Bunda, Haruskah Berpisah

“Bunda, Haruskah Berpisah”
Oleh : Senja Jingga Purnama
Bintang Untuk Noah Part 1

NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.
follow instagram : @pecandusastra96
Twitter : @pecandusastra96
Email : disisisf.bpun@gmail.com 

        Langit mendadak kelam. Nabastala berwarna biru kini menjadi hitam, matahari pun kini ikut surut dalam samudera hitam yang terus membayang-bayangi pikiran. Apa yang disampaikan oleh bunda dan abah kini semua benar terjadi. Keputusan mereka sudah bulat. Kata-kata yang terdengar oleh telinga mungil Noah bagaikan petir yang menjelma halilintar pada pagi yang tak lagi berembun.

          Secepat itukah waktu berlalu. Bukankah dua tahun lalu bunda berkata demikian kepadanya. Mengapa sampai kini masih saja teringat oleh beliau berdua, hingga keputusan itu kini berlaku kepadaku.

          Noah tertunduk. Ia duduk merenung ditepi sungai yang tak jauh dari rumah. Sengaja ia melarikan diri, ia tak ingin mendengar kembali hal-hal yang tidak sama sekali ia inginkan. Kedua matanya tersudut, membendung rintihah genangan air. Perlahan membentuk kristal-kristal kecil berjatuhan pada pipi mungilnya. –“Sejahat itukah Bunda, sehingga mengirimkan aku ketempat asing itu,” tak ada yang menjadi pikirannya kini selain tempat asing yang entah berantah dan bagaimana situasi maupun kondisinya. Sama sekali ia tidak tahu. Yang ada dalam benaknya hanyalah orang-orang asing serta peraturan-peraturan yang sangat ketat, apalagi tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi. Ia semakin terisak, deraian air matanya semakin menjadi.

“Nak. Hey permata Bunda kok menangis, menyepi disini,” Bunda Aisyah secara tiba-tiba hadir dari arah belakang. Nampaknya permata sang bunda disini, sudah lama bunda mencari. Noah terdiam, memalingkan wajah dari sang bunda. Bu Aisyah hanya tersenyum, seakan tak tahu apa yang sedang terjadi pada permatanya itu.

          “Bundaaaa” –Noah berpaling, tubuh mungil itu memeluk erat sang bunda. Bunda aku tidak mau pisah, pokoknya aku tidak mau pergi. –“Nak, semua keputusan terbaik dari bunda maupun abah. Masa depanmu masih jauh dan jauh lebih berat dengan apa yang tengah kau hadapi saat ini, oleh sebab itu kau harus punya bekal yang lebih mumpuni. Agar nanti kau bisa, tak hanya membawa dirimu sendiri. Akan tetapi bunda serta abahmu juga. –“Kenapa mesti harus ke tempat yang sangat asing dan jauh bu. Bunda tahu sendiri, aku sama sekali belum pernah jauh dari bunda.”

          Hati siapa yang tak luluh. Sejak kecil bersama, sedari masih dalam rahim dirawat dan dijaga sepenuh hati. Kasih sayang yang tak pernah henti. Adakah orang tua yang tak menginginkan anaknya menjadi yang terbaik, sukses meraih impian. Oleh sebab itu Bu Aisyah dan Pak Prabu dengan tekad bulat mengirim sang permata mereka untuk menimba ilmu di kota seberang, tak hanya ilmu pengetahuan, juga ilmu agama. –“Nak. Kau tak mau kan melihat Bunda sama Abah nya dimarah sama Allah, dihukum? Apa kau tega melihat almarhum Ayahmu tersiksa disana? Ia menggeleng, semakin erat memeluk sang bunda. Yang ia ingat hanyalah doa anak sholeh yang mampu membawa kedua orang tua menuju syurga-Nya Allah.

          “Disana kan ada Aby, Om, Mama nya, sama Incik kau nak,” Bu Aisyah merayu buah hatinya, barang kali dengan hal itu permatanya tenang. –Tapi Bu, meskipun beliau semua berada di kota yang sama, apakah aku bisa selalu berjumpa dengan mereka. Aku kan di asrama! Bu Aisyah  hanya mengangguk tersenyum, meyakinkan sang buah hatinya itu.

          Noah, satu-satunya permata harapan Bu Aisyah dan Pak Prabu. Ia anak yatim yang ditinggal sang ayah saat menduduki bangku taman kanak-kanak, sekitar umur lima tahun. Ayah nya meninggal sebab serangan jantung, saat itu mereka tinggal satu kota dengan keluarga besar Bu Aisyah. Empat tahun berlalu, Bu Aisyah berjumpa dengan Pak Prabu. Lelaki yang kini ia panggil Abah, lelaki yang tangguh meski sudah lanjut usia, penyayang. Sejak saat itu Bu Aisyah pindah di Kota Bambu, enam puluh kilo meter dari pusat Kota Jaya.

          Meski sudah mendapatkan pengganti, sikap Noah masih sama. Sebagaimana ia menyayangi almarhum sang Ayah. Begitupun kasih sayang sang bunda, yang tak pernah berubah kepadanya. Bunda adalah sosok wanita tangguh, pekerja keras, dan penyayang. Sebab itu Noah merasa kelihangan jika ia harus pergi jauh menimba ilmu. Namun jika ia tidak menuruti apa yang telah menjadi keputusan keduanya. Keduanya pasti kecewa, terlebih bunda.

          Usai kembali dari pelariannya, Noah mengurung diri di kamar. Ia masih bertanya-tanya akan hal yang tengah ia hadapi. Sungguh bingung dan berat hatinya hendak meninggalkan atap itu. Penyesalan-penyesalan kini turut menghantui dirinya. “Ahh....” seandainya dulu ia manut dengan titah sang bunda untuk belajar yang rajin serta mendengarkan nasihat-nasihat abah. Enggak mungkin ia akan dikirim keluar kota. Ia sadar begitu banyak perubahan yang terjadi padanya. Dulu, saat ia masih awal-awal duduk di bangku sekolah dasar ia begitu rajin, nilainya bagus, bahkan tak hanya itu, ia juga aktif mengikuti kajian ilmu agama bersama ustadz kampung yang menjadi guru ngajinya. Semua berubah cepat, pergaulan dan faktor lingkungan yang begitu bebas dengan cepat merubahnya. Sehingga ia sering bolos sekolah, kabur dari rumah sebab pekerjaan rumah dari sekolah yang banyak menyita waktu dan mengurangi waktu bermainnya, serta hapalan-hapalan dari guru ngaji yang setiap saat meminta untuk setoran.

          Dalam ruang persegi itu ia terdiam. Menatap dalam sebuah poto pada meja hias sang bunda. Ya, poto kenangan semasa sang bunda dan almarhum ayah menikah dulu. Noah terisak menatap tajam almarhum ayah nya. Meski ia tak begitu ingat betul dengan wajah sang ayah, namun kasih sayang yang beliau berikan masih bisa ia rasakan sampai kini. “Seandainya Ayah masih disini mendampingiku, apakah Ayah senada sama dengan bunda untuk mengirimku keluar kota?” ujar Noah, seolah-olah ia sedang bertatap langsung dengan sang Ayah. Air matanya terjatuh tepat pada poto almarhum dibagian wajahnya, sekujur tubuhnya mulai lemas. Membuat dirinya terlelap tak sadarkan diri diatas pembaring di kamar sang bunda.

Isak tangis serta kesedihan yang menyelimutinya, kini menjadikan ia tak berdaya. Ia terlelap, kaku. Dalam lelapnya itu, ia melihat ada sosok lelaki yang datang menghampiri. Wajahnya putih berseri, persis mirip dengan lelaki yang bersanding dengan Bu Aisyah pada poto yang terletak dipojok sebelah kiri meja hias. “Ayah. Apakah itu kau,” lelaki itu tak berkata, ia berkedip seraya menganggukkan kepalanya. –“Ayah, aku enggak mau pergi keluar kota,” Noah memeluk erat lelaki yang hadir ditengah terlelap dirinya. –“Nak. Bundamu benar, untuk menerima kenyataan dunia yang fana ini kau harus siap dan punya bekal. Ingat yang dikatakan gurumu, hal yang bisa menyelamatkan ayah, bunda, dan abahmu, salah satunya melalui doamu. Untuk itu kau harus belajar yang giat untuk menjadi anak yang sholeh,” –“Kau bisa nak,” lelaki itu membalas pelukan erat Noah, lalu ia bergegas melepaskan pelukan itu dan pergi.

          Noah tersadar diri, ia terbangun dari lelapnya. Senja berlalu, suara adzan maghrib berkumandang dari surau diseberang rumah. Ia terkejut. “Berapa lama aku tertidur” gumamnya.

          “Bunda jadi mengirimku keluar Kota?” suasana mendadak hening. –“Nak, selesaikan dulu makannya, nanti kita bahas hal itu ya,” –“Hmm... Aku enggak apa-apa kok bun, aku siap jauh dari bunda dan abah. Tapi bunda janji ya untuk selalu menjeguk Noah disana.” Sang bunda terkejut mendengar ucapan buah hatinya. Sang permatanya kini mulai bersinar, sembraut wajahnya mulai tenang, garis-garis tipis melengkung menghiasi bibir mungilnya. “Alhamdulillah,” gumam sang bunda sembari mengelus dada. Ia tak menyangka buah hatinya secepat itu berubah pikiran, padahal sedari pagi ia ngambek, merajuk, usai mendengar keputusan Abah.

          “Noah, rencana mau bunda antar kapan?” tutur Bu Aisyah sembari mengelus rambut putranya. Keakraban kedua begitu dekat. Hal itu yang membuat Noah begitu berat. –“Lusa saja ya bu, besok aku ingin menghabiskan waktu dirumah,” –“Baiklah.”

Meskipun berat, Noah berusaha menerima segala wejengan yang kini menjadi keputusan terbaik. Ia tahu hal itu memang sulit, apalagi bagi seorang Noah yang baru saja menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Ia berharap bisa membuat bangga sang bunda.


            

 
          “Bismillah,” Noah melangkahkan kaki, perlahan meninggalkan kamarnya. Kamar yang penuh cerita, tangis, tawa, dan bahagia. Matanya berlinang, menatap sebuah poto dalam bingkai hitam persegi. Poto kenangan bersama sang bunda saat liburan ke pulau Jawa beberapa tahun lalu bersama Abah. Jari tangannya menyapu kedua pipi, sebab rintihan air mata yang kian tak mampu ia bendung, kini pecah membentuk gumpalan kristal-kristal kecil.

          “Aunti...” ia terhenti di ruang tamu. Memeluk abang nya yang tak lama lagi akan menikah dengan wanita pilihannya. Abang yang sejak kecil menemaninya bersama sang bunda, menjadi teman, sahabat, sekaligus saudaranya itu. “Aunti.” Noah terisak, bicaranya terhenti. Sangat berat baginya meninggalkan semua. –“Adek abang kenapa menangis. Laki enggak boleh nangis lo,” lelaki itu mengusap air mata sang adik, menyemangati dan menyakinkan dirinya. –“Kau bisa Noah, kau harus bisa menjadi lebih baik dari abang. Senyum dong,” –“Titip bunda ya Aunti,”

          Pagi itu menjadi hari terakhir bagi seorang Noah menjadi bagian penghuni tetap dalam rumahnya. Ia akan kembali, namun tidak lagi menjadi penghuni tetap dalam satu atap itu. Beberapa tahun.

          “Nak, di yayasan baik-baik ya disana. Dengan kawan jangan sungkan untuk berbagi, ingat berkawanlah dengan siapapun, namun jangan kau lupa bahwa tak semua yang dianggap baik itu akan menjadi baik, begitulah sebaliknya. Noah harus rajin, mandiri ya. Bunda yakin disana anak bunda senang, bahagia, sebab disana banyak teman, jadi anak bunda enggak sendirian disana.” tutur Bu Aisyah menasehati buah hatinya. Noah tersenyum menatap sang bunda.

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.