“Tantangan”
Bintang Untuk Noah Part 8
"Tulisan ini merupakan, lanjutan tulisan ketujuh........ Untuk membaca tulisan ketujuh, silahkan klik >>> Titik Temu....."
NB : Tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan. terinspirasi dari kisah nyata yang diangkat dalam novel persahabatan dan persaudaraan. Agar setiap tulisan yang dibaca memiliki kesinambungan, maka diharapkan untuk selalu update dan membaca kisah selanjutnya, pada judul-judul selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih, untuk semua yang sudah mampir. Harapan saya semua membantu share, dan memberi kritik, saran, serta masukan yang membangun. suwun.
follow instagram : @pecandusastra96
Twitter : @pecandusastra96
Email : disisisf.bpun@gmail.com
Sampai
begitu jahat sikap Wawan dan Maulana. Begitu besar rasa tak suka yang mereka
tanamkan kepada Purnama. Padahal selama ini ia begitu baik pada mereka. Semua
mereka lakukan bersama-sama; nongkron, makan, selalu bareng.
Begitu
masih terekam, saat pertama kali ia kenal dengan keduanya. Mereka hadir
menghampiri Purnama, akrab tanpa di undang.
Pernah
suatu ketika. Mereka seolah mengemis, meminta untuk di tolong kepada Purnama.
Sebab ia merasa iba dan kasihan, maka ia menolong keduanya. Kini semua berubah,
keduanya berkhianat. Mereka rusak persahabatan yang telah terjalin lama.
Bagi
seorang Purnama, hal itu sesuatu yang biasa saja. Sebab ia sama sekali tidak
mengundang mereka untuk hadir dalam kehidupannya, apalagi memaksa untuk akrab
dan menjadi bagian dari persahabatan.
Ia
tidak pernah melarang siapa saja untuk dekat dan akrab. Sama sekali tidak
memaksa. Baginya, siapa yang baik maka akan ia perlakukan dengan baik pula. “Hormatilah,
jika ingin dihormati. Hargailah jika ingin dihargai” begitulah prinsipnya.
Hal
yang begitu sepela sebenarnya yang membuat mereka berubah menjadi jahat. Bahkan
tidak hanya mereka saja, masih banyak lainnya. Namun Purnama sama sekali tidak
begitu memperdulikan. Yang mau mendekat, silahkan. Ia tetap welcome.
Bahkan untuk dijauhi sekalipun ia siap. Selagi itu bukanlah salahnya mengapa
harus serius menanggapi. Toh juga yang butuh akan kembali pada saatnya.
Ia
paham, kecemburuan sosial yang begitu luar biasa menjadikan mereka pribadi yang
sekarang. . Bahkan sikap arogan serta hal-hal negatif sekalipun sangat
mudah merasuki, jika sudah terpapar penyakit itu. Sangat wajar jika dirinya
mendapatkan perlakuan yang berbeda dari kepala yayasan, sebab ia bukan lagi
berstatus siswa.
Sejak
majelis malam pekan lalu, Purnama sudah menaruh curiga terhadap Maulana dan Wawan. Keduanya begitu serius ia perhatikan.
Memperhatikan setiap langkah dan gerak-gerik dirinya. Terlebih saat ia bersama
Noah.
Awalnya
ia tak berprasangka buruk. Barang kali bukanlah ia yang mereka perhatikan.
Namun setiap kali ia berjumpa dengan Noah, mereka selalu muncul secara
tiba-tiba. Dan menghilang bagaikan jelangkung.
“Kurang ajar Mas Pur. Beraninya ia
mendekati sahabat kita,” Maulana memanas. Tangannya mengepal. Sebuah dinding
tak berdosa dengan seenaknya ia hujami dengan tinjuannya. –“Tidak akan pernah
aku biarkan”. Tensinya naik. Ia kesal dan emosi sebab Noah yang sedari awal
masuk yayasan, akrab dengannya. Dengan semudah itu bersahabat dengan Purnama,
orang yang sangat ia benci.
“Kau
boleh bahagia kali ini mas. Kita lihat saja permainan dimulai” tutur Maulana
mendesis. Matanya melotot. Raut mukanya berubah seketika.
Mereka
berhasil mendoktrin Aly, untuk turut menjelek-jelek-an Purnama. Siswa baru yang
baru mengenal Purnama sejak semasa pekan PBSB lalu. Aly sama sekali tidak
pernah terlibat apapun dengannya. Bahkan Noah kini ikut terhasut oleh mereka.
“Aku
enggak mau tahu, bagaimana-pun Mas Pur harus kita singkirkan dari Noah
selamanya,” Maulana dan Wawan kembali menghasut Aly. –“Sedari awal Noah
bersahabat dengan kita. Apa kalian tega membiarkan ia akrab dan bersahabat
dengan musuh kita sendiri?”
“Lantas
apa yang harus kita lakukan, bang” Aly menatap tajam.
“Satu-satunya
cara, agar Noah terpisahkan. Dengan cara menghasutnya” Wawan berseru. Ia
mengajak teman se-geng nya itu agar bersama-sama menghasut Noah dan
menjelek-jelekkan Purnama di hadapan Noah. Maka dengan begitu ia akan semakin
benci.
Beruntung saja Noah tidak sendiri. Ada
Ega saudaranya yang sama-sama tinggal di asrama. Ia cukup akrab dengan Bang
Purnama, hanya saja jarang nimbrung bareng sebab ia diamanahkan sebagai ketua
kamar 2B. Jadi ia lebih banyak menghabiskan waktu terlebih memantau anak-anak
yang ia pimpin.
Meski
keduanya tidak begitu dekat, Purnama harap Ega bisa membantu dirinya untuk
mewujudkan harapan agar Noah bisa menjauh dari geng yang enggak bermoral
itu. Ya setidaknya Ega bisa membantu dirinya memperbaiki persepsi negatif Noah
yang selama ini ditanamkan oleh teman-temannya.
Purnama
tidak ingin jika Noah terus-menerus di doktrin, ia khawatir rasa benci itu
kelewat batas, untuk selamanya. Apalagi Noah merupakan satunya permata, harapan
Bunda Aisyah dan Abah Prabu.
Bang
Purnama ingin merubah semua, tak hanya Noah yang ia anggap sebagai adik. Namun
baginya sangat sulit, sebab tak semudah membalikan telapak tangan. Apalagi hal
yang sudah terbiasa melekat pada diri seseorang. Semua butuh proses.
Pagi
itu seperti biasa Purnama menghabiskan jam istiharat di warung angkringan. Bersama
kedua sahabatnya; Adin dan Rayyan. Ia meminta agar keduanya turut membantu menyelesaikan
permasalahan yang menyeret namanya.
Purnama
mengepalkan tangan. Ia kini naik patam. Matanya berkedip pelan. Penuh harap.
Memohon agar kedua sahabatnya bisa membantu.
Ketiganya,
menyantap bakso di angkringan Pak Haji. Tempat biasa mereka nongkrong bareng
disamping madrasah. Hanya berkisar lima puluh meter, untuk dijangkau. Memakan
waktu sekitar dua hingga tiga menit, ditempuh dengan jalan santai. Terkecuali
jalan sambil curhat, apalagi mengumbar aib orang. Bisa-bisa satu jam tidak pula
sampai.
Sudah
menjadi kebiasaan rutin. Saat jam istiharat tiba, waktu ia habiskan diluar
ruangan. Baik di kantin, bahkan terkadang nongkrong ditepi lapangan basket
sembari bincang dengan anak-anak. Tidak begitu sering waktu ia habiskan didalam
kantor, meskipun tersaji makanan lezat atau minuman dingin pelepas dahaga.
Bahkan saat ia lapar sekalipun. Biasanya jatah makan dan minum ia habiskan
diluar bersama anak-anak. Rasanya lebih nikmat dan mengenyangkan, jika di makan
bersama.
Hal
yang paling jenuh, ketika ia harus berlama-lama duduk di kantor. Menatap jam kosong
serta jadwal pelajaran yang tak bermotif. Apalagi jika ibu-ibu sudah mengumpul,
serasa kantor hanya milik mereka. Hal yang sangat ia wanti-wanti, sebab jika
ibu-ibu sudah mulai ngerumpi, topik pembahasan bisa-bisa melenceng ke aib
orang. Lebih parahnya lagi, jika sudah kehabisan topik, bakalan nama kita ikut
teseret.
“Kalian
mau kan membantuku,” pinta Purnama.
“Bantuan
apa? Selama masih bisa dibantu mengapa tidak!” Alis serta bulu mata Rayyan
mengurucut naik.
“Iya.
Betul Betul Betul,” Adin menyahut. Nyengir. –“Bagaimanapun kita sudah
lama bersahabat dan sudah seperti saudara”
“Bukan
lagi saudara. Macam prangko-lah” tutur Rayan guyon disambut gelak tawa
semua.
Bisa
saja Rayyan dan Adin pagi-pagi membuat geli perut Purnama. Keroncongan. Rasa
lapar-pun tidak lagi terasa olehnya. Keduanya pandai sekali mencairkan suasana
yang menegang itu. Nasib baik bakso belum masuk mulut, kalau tidak bisa-bisa
keselek bakso.
Purnama
menatap keduanya. Ia menceritakan hal yang membuat Noah semakin berubah kian
aneh, dan dalang dibalik semua. Ia harap keduanya bisa membantuk untuk membujuk
serta menasehati agar Noah kembali membaik sebagaimana ia jumpa tempo lalu.
Begitupun dengan keluarga Noah, ia tidak ingin persepsi yang tidak baik terus
melekat pada dirinya.
Rayyan terdiam. Tidak lagi melanjutkan
pembicaraan, usai terbata-bata. Ia sebenarnya sudah lama mengetahui keburukan
Wawan dan Maulana. Bahkan tak hanya mereka saja, Ridwan pun turut mengancam
Noah untuk menjauhi dirinya. Namun ia terdiam, tak enak hati membicarakan hal
itu, sebab Ridwan sendiri adalah orang yang pernah dekat dekat Purnama dan
masih memiliki hubungan keluarga. –“Jadi apa rencana kita?” ujar Rayyan.
Diam-diam Adin menyusun strategi,
tiba-tiba ide brilian berputar pada pikiranya. Semua terdiam, menatap fokus
Adin.
Satu kata singkat keluarga dari
bibirnya; kebaikan. Hal itu yang menjadi kunci. Menurutnya hanya kebaikan yang
mampu merubah dan menahlukkan hati setiap insan. Ia menyarankan agar Purnama
sering menaruh perhatian pada Noah. Baik melalui pemberian makanan maupun
pujian baik.
Purnama merenung. Tertunduk. Jangankan
menaruh perhatian, bertatap saja enggan. Mendengar namanya disebut saja membuat
Noah kini naik tensi.
Hal itu justru dipandang sebagai
peluang bagi Adin. Baginya perjuangan dan tantangan itu harus bisa Purnama
selesaikan. Ia menatap kedua mata Purnama, menyakinkan dirinya. Mengelus
pundak.
Bukanlah
Adin, jika tidak sepintar itu. Acap kali ide brilian muncul dari buah pemikiran
otaknya. Tidak hanya kocak dan pandai melawak, ia juga cerdas dalam berpikir.
Meski
saban hari dirinya selalu berhadapan dengan amarah dan sikap keras Noah. Ia
yakin Bang Purnama mampu memenangkan perjuangan itu. Usaha untuk merebut
kembali hati Noah serta merubah sikap dan persepsi negatif yang selama ini
ditanam oleh para penghianat itu.
Sejak
saat itu, secara diam-diam Purnama menaruh perhatian. Terkadang ia menitipkan
makanan dan minuman untuk permata Bu Asiyah melalui Mutiara, orang yang ia
percayakan.
“Mut” –ujar Purnama melambaikan tangan.
–“Apa kabar”
“Baik
Puan. Tumben nyamperin. Kangen ya,” tutur Mutiara ke-geer-an.
“Kau
kan wanita yang paling dekat dengan Noah. Bantuin aku ya”
“Apaan?”
“Aku
titip sesuatu. Boleh yaaaaa!” Tersenyum. Merayu. Matanya berkedip-kedip.
“Boleh.
Untuk siapa”
“No..
No.. Noah” –Purnama terbata-bata mengeja nama Noah.
“Pakai
ongkir ya, kalau mau cepat sampai”
“Yaelah.
Okedeh” Sembari menjulurkan ice cream dan sekotak nasi.
Hampir
setiap hari ia menitipkan bingkisan. Baik roti maupun makanan lainnya kepada
orang-orang yang ia percayakan. Terkecuali Adin dan Rayyan. Kedua sahabatnya
itu sudah banyak yang paham. Jika ia menitipkan kepada keduanya, maka
identitasnya akan mudah di pahami. Dalam sepekan, dua sampai tiga kali ia
titipkan. Terlebih kepada Herza dan Mutiara. Ia berpesan agar orang-orang yang
ia percayakan, tidak mengungkap identitas dirinya. Ia hanya meminta agar
disampaikan salam dari hamba Allah yang begitu peduli padanya. Salam semangat.
“Noah,” –Mutiara terburu-buru mengejar Noah.
Menyeimbangi gerak langkahnya.
“Apa
lagi!”
“Mau
kemana sih, kau ini. Aku cari keliling madrasah, tidak juga ketemu” –Ia
menghela napas. Secara hati-hati ia bicara, khawatir jika keceplosan
mengungkapkan identitas Purnama yang selama ini menitipkan bingkisan untuk Noah.
“Ada
apa? Titipan lagi!” Matanya melotot. Meniup ujung rambut pada dahi.
“Kau
seharusnya bersyukur No, masih ada yang peduli” –Menjulurkan tangan. Memberi
bingkisan.
“Baiklah.
Sampaikan terima kasih, pada hamba Allah yang tak ingin diungkap identitasnya”
–Noah mengambil bingkisan dari tangan Mutiara dengan terpaksa. Hal yang setiap
saat harus ia terima dengan paksaan, sebab jika tidak ia terima maka Mutiara
akan terus-menerus menghampiri dirinya.
Ia
sebenarnya mulai risi, enggan menerima. Sebab setiap dirinya menanyakan tentang
identitas pengirim, selalu hamba Allah yang disebut. Memangnya hamba Allah
tidak memiliki nama!
Setelah
Mutiara berlalu, Ridwan muncul dari arah belakang. Nampaknya ia sudah paham
dengan semua.
“Tunggu,”
–“Mau kemana kau terburu-buru pergi,” ujar Ridwan menarik tangan Noah.
Menghentikan langkahnya.
Melihat
hal itu, Noah takut. _”Kaaa.. Kaaak Rii Ridwan. Ada apa,” ujarnya terbata,
menatap Ridwan.
“Apaan
ini?” –Ridwan merampas bingkisan yang diberikan Mutiara dari tangan Noah. “Makanan
lagi! Enak ya yang sekarang jadi adik kesayangan Puan” Matanya melotot.
Menyindir Noah. –“Perlu kamu ketahui. Hati-hati” bisiknya.
“Apa maksud kakak?” Noah bingung. Ridwan
datang secara tiba-tiba lalu menyindir dirinya dan menyebut nama Purnama. Kini
ia mulai naik tensi. Wajahnya memerah.
“Sudahlah. Aku paham semuanya. Orang
yang selama ini menaruh perhatian secara diam-diam padamu. Berkali-kali aku
peringatkan untuk tidak lagi mendekati Puan” –Ridwan mendesis. Ia semakin
emosi, nada bicaranya tinggi. Menunjuk-nunjuk ke arah Noah.
Semakin
banyak makian yang kian keluar dari mulutnya. Ridwan kembali mengancam. Ia tahu
sedari awal yang menitipkan bingkisan untuk Noah kepada Herza dan Mutiara itu tak
lain adalah Puan Purnama. Saudaranya, yang kini tidak lagi bersahabat dan
saling sapa. Ridwan kesal dan kecewa, jika Purnama benar-benar meninggalkannya.
Sebab itu ia balas dendam untuk menjauhkan orang-orang yang dekat dan akrab
dengan Purnama.
Setelah
tahu akan kebenaran semua, Noah merajuk. Ia sangat kecewa. Bingung harus
bersikap bagaimana. Orang yang selama ini ia benci dan maki, marah tanpa alasan
yang jelas. Ternyata dibalas dengan segala kebaikan, yang selama ini diberikan
kepadanya secara diam-diam.
Hampir
setiap hari ia mendapatkan bingkisan berisi pesan semangat serta motivasi.
Ia sama sekali tak menyangka jika Purnama
melakukan semua. Yang ia tahu Purnama bersikap biasa-biasa saja. Terlebih sejak
ia marah melalui pesan singkat tanpa alasan yang jelas ia utarakan malam itu.
Matanya berkaca-kaca. Dalam
kebingungan. Disudut gedung asrama permata, ia menyepi diatas anak tangga.
Tersendiri. Sebenarnya ia masih punya hati, menerima hadir Purnama dalam
hidupnya. Ia begitu senang sejak ia akrab dengan Purnama, ada yang perhatian
dan menyemangati dirinya. Namun disisi lain, justru ia bingung. Hendak memilih
berpihak ke siapa.
Jika
ia memilih Purnama, maka Ridwan, kakak kelasnya akan selalu memaki-maki dirinya dan terus
mengancam. Apalagi teman satu geng-nya akan menjauh. Ia tidak enak hati
meninggalkan teman-temannya yang sedari awal ia kenal dan bersama, apalagi
tinggal satu kamar dengan dirinya. Justru hal yang sebaliknya. Ia tidak mungkin
menjauhi Purnama, sebab ia adalah orang yang hampir setiap hari ia jumpai di
kelas. Apalagi harus menaruh benci padanya, sungguh hal yang tidak masuk akal.
Membenci seseorang tanpa alasan yang sangat jelas.
“Ada
apa denganmu dik?” Ega menyapa. Merangkul Noah. Duduk disampingnya.
Sedari
tadi Ega berada diruang terbuka. Ruang yang terletak di lantai paling atas.
Tempat biasa anak-anak menjemur pakian pada siang hari. Dan tiduran sembari
menikmati panorama kerlap-kerlip cahaya rembulan serta para bintang,
disepanjang malam. Sejak Noah terdiam menyepi, seorang diri di anak tangga itu.
Ia memperhatikannya. Ada suatu masalah yang menimpa saudaranya itu.
“Kau
kenapa. Murung begini. Ceritakan hal apa yang terjadi. Siapa yang berani
membuat kau begini?”
Noah
terdiam. Ia tidak ingin menceritakan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Ia
tidak ingin jika Ega, saudaranya itu ikut terlibat dalam permasalahan. Noah
menggeleng pelan. Matanya kembali berkaca-kaca. Kali ini lebih tebal,
membendung. Membentuk lapisan embun. Pecah tak mampu ia bendung. Ia menangis.
Tertatih.
“Kau
kenapa Noah. Siapa yang berani membuat tangismu seperti ini. Ceritakan pada
abang, biar abang temui orangnya” Ega semakin emosi. Amarah kian bertambah.
–“Jawab No,” gempalan jari tangan melayang pada tembok asrama disamping Noah.
“
Kak Riii... Rii..” Tersedu-sedu. –“Riii... Ridwan,” ia tertatih menyebut nama
Ridwan.
“Beraninya
bocah itu” Ega semakin garang. Berkali-kali ia mengelus kepala tangan.
Membunyikannya. –“Kau diapakan sama anak itu,”
Ia
terdiam. Menggeleng. Tak ingin melanjutkan. Ia tahu, Ega akan marah besar.
Apalagi jika ia terus melanjutkan pembicaraan.
Mendengar
hal itu, Ega bergegas menjumpai Ridwan di kamarnya. Tak segan Ega menarik kerah
baju Ridwan, tanpa berkata sedikitpun. Menjatuhkannya ke lantai. Tangannya kembali
mengepal. Ia sangat marah sebab Noah bukanlah lawan Ridwan.
“Kau
apakan Noah. Beraninya membuat ia menangis,” –Ega mendesis. Kembali ia tarik
kerah baju Ridwan. Semua terdiam. Tak seorang-pun berani ikut campur.
“Aampun
bang. Ampun. Aku tidak tahu jika Noah saudara abang” Ridwan mengangkat tangan.
Meminta maaf pada Ega. Ia tidak tahu jika Noah adalah saudaranya, ia berjanji
tidak lagi mengusik Noah.
“Minta
maaf sana kepada Noah,” tutur Ega kembali mendesis. Matanya melotot. Napasnya
tersengal, tak karuan.
Usai
peristiwa itu. Noah kembali menyepi. Ia duduk ditempat yang tidak biasa. Pada
lantai teratas, ia menghabiskan malam menatap kerlap-kerlip cahaya bintang yang
kian redup malam itu. Ia memikirkan, harus kemana ia berpihak.
Ia
memutuskan. Mengirim sebuah surat untuk seorang hamba Allah yang selama ini
berbaik hati padanya.
Seperti
biasa, saat Mutiara menjumpainya dan menyodorkan sepotong cokelat serta ice
cream kepadanya. Ia menolak. Noah meminta untuk dikembalikan saja kepada
orang yang telah menitipkan. Jikalau tidak kebetan ia minta agar cokelat dan ice
cream itu diberikan saja kepada Mutiara sebagai hadiah atas kesediaannya menjadi
jasa titip bagi Purnama. Ia menyodorkan sebuah surat, pada secarik kertas yang
ia lipat rapi. Tertulis Noah adikmu diatasnya.
Mutiara
kembali. Menemui Bang Purnama diruang kantor madrasah. Ia sodorkan secarik
kertas titipan Noah kepadanya, da berkata jika Noah meminta supaya cokelat
serta ice cream yang ia titipkan untuk Noah diberikan kepadanya.
Dari
Noah orang yang selalu kau panggil adik:
Teruntuk
Hamba Allah yang tidak ingin disebutkan identitasnya.
Untuk
orang yang selama ini, kurang lebih hampir dua bulan belakang. Yang masih rajin
menitipkan makanan serta minuman dan bingkisan untukku. Hamba Allah yang tidak
ingin disebutkan identitasnya; aku ucapkan terima kasih. Meski sampai kini,
tidak ada yang memberitahuku mengenai identitas pengirim. Kini aku paham. Jika
yang selama ini berbaik hati adalah orang yang selama ini aku benci. Kini aku
paham, jika itu adalah Puan. Cukup sampai disini, jangan lagi diteruskan, ~ Noah~”
demikian tulis Noah pada sebuah surat yang ia titipkan.
Selama
ini, sengaja ia tidak begitu memaksa Noah bersikap seperti biasa. Melihat sosok
Noah hadir pada kelasnya saja sudah lebih dari senang, meski Noah tidak begitu
seceria sebagaimana tempo lalu. Sebab itu ia menaruh perhatian secara
diam-diam. Ia harap Noah berubah hati, sikap dan pemikiran tentang dirinya.
Kini rahasia yang selama dua bulan ia
simpan terbongkar sudah.
Comments
Post a Comment