Kata Hati

“Kata Hati”


Oleh : Senja Jingga Purnama (@pecandusastra96)

Bintang Untuk Noah Part 11


"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan kesepuluh........ Untuk membaca tulisan kesepuluh, silahkan klik >>> Ikhlas....."



NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.


follow instagram : @pecandusastra96

Twitter : @pecandusastra96

Email : disisisf.bpun@gmail.com 

 


          Siang itu Noah kembali berpulang menuju kampung halaman. Ia sangat rindu dengan suasana rumah serta kehangatan kasih sayang bunda. Tak sabar rasanya untuk segera berjumpa.

Lima bulan tak jumpa, tak saling tatap. Rindu kian membelunggu pada hati seorang Noah. Kini semua akan terbayar sudah. Akhir semester adalah penantian bagi semua.

 

“Assalamu’alaikum”

 

          “Wa’alaikum salam” Bu Aisyah tersenyum. Melihat permatanya telah kembali.

 

          Betapa senangnya hati sang Bunda melihat hadir sang permata.  Noah menyelinap masuk. Meraih kedua tangan sang bunda lalu memeluknya. Matanya berkaca-kaca. Kabut putih itu kian menyelimuti matanya, menyulam. Perlahan membendung, membentuk gumpalan-gumpalan kristal. Noah tak kuasa. Kristal-kristal itu kini pecah, buyar, membasahi segenap pipi.

          Begitu besar rindunya pada sang bunda. Bunda yang sejak kecil susah payah berjuang untuk dirinya dan sang abang. Bunda yang sejak kecil memberikan kasih sayang padanya. Pelukan Noah semakin erat. Tak hentinya ia merasakan hangat sang pelukan bunda.

 

          “Bunda, baik-baik saja kan?” tutur Noah perlahan melepas pelukan.

 

          “Bunda baik nak, sama halnya denganmu,”

 

          Bu Aisyah tersenyum. Mengelus rambut Noah.

 

          “Abah kemana Bu. Sedari tadi aku tak melihatnya,”

 

          “Abahmu di kebun nak, sebentar lagi ia pulang,”

 

          Ia mempersilahkan Noah bersih diri. Sembari menanti Abah pulang dari kebun, Bu Aisyah mempersiapkan jamuan untuk permatanya.

 

 

           Hening. Malam berkabut. Suasana malam di kampung halaman sepi. Hanya terdengar suara anjing meraung dari seberang jalan. Satu jam usai berlalu, baru dua kendaraan bermotor yang melintasi jalan depan rumahnya, yang terlihat dan ia hitung dengan seksama.

          Noah menatap, bersandar pada sebuah kursi jati persegi yang terletak diujung sebelah Timur. Suasana bising. Berisik. Yang biasa menjadi teman hampir setiap malam menemani dirinya di yayasan kini berubah sunyi. Sepi.

 

          “Anak Bunda sendirian saja diluar” –Bu Aisyah menghampiri Noah. Mengelus rambutnya. –“Kita kedalam yuk nak, sembari menonton tivi. Bunda ingin mendengar ceritamu di madrasah”

 

          Bu Aisyah serta permatanya melangkah masuk. Tiduran sembari menikmati tayangan televisi. Noah terdiam.

 

          “Bagaimana di madrasah nak, apakah kau betah?” Bu Aisyah mengawal pembicaraan.

 

          Noah hanya terdiam menganggukan kepala. Tak berkata sepatah-pun.

 

          Hati Noah bimbang. Ia khawatir jika bunda tahu Bang Purnama menitipkan sesuatu untuknya. Ia takut jika bunda membahas akan hal itu, apalagi sang bunda tahu jika ia pernah memarahi Bang Purnama dengan alasan tak jelas.

          Sebab ia bersikeras menolak pemberian Bang Purnama. Bukan ia tidak menghargai ataupun tidak menyukai. Sama sekali tidak. Ia hanya ingin tenang. Mengingat begitu banyak hasutan dan juga ancaman dari kawan-kawan untuk dirinya, jika ia masih dekat dengan Purnama. Ia tidak ingin jika sang Bunda sampai tahu hal semua. Sebab bisa menambah beban pikiran bunda, apalagi bunda tengah mengandung sang adik.

 

          Saat Bu Aisyah membenahi tas Noah yang ia bawa pulang dari madrasah, ia menemukan sebuah bingkisan yang tertara rapi. Sebenarnya Bu Asiyah paham dan tahu, orang yang memberikan bingkisan tersebut pada buah hatinya. Selain sebuah surat yang terselipkan pada selembar kertas terikat pita pada bingkisan, Aby Ilham juga memberitahu hal itu kepadanya. Sebab saat diberikan Noah enggan menerima.

 

          “Nak, bingkisan yang ada didalam tas milikmu, pemberian siapa?” Bu Aisyah pura-pura tidak mengerti. Padahal ia sudah membaca surat tersebut. Hanya saja ia ingin mendengar langsung dari buah hatinya, agar sang permata jujur.

 

          “Itu titipan Puan bu, sebenarnya aku enggak mau menerima, dia tetap saja memaksa. Padahal aku sudah menolak,” Noah cemberut.

 

          “Kau malu-malu ya menerimanya,” tutur Bu Aisyah merayu permatanya itu. –“Begitu sayangnya abangmu itu nak,”

 

          Noah tersenyum. Malu pada sang bunda. –“Bunda apaan sih. Enggak kok,” ia merajuk.

 

          “Bunda paham nak. Puan itu begitu sayang padamu, tidaklah baik kau menolak pemberian orang tanpa suatu alasan yang jelas,” –“Apalagi abangmu itu sudah susah payah menghiasnya sedemikian rupa,”

 

          “Bunda....” –Noah memeluk erat tubuh sang bunda. Derai air mata tak kuasa ia tahan. Ia malu, sebab orang yang selama itu ia taruh benci dan selalu ia maki tanpa alasan justru berbuat baik padanya. Secara diam-diam menaruh perhatian, memperhatikan dirinya. –“Aku malu Bun. Selama ini rasa benci dan tak suka yang teramat besar padanya, sebab teman-temanku,” Noah terisak. Ia mengerti Bang Purnama tak diragukan kebaikannya. Sebab itu ia enggan menerima, tak enak hati. Selama hampir dua bulan lebih secara diam-diam Purnama menaruh perhatian padanya.

 

          “Nak, bunda memahami posisimu. Namun bukanlah seperti itu cara kau membalasnya,” –“Kasihan Puan,” Bu Aisyah merangkul tubuh Noah. Ia usap derai m=air mata yang kian membasahi pipi puteranya itu.

 

          Bu Aisyah mengerti maksud dan tujuan Purnama. Ia paham, bahwa persepsi negatif yang dahulu ia sangka itu tidaklah benar. Nyatanya sampai kini seorang Purnama masih baik terhadap puteranya itu.

          Ia juga paham dengan posisi puteranya. Ia tidak ingin memaksa.

 

          Malam sunyi itu kini pecah. Gaduh. Galak tangis seorang Noah, menceritakan keluh kesah pada sang Bunda.

 

          Bu Aisyah paham betul dengan sikap puternya itu, meski ia tidak sepenuhnya bertutur. Meski keras kepala, Noah memiliki kasih sayang yang begitu besar. Bu Aisyah meminta agar permatanya itu tidak lagi cuek, menaruh amarah pada Purnama.

          Ia juga merasa bersalah, sebab dahulu pernah berasumsi buruk pada Purnama. Ia begitu khawatir sesuatu terjadi pada Noah, sebab itu ia tabayyun langsung malam itu. Sampai kini secara diam-diam saban hari Purnama memperhatikan Noah, permatanya.

 

          Malam itu, Bu Aisyah menghubungi Purnama. Memberitahu jika Noah telah tiba di kampung halamannya. Memohon maaf serta menyampaikan terima kasih atas segala kebaikan selama ini, terlebih yang ia berikan untuk permatanya.


 


No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.