![]() |
Jejak Cinta yang Tertinggal. Part 9 dari Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi. (Foto oleh AI) |
"Terima kasih telah setia hingga pada bab ini terlahir. Mohon maaf banget updatenya terlambat, karena dua bah terakhir yang sudah ditulis, hilang. Jadi, harus menulis ulang.
Bagi yang ketinggalan dengan cerita ini, boleh dibaca dari awal dalam cerita "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Dan, bagi yang belum baca bab sebelumnya, silakan >>> baca di sini! <<<"
Musim hujan kembali tiba. Langit kota tampak murung, seolah ikut merawat rindu yang belum sembuh. Disa duduk di lantai komunitas Langkah Arfi, bersandar pada dinding yang masih menyisakan bau cat lama. Di pangkuannya, tergeletak sebuah buku bersampul cokelat tua — buku harian milik Arfi, yang ditemukan Santi di laci lemari rumah lama saat beres-beres menjelang akhir tahun.
“Kalau kamu mau menyimpannya, simpanlah,” kata Santi waktu itu sambil menyerahkan buku itu. “Tapi kalau kamu belum siap, letakkan saja dulu. Arfi menulis banyak hal di situ. Mungkin... terlalu jujur.”
Namun Disa siap. Ia membuka lembar pertama dengan tangan sedikit gemetar. Tulisan tangan Arfi mengisi halaman demi halaman, rapi dan padat. Sebagian adalah catatan liputan, sebagian lain pemikiran pribadi. Tapi yang paling banyak: pengakuan-pengakuan kecil yang hanya ditulis untuk dirinya sendiri — dan kini, untuk Disa.
"Tuhan, jika suatu hari aku harus pergi, biarlah kebaikan yang aku tabur tumbuh lewat orang-orang yang pernah aku sayangi. Mereka akan tahu, aku tidak pernah benar-benar meninggalkan mereka."
Disa menutup mata. Ada yang menghangat dan sekaligus menyesakkan di dadanya. Rasanya seperti disentuh oleh seseorang yang tak lagi bisa disentuh.
Hari itu, ia membawa buku harian itu ke kampus. Ia ingin membacakan sepotong kutipan di hadapan anggota komunitas yang kini jumlahnya sudah hampir seratus orang. Ruangan kecil tempat mereka biasa rapat terasa sesak, tapi hangat.
“Ini... tulisan Papa Arfi,” ucap Disa dengan suara pelan. “Aku ingin kalian tahu siapa yang dulu memulai semua ini. Dan kenapa aku memilih untuk meneruskannya.”
Ia membacakan satu kutipan tentang keadilan, lalu satu lagi tentang harapan. Suaranya bergetar, tapi tidak pecah. Ia telah banyak menangis, tapi hari itu bukan hari untuk air mata. Itu hari untuk menyampaikan warisan.
Seusai pertemuan, seorang mahasiswa baru mendekatinya. Perempuan berkacamata dengan ransel besar di punggungnya. “Kak Disa,” katanya lirih. “Aku ke sini karena baca bukumu. Langkah Papa.”
Disa tersenyum kecil. “Kamu suka?”
“Lebih dari suka. Aku... jadi ingat almarhum ayahku. Rasanya seperti ada yang bicara lagi dari sisi yang sudah lama diam. Terima kasih, Kak. Karena tulisannya Kak Disa, aku jadi tahu... kehilangan bukan akhir.”
Kata-kata itu terus terngiang sepanjang malam. Disa mulai memahami bahwa jejak Arfi tak hanya tertinggal di dirinya. Tapi sudah menjalar, tumbuh, berakar di banyak hati. Tanpa ia sadari, benih-benih kecil yang dulu mereka tanam kini sudah mulai berbunga.
Setiap akhir pekan, Disa dan timnya rutin turun ke lapangan. Mereka mengajar anak-anak di desa, mengadakan pelatihan ibu-ibu muda, dan menanam bibit pohon di tanah yang sudah lama kering. Dalam setiap langkah itu, Disa seolah melihat kembali bayangan Arfi — duduk di tepi lapangan dengan buku catatan di tangan, atau berdiri di tengah anak-anak sambil mengajarkan lagu tentang harapan.
Santi kadang ikut turun lapangan. Ia tidak lagi segugup dulu, tak lagi menyimpan rindu dalam diam. Kini ia menyalurkannya dalam tindakan. “Dulu, aku selalu menunggu Arfi pulang,” ujarnya pada Disa. “Sekarang aku merasa... dia pulang lewat semua ini.”
Suatu hari, mereka mengadakan seminar kecil di aula kampus. Temanya sederhana, tapi menggugah: "Siapa yang Menyalakan Cahaya Itu?" Disa menjadi pembicara utama. Ia tidak datang dengan presentasi mewah atau grafik statistik. Ia hanya membawa satu hal: cerita tentang cinta, kehilangan, dan warisan kebaikan yang tak terlihat mata.
“Banyak yang mengira cinta sejati itu harus berasal dari darah yang sama. Tapi saya belajar dari seseorang yang mencintai saya tanpa alasan, tanpa syarat, dan tanpa menuntut balasan. Beliau tidak sekadar membesarkan saya — beliau mempercayai saya. Dan dari situlah saya tumbuh.”
Beberapa mahasiswa menangis. Beberapa lainnya berdiri dan memberi tepuk tangan usai ia selesai bicara. Tapi yang paling menyentuh, adalah seorang anak laki-laki yang datang menghampiri setelah acara. Ia mungkin baru SMP.
“Kak Disa,” katanya. “Kalau aku besar nanti, aku juga mau kayak Kakak. Aku nggak punya Papa. Tapi sekarang, aku tahu, cinta itu bisa datang dari mana saja.”
Disa menahan napas. Lalu menunduk dan mengelus kepala anak itu. “Kamu akan jadi cahaya, Nak. Seperti Papa Arfi pernah jadi cahaya untukku.”
Malam itu, Disa menulis di buku hariannya sendiri:
“Cinta sejati tidak pernah pergi. Ia hanya berpindah rumah — ke hati orang-orang yang mau menjaganya. Dan selama aku berjalan, aku tahu... aku sedang menginjak jejak cinta yang ditinggalkan Papa. Dan langkah ini, akan terus aku jaga."
Bersambung...
Comments
Post a Comment