Foto pexels. Ist |
Oleh : Disisi Saidi Fatah
"Dik, aku akan segera melamarmu!" tutur Bang Alwi melalui pesan singkat kepadaku.
Malam itu hatiku berbunga-bunga, riang gembira tak karuan mendengar kabar itu. Ternyata benar bang Alwi menepati janji sebagaimana ia ucap waktu ketika aku boyong dari pesantren.
Kurang lebih enam tahun kita saling mengenal sejak mengabdi di bawah atap yang sama. Aku merupakan perwakilan almamater cabang ketiga, sedangkan Bang Alwi adalah alumnus pusat, pesantren yang saat itu sama-sama kita tempati. Kala itu aku melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswi jurusan pendidikan Agama Islam sekaligus menjadi pembimbing santriwati yang kerap kali dipanggil ustadzah oleh anak-anak, dan bang Alwi ia kala itu memilih untuk menunda perkuliahan selama satu tahun sebab ia ingin fokus dengan hafalan qur'an. Baru setelahnya ia mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab.
Bang Alwi adalah sosok lelaki yang diidolakan banyak santriwati, sikapnya yang lemah lembut, perhatian, dan penyayang, serta kepiawaiannya dalam mendidik menjadikan dirinya banyak dikagumi, termasuk aku. Tak hanya itu, kecerdasan Bang Alwi menjadikannya terpilih sebagai salah satu staff terbaik pada penganugerahan tenaga pendidik madrasah pesantren dari pusat hingga cabang ketujuh selama dua tahun berturut-turut.
Setelah mengenal Bang Alwi beberapa waktu, aku mulai jatuh hati. Secara diam-diam aku menyembunyikan perasaan itu, tak sanggup rasanya mengutarakan isi hati. Untuk sekadar menatapnya saja aku takut apalagi sampai berbicara hal yang sejujurnya. seringkali aku memalingkan wajah taat kali bertatap dengannya, sebab khawatir akan menjadi celah jin dan setan yang menimbulkan dosa diantara kita.
Lambat laun perasaan itu kian tumbuh besar. Untuk menyuarakan isi hati, ku tumpahkan segalanya dalam buku catatan harian yang tak seorangpun tahu.
Suatu ketika aku dan Bang Alwi tak sengaja saling bertabrakan di depan Gedung Rektorat yang mengakibatkan buku kita berjatuhan. Sebab terburu-buru buku agenda kita tertukar, kebetulan bukunya sama-sama berwarna hitam. Hal itu baru disadari ketika aku hendak menuangkan isi hatiku sebagaimana biasanya, tak sengaja pada buku Bang Alwi aku menemukan sebuah nama "Nabila" yang sontak membuatku kegeeran. Dalam hatiku membatin dan mulai bermunculan pikiran-pikiran aneh "Apa Bang Alwi juga memiliki rasa yang sama?" atau jangan-jangan Bang Alwi sudah ada calon yang kebetulan namanya sama denganku! Rasa itu segera ku tepis.
Sejak saat itu, nama Bang Alwi menjadi penambah dalam setiap doaku setelah nama kedua orang tua dan para guruku.
Singkat cerita, sampai pada akhir perjalanan masa pendidikan di perguruan tinggi, aku menyelesaikan kuliah dengan baik dan mendapat predikat cumlaude. dan dari sinilah kisah kita bermula.
Setelah semua urusan perkuliahan selesai, ayah dan bunda menyambangiku ke pesantren dengan maksud meminta ijin untuk membawaku pulang ke rumah guna membantu kegiatan belajar mengajar di madrasah milik ayah. Sejak hari itu aku berpisah dengan Bang Alwi, seorang ustadz berprestasi yang selalu tersebut namanya dalam doaku.
Baca: Ipar adalah Maut: Badai Rumah Tangga Tanpa Adanya Sebuah Tanda!
"Aku pamit bang, jaga diri baik-baik," ujarku kepada Bang Alwi setelah membereskan barang milikku di kantor madrasah.
Meski hatiku rapuh, aku berusaha tegar menerima semua. Bagaimanapun ayah dan bunda adalah sosok yang tak mungkin aku lupa. Tanpa beliau berdua apalah aku di dunia. Perpisahan itu tak menyurutkan rasa cintaku kepada Bang Alwi.
"Iya dik, percayalah suatu saat nanti aku akan menjemputmu!"
Kala itu aku tak mengerti sama sekali maksud jawaban dari Bang Alwi ketika kisah berpisah. Hingga pada suatu hari ia memberi informasi jika telah mengkhatamkan hafalan qur'an hingga 30 juz serta akan segera wisuda sarjana.
Subhanallah, hatiku kian gembira mendengar hal itu. Akhirnya apa yang Bang Alwi inginkan mampu ia wujudkan. Keistikomahannya untuk terlebih dahulu menjadi penghafal qur'an kini menjadi nyata.
Bang Alwi mengundangku untuk dapat hadir di acara wisuda sarjananya, namun sebab kesibukan aktivitas di madrasah yang padat menyebabkan aku gagal berjumpa dengannya.
Satu bulan setelah wisuda sarjana, Bang Alwi sowan ke rumah guna melamar. Kedatangan Bang Alwi tentu disambut dengan senang oleh ayah dan bunda, orang tua mana yang tidak memperbolehkan anaknya dipersunting lelaki idamannya, apalagi seorang hafidz qur'an.
Setelah sesi lamaran, kedua orang tua kami berunding untuk menentukan hari pernikahan. Sengaja tak dibuat jauh agar ikatan cinta kami yang telah terjalin dapat segera disahkan, sebab tak baik jika berlama-lama.
Pernikahan digelar ala kadarnya di kediaman orang tuaku, tak ada pesta mewah sebagaimana pernikahan di kota-kota besar. Hanya sanak keluarga serta kerabat terdekat yang diundang. Kendati demikian masih banyak para tamu yang hadir meski mereka tidak mendapat undangan secara langsung.
Bang Alwi melantunkan Surah Ar Rahman dengan lantunan syahdu dan lembut sebagai mahar nikah yang aku pinta. Aku memilih Surah Ar Rahman sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang beliau berikan atas jawaban dari doa yang selama ini aku agungkan kepada-Nya.
Baca: Menguak Sisi Kehidupan dari Novel Pergi Tere Liye
Setiap lantunan ayat suci yang Bang Alwi bacakan menggetarkan hatiku sampai ke lubuk yang paling dalam. Kabut menebal menutupi kelopak mata, berlinang, menggumpal membentuk kristal, hingga tak mampu aku tampung. Isak tangis memecah sunyi siang itu, tak henti mengucap syukur kepada-Nya.
Sepekan, setelah pernikahanku dengan Bang Alwi. Kami memutuskan untuk kembali ke kota sebab Bang Alwi masih punya tanggungjawab di pesantren tempat ia mengabdi serta persiapan wisuda tahfiz qur'an 30 juz.
Sejak hari itu aku dan Bang Alwi menjalin kehidupan baru dalam bingkai rumah tangga di kota. Kami menyewa sebuah rumah yang tak jauh dari pesantren agar mempermudah Bang Alwi untuk mengabdi, sengaja kami memilih untuk tidak tinggal di pesantren agar terbiasa mandiri.
Waktu berlalu, hari demi hari kami lalui penuh suka cita. Pahit, asam, manisnya kehidupan telah terbiasa kami lalui. Hingga hadirlah Azura buah hati pertama sebagai pelengkap keluarga kecil kami, lalu menyusul Adiba, dan Alif sebagai buah hati kedua dan ketiga.
Seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi memanggil Bang Alwi dengan sebutan abang, melainkan abah. Hal itu agar anak-anak juga terbiasa dengan sebutan itu.
Suatu ketika Abah pulang dari pesantren larut malam, tak biasa beliau sampai larut begini. "Ada rapat penting yang dibahas," tutur abah menenangkan diriku sembari mengecup keningku.
Aku tersipu malu, rona merah jambu mulai mewarnai pipi yang kian berseri. Meski status kami suami istri namun kasih sayang dan perhatian abah selalu menjadikan hatiku dag dig dug bagai jatuh cinta pertama.
Malam itu kian larut, setelah berendam di air hangat yang telah aku siapkan, abah memintaku untuk dibuatkan secangkir kopi, beliau membawa kabar baik untuk kami yang juga menjadi hal terberat bagiku.
"Dik. Kau akan menjadi Ibu Nyai, tak hanya menjadi umi bagi anak-anak kita juga anak lain yang akan kita didik nantinya?" tutur abah memberitahuku.
Aku sontak kaget mendengar hal itu. Apakah abah hendak menjadikan anak-anak orang diluar sana sebagai anak angkatnya?
"Abah hendak mengangkat anak orang?" tanyaku.
Beliau tersenyum. Lalu berdiri memeluk tubuhku dari belakang.
"Dik, Alhamdulillah, sebagaimana rapat yang kita laksanakan sore hingga malam tadi bersama Kiai Abdullah, semua sepakat menjadikan abah sebagai pimpinan Pondok Pesantren Al Husnayan cabang kesembilan,"
"Tapi abah, umi belum siap menjadi uminya anak-anak yang lain,"
"Sudah. Tidak usah khawatir, abah akan selalu membimbing dan bersama umi. Bismillah, semoga Allah meridhoi langkah kita,"
Baca: Dari "Raden Kian Santang" Jadi Candu Sholawat
Setelah mendengar kabar itu, kami kembali sowan ke rumah ayah dan bunda serta kedua orang tua Abah Alwi, guna memohon ridho dan doa restu dari beliau semua. Mengingat lokasi pesantren terletak di desa yang masih terbilang terpencil dan jauh dari keramaian kota.
Sepekan setelah menyelesaikan semua tanggungjawab di kantor pusat dan sowan ke rumah ayah dan bunda serta kedua orang tua Abah Alwi. Kami sekeluarga bergegas meninggalkan kota menuju desa terpencil, memulai kehidupan baru sebagai pimpinan pesantren.
Ya Allah kami pergi meninggalkan kota ini dan kami datang menghampiri desa itu yang akan menjadi tempat baru bagi kami. Dengan niat sami'na wa atho'na kepada-Mu, berkahi, rahmati, dan ridhoi kami. Aamiin
* * * * *
Memulai kehidupan baru di tempat yang belum terbiasa merupakan sebuah anugerah sekaligus tantangan bagi kami, sebab harus menyesuaikan diri. Sebagaimana majas "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" - sebagai pendatang, seperti itulah cara kami menghargai dan menghormati adat istiadat di sana. Meskipun ada hal yang tidak bisa kami terima untuk diyakini, namun bukan berarti kami tidak menghargai ataupun menghormati.
Alhamdulillah, niat baik akan selalu membawa keberkahan hidup, kedatangan kami disambut baik oleh warga setempat. Sejak hari pertama banyak warga membantu berbenah, rejeki pun tak henti mengalir, baik makanan, hasil bumi, hingga materi lain kami peroleh dari shodaqoh warga. Bahkan ada warga yang tidak sabar anak nya untuk segera dititipkan di pesantren guna menimba ilmu.
Waktu kian bergulir, perlahan santri Pesantren Al Husnayan semakin bertambah. Namun masih saja tantangan dan rintangan menghampiri. Seiring berjalannya waktu banyak orang tua wali santri meminta agar di pesantren juga diadakan sekolah formal, supaya anak-anak lebih aman dan nyaman di pesantren. Sebab untuk sekolah formal mereka biasa sekolah di luar.
Dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk segera membuka sekolah formal tingkat SMP dan SMA sebagaimana di pesantren pusat dan cabang yang lain. Segala persyaratan dari yang mudah hingga sulit sekalipun mampu terselesaikan, hingga membuahkan hasil. Pada tahun itu resmi dibuka sekolah formal di pesantren yang kami pimpin.
Setelah semua berjalan, kembali badai kehidupan menerkam. Memasuki tahun ketiga pasca diresmikannya sekolah formal di pesantren, kami dihadapkan dengan sekelumit masalah. Pada saat itu satu tahun menuju ujian nasional, sekolah SMP dan SMK Al Husnayan tidak diperkenankan menggelar ujian secara mandiri di tahun depan sebab belum terakreditasi. Hal ini menjadi tombak perjuangan aku dan abah, hanya saja pada tahun ini ada beberapa ustadz dan ustadzah yang dikirim dari kantor pusat guna mengabdikan diri membantu pesantren.
Pasca mendapat akreditasi dari pemerintah pusat, banyak bantuan mengalir bagi sekolah dan pesantren kami. Sarana prasarana kini mulai terlengkapi, begitupun santri dan santriwatinya kian bertambah setiap tahun.
Kami bersyukur kepada Allah yang telah memudahkan segala urusan. Kini Pondok Pesantren Al Husnayan cabang kesembilan menjadi pesantren terbesar di desa dan di kota itu, setiap tahunnya para santri dan santriwati kian bertambah banyak. Hal itu pula menjadikan Abah Alwi dan Umi Nabila sebagai Kiai dan Ibu Nyai pimpinan pesantren terbesar di kota itu.
Baca: Apa itu Haji Mabrur dan Apa Ganjarannya?
Tahun ini Abah Alwi dan Umi Nabila, serta ketiga putra dan putrinya memutuskan untuk hijrah ke Mekkah, guna memenuhi panggilan yang agung sebagai tamu pada musim haji di tahun ini. Menyempurnakan keimanan sebagai hamba-Nya.
"Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain," (Q.S Al-Insyirah Ayat 7).
BIODATA PENULIS
Disisi Saidi Fatah merupakan pemuda berdarah Lampung yang lahir pada 27 September. Hobi membaca dan menulis menjadikan dirinya kecanduan sastra. Awalnya ia merasa dunia tulis menulis bukanlah tempatnya, namun seiring berjalannya waktu kini ia semakin candu untuk menggeluti dunia seni itu. Aktif sebagai penulis di nulampung.or.id sejak tahun 2017 dan mading.id sebagai kontributor pengisi warta, serta karya sastra lain (puisi, cerpen, dan opini).
Penyuka warna biru itu mengagumi sosok KH. Yusuf Mansur, Wirda Mansur, Andrea Hirata, Asma Nadia, dan Kang Abik. Ia berharap ke depan bisa menerbitkan buku-buku terbaik yang mampu memotivasi dan menginspirasi ribuan bahkan jutaan orang, best seller, dan mendapat berbagai penghargaan serta prestasi, juga dikenal di seluruh penjuru dunia melalui karyanya. Disisi dapat di hubungi melalui facebook.com/official.disisisf, Instagram : @pecandusastra96.
Comments
Post a Comment