![]() |
Ilustrasi. (Foto: Baznas) |
Setiap hari Jumat, saya sering menjumpai aneka makanan dan minuman yang dibagikan di masjid dekat rumah. Ada yang datang membawa nasi bungkus, bubur kacang hijau, air mineral, bahkan jajanan tradisional yang mengundang nostalgia masa kecil. Semuanya dikemas dalam semangat sedekah: Jumat Berkah.
Tapi, di balik niat baik itu, ada hal-hal kecil yang sebetulnya penting tapi sering luput dari perhatian: kelayakan dan kebersihan makanan.
Beberapa kali saya menerima bubur yang sudah terasa asam. Mungkin karena penggunaan santan yang sensitif terhadap suhu dan waktu simpan. Pernah juga ayam dalam nasi Jumat Berkah terasa seperti sudah beberapa kali dihangatkan, bahkan warna dan rasanya sudah tak segar lagi.
Saya paham, ini bukan soal mengeluh atau tak bersyukur. Tapi ini soal tanggung jawab dan adab dalam bersedekah. Karena sedekah bukan hanya soal "memberi", tapi juga "memuliakan yang menerima."
Baca juga: Sekolah Bukan Medan Perang, Tapi Mengapa Selalu Ada Korban?
Bayangkan jika makanan yang kita bagikan justru membuat orang sakit perut atau mual. Niat baik bisa berubah jadi mudarat. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan bahwa “Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik (thayyib).”
Kalau kita saja tak ingin menyantap makanan yang sudah basi atau tak layak, mengapa kita memberikannya pada orang lain?
Sebuah pertanyaan sederhana, tapi bermakna: “Apakah kita sendiri mau memakan makanan yang kita sedekahkan itu?” Kalau jawabannya tidak, barangkali saatnya kita mengoreksi ulang niat dan prosesnya.
Baca juga: Di Balik Kurma, Zam-Zam, dan 28 Kilometer Cinta dari Tanah Suci
Saya pernah mencoba memberi masukan kepada salah satu donatur yang menempelkan nomor WhatsApp-nya di kemasan bubur yang mereka bagikan. Dengan bahasa yang santun, saya sampaikan bahwa mungkin proses pengemasan atau waktunya perlu diperhatikan kembali. Dan alhamdulillah, mereka menerima dengan terbuka. Ternyata, niat baik juga butuh umpan balik agar tetap tepat sasaran.
Tulisan ini saya tuliskan bukan sebagai ketidaksukaan saya atau karena rasa iri di dalam diri, melainkan ajakan sekaligus pengingat bagi kita semua, terutama diri saya pribadi. Agar apa yang kita keluarkan benar-benar bernilai dan ibadah kita menjadi ibadah yang mendapatkan ganjaran pahala. Ini adalah bentuk cinta saya kepada kawan-kawan semua yang aktif dalam program jumat berkah, baik yang sudah ataupun yang baru berniat.
Saran saya, jikalau saudara-saudara tidak sempat masak atau mengemas sendiri, bisa pakai jasa katering terpercaya atau mendonasikan uang ke pengurus masjid agar diatur secara langsung. Bisa juga dalam bentuk lain: paket buah, susu kotak, roti kering, atau air mineral dingin yang segar selepas salat Jumat.
Baca juga: Menyelami Makna Hujan Bulan Juni Dalam Novel Eyang Sapardi
Tidak harus mahal, yang penting layak dan membahagiakan. Karena dalam sedekah, kualitas seringkali lebih bermakna dari kuantitas. Dan, yang terpenting adalah ketulusan niat kita dalam berbagi.
Akhirul kalam, semoga semangat Jumat Berkah tak hanya jadi rutinitas mingguan, tapi juga refleksi kita bersama: bagaimana memberi dengan cara yang terbaik. Sebab yang kita beri bukan hanya makanan, tapi juga harga diri orang yang menerimanya.
Comments
Post a Comment