Alwi menyarankanku untuk segera meminta maaf kepada papa sebab sudah lama tak saling sapa, apalagi didalam Al-Quran tidak diperbolehkan untuk saling membuang muka dan bersikap cuek sesama saudara melebihi dari tiga hari.

Usai curhat dengan Alwi, aku bergegas menuju rumah dan menemui papa untuk meminta maaf, untungnya beliau masih belum tidur.

 “Assalamualaikum,” ujarku mengetok pintu ruang kerja papa, kulihat beliau sedang santai didepan layar monitor.

“Waa’laikumsalam, masuk kak. Ada apa?” ujar papa menyambutku dengan penuh senyuman.

Melihat senyum dibibir beliau, aku menjadi bersemangat untuk mengutarakan maksud dan tujuanku.

“Pa, sebelumnya Alfa minta maaf ya, atas perbuatan yang Alfa lakukan. Alfa  tidak bermaksud untuk berlebihan terhadap papa, itu semua karena Alfa sayang dengan papa."

"Tidak apa-apa, papa maklum. Sudah papa maafkan,”

“Beneran pa?” ucapku gembira.

 “Papa masih mau-kan bersahabat dan menjadi papa kakak seperti dulu,"

 Tentu. Asalkan Alfa janji tidak menulanginya kembali,” ujar papa sembari merangkul pundakku.  Hatiku sangat senang sekali,  sebab sejak saat itu papa tidak lagi cuek denganku.

***

Setiba dirumah sakit, langsung ku rangkul sosok gagah yang kini melemah terbaring diatas ranjang tidur. Kulihat disekeliling bapak begitu banyak selang yang terpasang pada badannya.
Rabu pagi usai sarapan pagi, aku dan ibu dipanggil dokter, aku dibuat penasaran oleh sang dokter akan penyakit yang diderita bapak.

“Selamat pagi nak Alfa, setelah pak Salman kita diagnosa dan dilakukan cek laboratorium, kami menyimpulkan bahwasanya pak Salman mengalami kebocoran pada bagian usus dan lambung.  Untuk kedepan harus segera dilakukan operasi, namun besar kemungkinan untuk keselamatan pak Salman, kami tidak bisa menjamin 100%."
 Aku enggak yakin kalau bapak tidak bisa disembuhkan, dokter pasti salah cek apalagi rumah sakit itu memiliki fasilitas yang sangat memadai.
Ibu terlihat sangat khawatir, apalagi ketika ibu menelpon seluruh anggota keluarga untuk segera berkumpul dirumah sakit. Pikiranku sangat kaucau sekali, ah tidak mungkin kalau bapak akan secepat ini meninggalkan kami, bapak pasti sembuh. Dokter itu pasti salah dalam memeriksa bapak."
Menjelang maghrib, tiba-tiba bapak terkejang kesakitan, nafasnya tersengal, perutnya semula buncit tiba-tiba membesar layaknya seorang wanita yang sedang mengandung berusia tiga bulan.  Aku sangat ketakutan,  terjerit dari ruang kamar memanggil dokter. Dokterpun tiba dengan membawa sebuah tabung gas untuk segera dipasang pada hidung bapak untuk mendapatkan oksigen bantuan. Maghrib itu berlalu dengan penuh kepanikan.
Malam itu, aku,  ibu, dik Rehan,  mbak Salma,  dan mbak Putri sedang istiharat disebuah lorong sebelah ruangan dimana bapak dirawat, aku sangat terkantuk sekali sebab sudah tiga malam aku begadang menjaga bapak. Kebetulan pada malam itu mbak Intan baru sampai dari Jakarta,  jadi bisa menggantikan posisiku untuk beristiharat sejenak.  Suasana malam itu sedikit tenang hingga membuatku tertidur pulas, membuatku susah untuk dibangunkan. 

Sekitar pukul 23.00 aku tiba-tiba terbangun ketika mendengar suara halus dan lembut namun terbata-bata untuk mengeja namaku. 

"Fa,  Al, Alfa," ujar suara itu memanggilku.  Segeraku bergegas menuju tempat dimana itu berasal,  suara itu ternyata berasal dari ruang kamar dan ternyata itu bapak.

"Iya pak,  Alfa disini, disamping bapak," ujarku menghibur bapak.

Aku sangat mengerti sekali bagaimana perasaan yang sedang bapak rasakan.
Wajah pucat itu menatap keatas langit kamar,  sembari melantunkan kalimah tasbih,  tahmid,  dan tahlil.  Kutatap wajah pucat itu dengan tenang,  tiba-tiba air mataku jatuh.  Aku merasa sosok yang gagah itu seakan pergi untuk selama-lamanya dari hidupku.
Bergegasku menuju kamar mandi,  kuambil wudhu lalu kembali duduk disamping tempat tidur bapak sembari membacakan surah yasin dan menuntun bapak untuk mengucapkan kalimah istighfar dan dua kalimah syahadat.  Suara bapak semakin lama semakin mengecil tak terdengarkan, hanya saja bibir nya masih tetap bergerak melafadzkan kalimah syahadat, tubuhnya dingin dan kaku.

"Dokteeeerrrr,"

"Pak,  bapak,  bangun pak,"

Tidak mungkin, secepat ini bapak pergi meninggalkan kami semua.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun, bapak sudah tiada," ujar dokter kepadaku.

Bapak pergi meninggalkan kami tepat pukul 23.30, isak tangis keluarga mengiringi kepergian bapak.

Aku masih tidak percaya akan kepergian bapak, serasa baru kemarin bapak menelponku.

***

Pagi itu sangat ramai sekali, warga setempat memenuhi rumah. Karangan bunga dan bendera kuning ikut menghiasi halaman rumah. Sanak family telah berkumpul.  Isak tangis tiada henti mengenang kepergian bapak.

"Bapak benar-benar pergi ya," gumamku.

Mbak Intan dan mbak Putri, masih belum rela melepas kepergian bapak, mata mereka bengkak dan tubuhnya lemas. Bahkan ketika bapak dibawa ketempat peristiharatan terakhir, mbak Putri jatuh pingsan sebab tidak kuat melihat kejadian tersebut.  Mbak Putri begitu terpukul atas kepergian bapak sebab sejak mbak Putri mendapatkan gelar sarjana pendidikan juruan agama islam ia belum bisa membahagiakan bapak. Apalagi mbak Intan dan mbak Putri belum pada nikah.

Sekarang tak ada tempatku bersandar, berbagi cerita dan mengeluh selain kepada ibu.

“Yatim sudah diri ini ya rabb,”

Sekarang aku, dan mbak-mbakku harus saling mensupport dan saling bahu-membahu menggantikan posisi bapak untuk menapkahi ibu dan adik yang sedang duduk di bngku SMK. Sekarang harus mandiri dan lebih rajin lagi.

Selamat jalan bapak, semoga tenang di surga.

“Kami merindukan bapak,”

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.