![]() |
Ilustrasi oleh AI |
"Selamat pagi semuanya. Mohon maaf ya baru kelihatan dan baru update sekarang. Sudah telat dua malam ya 🙏. Sebagai permohonan maaf, maka untuk pekan ini akan kita publikasikan dua bab sekaligus, pagi ini bab keenam dan siang nanti bab ketujuh. Bagi yang belum membaca bab sebelumnya, boleh baca >>> di sini <<< ya!"
Waktu seperti bergerak lebih cepat ketika seseorang mulai melemah. Arfi, yang dulu selalu penuh energi dan antusias di setiap aktivitas sosial, kini lebih banyak duduk diam. Ia masih tersenyum, masih menyapa hangat anak-anak dan Santi, tapi tubuhnya tak lagi setangguh dulu.
Gula darahnya sering melonjak. Santi kini menjadi perawat pribadi yang setia, menyiapkan makanan khusus, mengingatkan obat, dan memaksanya untuk beristirahat. Arfi merasa tak enak, seolah menjadi beban, namun Santi menenangkannya, “Kamu sudah mengurus banyak orang, sekarang saatnya kamu yang diurus.”
Namun yang lebih menyiksa dari penyakit itu bukan rasa sakit, melainkan rindu yang menggantung di dadanya - rindu pada Disa.
Sudah hampir enam bulan Disa tidak pulang. Komunikasi mereka semakin renggang. Arfi tidak marah, tidak kecewa, hanya... kosong. Ia menulis catatan harian setiap malam, berharap suatu saat Disa akan membaca semuanya.
Hari ke-180. Disa belum pulang. Tapi Papa masih di sini, menunggu. Papa tidak ingin memintamu untuk pulang, karena Papa ingin kamu mengejar cita-cita. Tapi jika suatu hari kamu rindu, rumah ini tidak berubah. Tidak pernah berubah.
Sementara itu, di kota tempat Disa merantau, ia pun tak tenang. Bukan karena lupa, tapi karena dihimpit kesibukan dan pergulatan batin. Ia sering merasa bersalah karena tak sempat menghubungi Papa Arfi. Kadang ia menatap foto-foto lama di ponselnya - foto saat mereka pergi mengajar di desa, saat makan bersama di rumah, saat tertawa bersama anak-anak.
Setiap kali rindu, ia hanya bisa memeluk bantal dan menangis pelan. Tapi rasa malu dan canggung untuk menghubungi lebih dulu, entah mengapa, menjadi tembok yang sulit ia runtuhkan. Ia takut dituduh melupakan. Ia takut Papa merasa kecewa. Jadi, ia menunda. Berkali-kali.
Hingga suatu hari, Santi menghubungi Disa.
“Dis… Papa kamu sakit. Sudah cukup lama.”
Telepon itu membuat dunia Disa runtuh. Tangannya gemetar, suaranya tercekat. “Ma… serius?”
“Iya, sayang. Tapi kamu tahu Papa. Selalu bilang ‘nggak papa’, selalu pura-pura kuat. Tapi sekarang dia sering lemas. Kadang sulit jalan. Tapi masih saja senyum.”
Disa tak menjawab. Matanya sudah penuh air. Malam itu, ia menangis dalam sujud panjang. Doa-doa yang dulu rutin ia kirim untuk Arfi, kini terasa jauh. Ia merasa seperti anak durhaka. Ia baru sadar, waktu tak pernah menunggu, apalagi untuk orang-orang yang sedang melemah.
Disa pulang seminggu kemudian. Ia membawa oleh-oleh, makanan kesukaan Arfi, dan segunung kerinduan. Tapi rumah itu terasa berbeda. Udara di dalamnya lebih sunyi. Suara anak-anak tetap riang, tapi bayangan Arfi tak lagi menyambut di teras seperti biasanya.
Santi membuka pintu. Matanya merah. “Papa… baru saja masuk rumah sakit, Dis.”
Disa jatuh terduduk. “Kenapa nggak dikasih tahu lebih cepat?”
Santi memeluknya. “Kami tahu kamu sibuk, dan Papa nggak mau kamu khawatir.”
Tanpa menunggu lama, Disa pergi ke rumah sakit. Di sana, Arfi sudah terbaring lemah. Selang infus di tangan, wajah pucat, tapi senyum masih tersungging ketika melihat Disa masuk.
“Papa…”
Arfi mengangkat tangan lemah, “Anakku pulang juga…”
Disa langsung menggenggam tangannya. Ia menangis, tersedu-sedu. “Maafkan aku, Pa… aku telat… aku lama nggak kabar… aku…”
“Dis… nggak apa-apa…” suara Arfi pelan, nyaris bisikan. “Papa tahu kamu berjuang… Papa bangga…”
Hari itu mereka berbicara lama. Tentang masa lalu, tentang kenangan, tentang cita-cita Disa yang belum selesai. Arfi sempat tersenyum ketika Disa bercerita tentang rencananya membuat komunitas pendidikan di daerah terpencil. “Itu… warisan paling indah, Dis. Kamu teruskan ya…”
Disa mengangguk sambil menangis. “Aku janji, Pa…”
Tapi waktu tak pernah cukup. Beberapa hari kemudian, kondisi Arfi memburuk drastis. Hingga akhirnya, pada suatu pagi yang dingin dan sunyi, Arfi pergi… untuk selamanya.
Disa tidak sempat di sisinya. Ia datang beberapa jam setelah Arfi mengembuskan napas terakhir.
Santi menyambutnya dengan pelukan dan tangis. “Papa kamu pergi tenang, Dis… tapi dia nyebut namamu sebelum koma… katanya, dia bahagia kamu pulang…”
Disa menangis sejadi-jadinya. Ia meratap, memeluk nisan batu bertuliskan nama orang yang sudah ia anggap ayah sejati. “Maafkan aku, Pa… maaf aku telat…”
Hari-hari berikutnya Disa sering datang ke makam Arfi. Ia duduk diam, berbicara seakan Arfi masih ada, mengirim doa, fatihah, dan air mata. Ia tahu, tak ada yang bisa mengulang waktu. Tapi ia bisa menebusnya dengan cinta yang tak pernah putus.
Comments
Post a Comment