![]() |
Ilustrasi Jarak yang Menguji Janji karya Cendekia Alazzam dalam Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi. Foto oleh AI. |
Haiii semua, akhirnya kita berjumpa kembali setelah sepekan berlalu. Gimana dengan perjalanan bab sebelumnya? Cukup menegangkan dan membuat penasaran? Masih mau lanjutkah? Baiklah, sebelumnya aku mengucapkan selamat datang di bab kelima, bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, silakan klik >>> di sini <<< untuk membacanya. Dan, bagi kamu yang baru menemukan kisah ini - agar utuh kamu bisa memulai dari awal, klik >>> di sini <<< ya!
Bab 5
Jarak yang Menguji Janji
Waktu terus berjalan, Disa tumbuh semakin matang, baik dalam berpikir maupun bersikap. Arfi dan Santi bangga melihat bagaimana Disa tumbuh menjadi perempuan muda yang tangguh dan penuh semangat. Tapi bersamaan dengan itu, datanglah tawaran beasiswa dari sebuah universitas ternama di luar kota. Sebuah peluang emas yang sulit untuk ditolak.
Sore itu, di ruang keluarga yang biasa dipenuhi tawa anak-anak dan aroma teh hangat, Disa menyampaikan kabar itu. Suaranya pelan, nyaris ragu.
“Papa… Mama… Disa ditawari beasiswa penuh untuk lanjutan studi S1 di luar kota. Semua fasilitas, termasuk biaya tempat tinggal ditanggung. Tapi…”
Santi langsung memeluknya, “Alhamdulillah, Disa! Itu kabar baik, Nak. Kenapa wajahmu murung begitu?”
Disa menunduk. “... berarti aku harus jauh dari rumah ini. Jauh dari Papa… Mama… dan adik-adik.”
Arfi hanya tersenyum, meski hatinya berat. “Itu jalanmu, Dis. Mimpi tidak selalu dikejar dari tempat yang sama. Pergilah. Belajar yang sungguh-sungguh. Rumah ini akan selalu menunggu pulangmu.”
Sore itu, mereka bertiga duduk lama. Tak banyak kata, tapi tiap tatapan mengandung doa. Arfi tahu, inilah momen perpisahan awal yang harus mereka hadapi. Bukan karena ingin menjauh, tapi karena hidup kadang harus dipijak dari tanah yang berbeda.
Hari-hari tanpa Disa terasa berbeda. Rumah tak lagi seramai biasanya. Anak-anak bertanya, “Kak Disa kapan pulang?” - Dan Arfi hanya bisa tersenyum sambil berkata, “Nanti kalau liburan, sayang.”
Sementara itu, Disa mulai menjalani kehidupannya sebagai mahasiswi rantau. Di kota baru itu, ia berusaha sebaik mungkin menjaga komunikasi. Tapi kesibukan mulai menyita perhatian. Tugas kuliah, organisasi, proyek kampus - semuanya menyedot energi dan waktu. Pesan-pesan untuk Arfi dan Santi pun mulai jarang.
Awalnya, Arfi tak terlalu ambil pusing. Ia tahu anak muda harus sibuk. Tapi lambat laun, jarak itu terasa kian jauh. Disa tak lagi mengabari sesering dulu. Kadang seminggu sekali, kadang dua minggu tanpa kabar. Bahkan Santi sempat berkata, “Disa-nya makin jarang telepon, ya? Jangan-jangan sungkan sama kita.”
Arfi hanya tertawa pelan. “Mungkin sibuk. Atau... sudah menemukan dunia barunya.”
Namun diam-diam, hatinya terasa kosong.
Suatu malam, Arfi duduk di beranda rumah sambil menatap langit. Ia menggenggam ponsel, membaca ulang percakapan terakhir mereka yang sudah dua minggu lalu. Hanya satu pesan singkat: “Papa, maaf ya belum sempat telepon. Nanti aku kabari kalau sudah longgar. Kangen Papa dan Mama.”
Dan itu pun belum dibalasnya.
Ia mengetik pelan: “Papa juga kangen, Dis. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan dan salat. Rumah ini selalu terbuka kapan pun kamu mau pulang.”
Tapi pesan itu tidak dikirim.
Entah kenapa, hatinya menahan. Mungkin karena rasa kehilangan itu terlalu nyata untuk diungkapkan hanya dengan kata-kata. Atau mungkin karena ia mulai sadar, anak-anak memang tumbuh untuk akhirnya menemukan jalan mereka sendiri.
Beberapa bulan berlalu, dan kabar makin jarang. Hingga satu malam, Santi menemukan Arfi duduk termenung di ruang kerja. Wajahnya pucat, tangan gemetar memegang alat cek gula darah. Angka yang tertera di layar: 356.
Santi panik. “Pa, Papa kenapa nggak bilang? Ini tinggi sekali!”
Arfi hanya menggeleng pelan. “Capek, Ma. Mungkin terlalu banyak kegiatan. Tapi aku masih kuat, kok.”
Mereka tahu Arfi memang mengidap diabetes sejak dua tahun terakhir. Tapi kesibukan sosial membuatnya sering lupa menjaga pola makan dan minum obat. Kini, tubuhnya mulai memberi peringatan.
Malam itu, Santi memaksa Arfi untuk istirahat penuh. Semua kegiatan dihentikan. Rumah pun kembali sunyi, kali ini bukan karena ditinggal Disa, tapi karena Arfi tak lagi berkeliling menghidupkan semangat orang-orang.
Dan di tengah keheningan itu, hati Arfi makin sering teringat pada Disa. Pada senyumnya, pada tawanya, pada caranya memperlakukan dirinya dengan lembut dan penuh hormat. Rasa rindu itu seperti api kecil yang terus menyala dalam dada. Tapi ia tak pernah menunjukkan, hanya menyimpannya dalam doa dan harap.
Jarak itu kini benar-benar menguji.
Hubungan yang dahulu erat kini diuji waktu dan ruang. Tapi Arfi tetap percaya: cinta sejati tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu waktu untuk disapa kembali.
Dan dalam diam, ia terus mendoakan Disa—anak yang tak lahir dari darahnya, tapi tumbuh dalam jiwanya.
Comments
Post a Comment