Aku nggak tahu, hadirnya sebuah ketidaksengajaan atau memang takdir yang telah menjadi bagian skenario Tuhan (Allah Subhanahu Wata'ala).
Sore itu, di kala senja sudah mulai berada di sudut langit Kota Hujan. Saat itu Sabtu sore. Aku sangat bersyukur atas segala sesuatu yang hadir. Di tengah kesibukan aktivitas kerja, Allah masih memberikan kesempatan pada diri ini untuk tetap merasakan euforia berjamaah di rumah-Nya.
Sebagai buruh pabrik, dari pagi hingga petang-bahkan sampai larut malam terus berpacu dengan waktu untuk segala urusan dunia. Terkadang, hal itu selalu membuat diri ini bertengkar; antara kemauan nafsu-keterpaksaan dan suara hati.
Aku bersyukur, Allah masih beri kesempatan padaku untuk bekerja-merasakan nikmatnya gajihan, mendapat upah dari peluh pribadi. Namun, di sisi lain, ada hal yang turut ku korbankan demi meraih satu hal yang lain. Waktu berjamaah, majelis, dan aktivitas baca-tulis yang kian hari kian suram tak jelas arah.
Oleh karenanya, aku harus pintar-pintar membagi waktu-memanfaatkannya secara maksimal. Terkadang, harus rela mengorbankan waktu istirahat berkurang untuk tetap istiqomah. Berat memang, tapi hanya inilah yang bisa kulakukan.
Untuk berjamaah di tengah padatnya aktivitas kerja, aku berusaha betul agar waktu subuh sebisa mungkin hadir di masjid. Selain untuk melatih agar diri terbiasa bangun lebih pagi, juga sebagai sarana agar tidak tertinggal informasi ataupun kabar jamaah-jamaah yang sudah aku hafal wajahnya, dan bagi mereka yang kenal serta yang aku kenal.
Selain itu pula, empat waktuku sudah habis termakan pabrik. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak hadir di rumah-Nya di kala fajar menyingsing. Jika tidak, bisa-bisa kacau, jika tak satupun waktu yang diberikan oleh-Nya tak terdapat namaku di sana secara berjamaah.
-----------
Sudah tiga pekan aku melihat sosoknya aktif dan hadir memenuhi shaff paling depan. Terutama pada waktu-waktu di mana aku bisa hadir di rumah-Nya. Karena aku hanya punya waktu di akhir pekan (Sabtu sore hingga Senin pagi). Terkadang, aku merasa iri, sebab kalah star dengannya.
Tubuh kecilnya lincah, rupanya indah menawan, senyumnya manis mengesankan. MasyaAllah. Sejak awal melihatnya aku jatuh cinta, dia benar-benar luar biasa. Didikan orang tuanya MasyaAllah.
Karena penasaran sama ini anak-masih kecil rajin banget ke masjid dan selalu berada di shaff paling depan. Jadi iri π₯Ίπ₯Ίπ₯Ί. Alhasil, karena semakin penasaran sama nama, usia, dan anaknya siapa. Ya sudah aku deketin.
Suatu hari aku memberanikan diri untuk berkenalan, setidaknya tahu nama dia itu sudah Alhamdulillah. Bisa nitip doa diam-diam buatnya, ya kan.
Kesannya, dia senang ketika aku sapa. Interaksinya bagus, menurutku berbeda dengan anak lain semasa dirinya. Komunikasinya bagus dan nggak ragu. Biasanya, anak-anak yang aku temui kalau aku sapa rada takut gimana gitu, mungkin karena orang tuanya berpesan agar berhati-hati dengan orang asing kali ya, atau memang tipikal anaknya saja yang begitu hehe.
Jujur si, dia ini berbeda. Saat aku bertanya, dia sangat antusias dan riang menjawab. Bahkan, nggak ragu duduk dekat dekatku.
"Namanya siapa dik?" tanyaku.
"Arfan," jawabnya.
Arfan ini anak yang rajin banget ke masjid-berjamaah; bahkan, sebelum adzan pun terkadang ia sudah stay duluan.
Awalnya aku sungkan untuk menegur, selain karena ia anak-anak (takut entar dianya mengira aku apa-apa/orang tuanya yang punya firasat begitu π. Juga ada rasa khawatir, secara kan banyak kasus yang aneh-aneh). (By the way, yang ini jangan dicontoh ya. Kan kita nggak boleh su'udzon/berprasangka buruk sama orang).
Orangnya ceria banget, aktif, kalau diajak komunikasi juga bagus banget-nggak seperti anak biasa. Eh lama-lama dianya akrab sama aku, saban ketemu di masjid, kadang dia ngumpet (petak umpet gitu) buat kaget aku. Kalau ketemu dia selalu senyum πππ.
Satu hal yang buat aku kagum sama dia; rajin. Anak seusia dia, hampir tiap waktu shalat berjamaah di masjid. (Kecuali subuh ya, maklum lah anak-anak. Kita saja yang dah tua kadang males bangun subuh ya.)
Sangat beruntung sekali orang tuanya. Orang-orang tua kudu begini nih, anaknya dikawal, dicontohkan yang baik. Suksesnya anak itu peran utamanya ialah orang tua, baru guru. Karena orang tua lah yang menjadi madrasah utama. Kalau kata guruku si, paling afdhal itu ya doa ibu, karena doa ibu itu mujarab. Banyak juga ulama yang mengatakan demikian.
Pernah suatu ketika saat aku sedang shalat rawatib (ba'diyah) aku kira dia sudah pulang, tahunya dia nungguin di teras masjid. Karena sebelumnya aku pesan untuk pulang bareng, secara rumah dia dan tempat tinggalku searah.
Jujur, aku kagum sama dia. Baru lima tahun, MasyaAllah. Jadi, pas pulang aku gendong dia, aku usap kepalanya sembari berdoa agar dia menjadi anak shaleh dan menjadi kebanggan orang tua-yang akan mengangkat derajat dan kedudukan orang tuanya. Jadi anak yang cerdas dengan istiqomah di jalan-Nya. Karena nggak sempat mau bacain surah Al-Insyirah, aku hanya mengelus ubun-ubun seraya mengakhiri doa dengan shalawat kepada Nabi.
Untuk Arfan, "Ya Allah, semoga engkau menjadikannya Istiqomah di jalanMu, jadi anak yang shaleh dan berbakti kepada orang tua. Yang mampu mengangkat derajat orang tua di dunia dan akhirat." -Sehat selalu dik, selalu ceria dan semangat. Terima kasih sudah menebar virus semangat kepada kakak, terutama dalam ibadah. Love you.
Untuk orang tua Arfan, "Maaf ya, kalau aku lancang ambil foto berdua dengan ananda tanpa seizin. Ananda anak yang hebat. Jujur, aku iri dengan Arfan. Doakan agar kami juga semakin rajin, istiqomah, dan semakin baik ibadahnya, semakin didekatkan pula kepada Allah. Aamiin."
Sekian dulu, catatannya...
Lain waktu kita sambung kembali. Jika Allah mengizinkan π salam, Pecandu Sastra.
Comments
Post a Comment