Skip to main content

Islam Nusantara Bukanlah Sebuah Kepercayaan Baru



Oleh : Senja Jingga Purnama 
Instagram : @pecandusastra96


"Pernahkan kita beristighfar dalam hati? Jika pernah, selamat saya ucapkan, sebab disaat kita membaca istighfar dalam hati maka disaat itu pula Allah telah melihat hati kita. Mari bersihkan hati kita dari segala keburukan, terutama berburuk sangka. Yang kita anggap benar, belum pasti benar kebenarannya dihadapan Allah. Begitupun sebaliknya, apa yang kita anggap salah, belum tentu salah dihadapan Allah. Sebab kebenaran hanya milik Allah semata"


            Berbicara Islam, Islam merupakan sebuah kepercayaan atau agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada baginda kita Nabi  besar  Muhammad SAW. Sebagai Rasul utusan Allah dan Allah menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Sebagaimana firman Allah dalam Qur'an surah Al-Anbiya ayat 107 yang sebagaimana artinya "kami tidak mengutus engkau wahai Muhammad, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam semesta".


Islam merupakan agama yang bisa diterima kapanpun, ia senantiasa terjaga semenjak penciptaan Nabi Adam As, hingga hari kiamat kelak. Ia juga bisa diterima dimanapun di seluruh belahan dunia tanpa memandang dinamika sosial-budaya yang ada. Ia juga begitu inklusif, bisa diterima siapapun tanpa memandang apapun latar belakang manusianya. Ia pun terbukti ilmiah bagi akal pikiran manusia dengan ayat-ayat semesta  (kauniyah) yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Dan tentu sebagai Agama, Islam merupakan jalan hidup (way of life) yang senantiasa memberikan ketentraman jiwa bagi seluruh umat manusia dan sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamiin).



Mungkin kita telah banyak mendengar, akhir ini menjadi dinamika  dengan Islam Nusantara. Mengapa dinamakan Islam Nusantara? Apakah Islam Nusantara itu sebuah kepercayaan baru?


Jadi Islam Nusantara bukanlah agama ataupun sebuah kepercayaan yang baru, melainkan Agama Islam yang memang sudah ada sejak dahulu, sejak Islam masuk Indonesia. Islam yang dimaksud adalah Islam yang ada di tanah air Indonesia atau Nusantara. Mengapa Nusantara? Sebab negara kita NKRI diluar sana sangat dikenal dengan sebutan Nusantara.


Islam Nusantara adalah Islam yang arif terhadap budaya-budaya Indonesia, yang notabene tidak melanggar syari'at Islam. Sebagai contoh di Provinsi Lampung. Orang Lampung dalam pernikahannya pasti ada yang namanya iring-iringan pengantin, dalam iringan itu pasti ada iringan terbangan (alat musik yang ditabuh dan dibuat dari kulit hewan) atau semacamnya, juga ditambah penampilan silat yang dilanjutkan dengan acara berbalas pantun antara pihak mempelai laki-laki juga mempelai perempuan. Apakah hal tersebut salah dan melanggar syari'at Islam? Menurut hemat saya justru tidak. Memang di Saudi Arabia budaya ini tidaklah ada, sebab budaya-budaya semacam ini hanya ada di Indonesia. Tidak hanya di Provinsi Lampung saja, masih banyak budaya-budaya lainnya yang tersebar luas di jagat raya Nusantara. Budaya dan caranya Indonesia, akan tetapi pakaiannya berbalut religi, begitu juga dengan Islam Nusantara, Islam yang ramah akan budaya lokal.


Sebagai contoh lainnya, misalnya pada saat kelahiran bayi, ada tradisi mencukur rambut bayi (aqiqah), acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya. Di masjid-masjid perkampungan, biasanya orang-orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang akan membacakan Barzanji, yang pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan. Di tengah lingkaran terdapat nasi tumpeng dan makanan kecil lainnya yang dibuat warga setempat secara gotong-royong. Terdapat adat sebagian masyarakat, dimana pembacaan Barzanji juga dilakukan bersamaan dengan dipindah-pindahkannya bayi yang baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain orang-orang yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian diberi semprotan atau tetesan minyak wangi atau olesan bedak. 


Disaat orang meninggal dunia, pasti ada tahlilan dan baca yasin serta doa untuk orang yang meninggal. Ada juga tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari, setahun, bahkan ada yang namanya haul. Nah semua itu berisi doa-doa, tahlilan, dan yasinan untuk orang yang meninggal. 



Apakah itu melanggar syari'at Islam?



Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantren pun tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat maghrib juga subuh oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga eksistensinya. 


Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau aliran salafi yang telah diceritakan oleh penulis, tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya nenek moyang yang pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits atau al-Qur’an yang mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka menganggapnya perbuatan yang diharamkan. 


Tahlilan, yasinan  merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya membaca serangkaian ayat-ayat al-Qur’an, dan kalimah-kalimah tahmid, takbir, shalawat yang di awali dengan membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan do’a. Inti dari bacaan tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosa-dosa arwah tersebut.


Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan, dikarenakan bahwa pahala yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang yang meninggal. Padahal telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap saja ada pihak-pihak yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa tahlilan, yasinan adalah perbuatan bid’ah. 


Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan dalil-dalil Hadits, al-Qur’an, serta kitab-kitab klasik yang menguatkannya. Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan tahlil tersebut. Diantaranya adalah, sebagai ikhtiar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian, mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah Islamiyah. 


Bukankah menghadiahkan amal kepada orang yang telah meninggal dunia maupun kepada orang yang masih hidup, dengan media do’a, seperti tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang lainnya itu baik. Karena do’a pahalanya jelas bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal dan juga kepada orang yang masih hidup. Seorang pengikut madzhab Hambali dan murid terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyah menegaskan pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah sedekah. 


Jadi, Islam Nusantara adalah Islam yang mengedepankan tradisi lokal. Menjaga dan melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil serta menerapkan tradisi baru yang jauh lebih baik.


Islam Nusantara bukan Agama baru atau pun kepercayaan lainnya. Jangan salah pikir dan salah paham. Segala sesuatu harus dipelajari terdahulu, di pahami, baru setelah itu kita komentar. 


Sebagai penutup pada pembahasan saya, "Gunakanlah mata untuk kebaikan dan kenyataan, bukan pada opini maupun pendapat yang belum jelas kebenaran dan keberadaan nya". 

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.