Skip to main content

Dua Sarung: Cinta dalam Diam

Ilustrasi (dibuat oleh AI)


Cerpen oleh: [Cendekia Alazzam]


Ada momen dalam hidup yang begitu sederhana, tapi terus hidup dalam ingatan. Tidak berisik, tidak dramatis. Hanya hadir begitu saja — dan membuat hati diam-diam belajar.


Hari itu, aku kembali melangkahkan kaki ke rumah yang pernah kusebut “rumah kedua”. Rumah orang tua asuhku. Tempat aku tinggal selama masa SMA. Hampir empat tahun aku tumbuh di sana — berbagi ruang makan, waktu salat, dan sunyi-sunyi malam yang kadang penuh PR. Tapi semua itu dulu terasa biasa saja. Tak ada yang istimewa, kukira.


Namun waktu memang punya cara sendiri untuk menajamkan rasa. Setelah berpisah sekian tahun, banyak hal yang dulu luput kini terasa begitu berharga. Terutama sosok bapak angkatku, yang biasa kupanggil Papi. Ia bukan orang yang cerewet, tapi geraknya seolah selalu mengandung pelajaran. Dari cara ia bangun sebelum azan subuh, menyiapkan air wudhu, hingga caranya menatap langit usai salat — semua seakan menjadi isyarat tentang kesungguhan hidup yang tak perlu dijelaskan.


Dan yang paling membekas, adalah diamnya. Bukan diam yang kosong, tapi diam yang penuh makna.


Setelah aku pindah kota dan mulai bekerja, aku sering mengirim doa dalam diam. Untuk beliau dan istrinya, yang dulu menerima aku yang datang dari kampung, merawatku tanpa syarat, mendidik tanpa pamrih. Itu bukan kebaikan biasa. Itu kasih sayang yang sulit diukur dengan kata.


Dalam kunjungan kali ini, kabar bahagia datang. Papi akan berangkat haji — untuk yang kedua kalinya. Wajahnya tetap teduh seperti dulu. Garis usia memang mulai terlihat, tapi sinar ketenangan dalam matanya belum pudar. Aku ikut bahagia, tapi juga menyimpan rasa khawatir: mungkinkah ini pertemuan terakhir kami?


Kami kini tinggal di dua kota yang berbeda. Hidup bisa saja membawa kami makin jauh. Maka sebelum aku pulang, aku meminta satu hal: sebuah sarung. Tapi bukan sembarang sarung. Aku ingin sarung yang ia pakai sehari-hari untuk sholat. Yang lama. Yang pernah mencium sajadah. Yang menyerap keringat ibadah. Yang membawa jejak sujud dan keheningan yang mendidik.


Papi hanya tersenyum kecil. “Mengapa harus yang bekas - yang baru saja ya,” katanya sambil menyodorkan sarung baru. Aku berusaha menjelaskan maksudku — bahwa aku ingin warisan semangat, bukan keindahan kain. Bahwa aku ingin mengenang bukan lewat barang, tapi lewat sejarahnya.


Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan satu sarung tanpa plastik, katanya, “Ini udah pernah dipakai, meski cuma sebentar.” Aku tersenyum menerima. Tapi saat kubuka di rumah, aku tahu: itu masih baru. Capnya masih utuh dan lengkap, bahkan masih berbau toko.


Dan di sanalah aku paham — cinta kadang ditunjukkan dengan cara yang berbeda. Bagi Papi, memberi yang terbaik berarti memberi yang baru. Yang suci. Yang belum ternoda. Sementara aku mengira, yang bernilai justru yang sederhana dan bersejarah.


Kini dua sarung itu kupakai untuk ibadah. Mungkin memang bukan yang pernah ia pakai, tapi cinta tak selalu harus berbentuk seperti yang kita harapkan. Kadang ia hadir dalam pemberian yang bersih, niat yang jernih, dan ketulusan yang tak perlu dibicarakan.


Setiap kali aku memakainya untuk salat, aku teringat pada doa yang rutin kulangitkan: "Semoga Allah menerima hajinya. Semoga beliau selalu sehat dan diberi usia penuh keberkahan. Semoga apa yang pernah ia tanam dalam diam, terus tumbuh jadi amal yang tak pernah padam.


Dan untuk diriku sendiri, aku menyimpan janji. Di mana pun langkah ini melaju, aku ingin menebar ilmu, berkarya, dan berbagi. Agar setiap hal yang pernah beliau tanam — akarnya sampai padaku, buahnya bisa dinikmati banyak orang.


Karena kita tak pernah tahu, dari doa siapa surga bisa dijemput.


“Tak semua cinta harus diucapkan. Kadang cukup jadi doa yang rutin dilangitkan.”


Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...