Namun, di tengah tantangan zaman yang bergerak cepat dan kompleks, peran guru sering kali dipersempit hanya sebatas 'mengajar'. Apresiasi sosial melemah, kepercayaan publik goyah, dan tekanan dari berbagai arah - orang tua, sekolah, hingga sistem pendidikan itu sendiri - kian menumpuk. Tak sedikit guru yang kehilangan semangat, merasa sendiri, dan terjebak dalam rutinitas mengajar tanpa daya untuk benar-benar mendidik.
Padahal, mendidik adalah proses yang tidak bisa otomatis dan instan. Dibutuhkan ketulusan, kesabaran, dan kepekaan. Setiap siswa punya latar belakang berbeda. Ada yang datang dengan semangat tinggi, ada pula yang terseret beban rumah tangga, konflik internal, atau kesulitan ekonomi. Guru adalah jembatan penghubung antara dunia ilmu dan realitas anak-anak ini.
Di sinilah pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua. Tidak bisa lagi pendidikan hanya dibebankan sepenuhnya pada sekolah. Orang tua harus memosisikan diri sebagai mitra, bukan hakim yang selalu menyalahkan. Saat ada masalah, komunikasikan. Bangun empati. Sebab anak-anak tumbuh dari sinergi rumah dan sekolah.
Baca juga: Cahaya yang Tak Pernah Padam [Cerbung]
Sayangnya, kita hidup di era di mana pendidikan semakin 'bermetrik'. Nilai, skor, ranking - semuanya jadi tolok ukur utama. Akibatnya, aspek moral, etika, dan spiritual seperti tersingkir ke pinggir. Bahkan ketika guru menanamkan kedisiplinan, ia bisa dianggap 'terlalu keras' dan berujung ke laporan hukum.
Fenomena ini menyedihkan. Ketika mendidik dianggap pelanggaran, kepercayaan pun tergerus. Anak-anak jadi ragu terhadap figur otoritas. Mereka tidak lagi melihat guru sebagai sosok yang perlu dihormati, melainkan sekadar fasilitator belajar. Padahal, pendidikan yang sejati adalah proses batiniah - menyentuh hati, bukan hanya otak.
Belajar dari tradisi klasik, kita tahu bahwa ilmu tak cukup hanya dikejar, tapi juga harus dimuliakan. Dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim, disebutkan enam syarat menuntut ilmu: kecerdasan, semangat, kesabaran, bekal, bimbingan guru, dan waktu panjang. Tidak ada yang instan. Dan tidak ada satu pun syarat yang menghilangkan peran guru.
Baca juga: Yang Harus Diperhatikan oleh Donatur Jum'at Berkah
Teknologi dan internet memang memberi akses tak terbatas pada informasi. Tapi tetap saja, Google tak bisa menggantikan guru. Sebab guru bukan sekadar sumber pengetahuan, tetapi pembentuk watak. Nilai, kejujuran, sopan santun, dan tanggung jawab - semua itu lahir dari keteladanan, bukan dari video tutorial.
Untuk itu, mari kita rawat kembali semangat keberkahan dalam pendidikan. Jangan ukur keberhasilan hanya dari angka. Tapi lihatlah prosesnya: apakah anak-anak menjadi lebih baik? Apakah mereka punya empati, punya sikap, dan tahu mana yang benar dan salah?
Dan satu hal lagi yang perlu kita bahas: Guru hari ini tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tetapi juga memahami dinamika digital, kesehatan mental siswa, bahkan isu-isu sosial terbaru. Ia dituntut untuk selalu adaptif, cepat belajar hal baru, dan tak boleh tertinggal dari perkembangan zaman.
Namun siapa yang merawat kesejahteraan emosional guru itu sendiri? Guru yang bahagia dan dihormati akan menciptakan suasana belajar yang positif. Tapi jika guru terus-menerus dirundung tekanan, dibebani administrasi, dan minim dukungan, bagaimana ia bisa menyemai semangat belajar yang tulus kepada siswanya?
Kita juga harus mulai menggeser cara berpikir. Bahwa mendidik bukan hanya tugas guru. Ini adalah tanggung jawab kolektif - orang tua, masyarakat, bahkan media. Jangan biarkan guru berjalan sendiri di tengah arus zaman yang kencang. Sebab kalau mereka tumbang, masa depan bangsa pun ikut tergelincir.
Mengembalikan kepercayaan pada guru bukanlah romantisme masa lalu, tapi kebutuhan nyata hari ini. Maka mari kita mulai: dengan saling menghormati, mendengar, dan membangun komunikasi yang sehat antara rumah dan sekolah. Karena hanya dengan itu pendidikan bisa benar-benar bermakna.

Comments
Post a Comment