Skip to main content

Menjadi Guru di Era yang Berubah: Antara Akal, Adab, dan Tekanan

Guru di balik papan tulis, menanamkan adab dan akal kepada muridnya - sebuah pengabdian tulus di era yang menantang.  (sumber: edoo.id)



       Guru bukan hanya pengajar, tetapi pendidik yang mengemban amanah besar: mencerdaskan dan membentuk karakter anak bangsa. Ia tidak hanya bertugas membuat siswa cerdas secara kognitif, tetapi juga mengantarkan mereka menjadi pribadi yang beradab, tangguh, dan punya arah hidup yang baik.


Namun, di tengah tantangan zaman yang bergerak cepat dan kompleks, peran guru sering kali dipersempit hanya sebatas 'mengajar'. Apresiasi sosial melemah, kepercayaan publik goyah, dan tekanan dari berbagai arah - orang tua, sekolah, hingga sistem pendidikan itu sendiri - kian menumpuk. Tak sedikit guru yang kehilangan semangat, merasa sendiri, dan terjebak dalam rutinitas mengajar tanpa daya untuk benar-benar mendidik.


Padahal, mendidik adalah proses yang tidak bisa otomatis dan instan. Dibutuhkan ketulusan, kesabaran, dan kepekaan. Setiap siswa punya latar belakang berbeda. Ada yang datang dengan semangat tinggi, ada pula yang terseret beban rumah tangga, konflik internal, atau kesulitan ekonomi. Guru adalah jembatan penghubung antara dunia ilmu dan realitas anak-anak ini.


Di sinilah pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua. Tidak bisa lagi pendidikan hanya dibebankan sepenuhnya pada sekolah. Orang tua harus memosisikan diri sebagai mitra, bukan hakim yang selalu menyalahkan. Saat ada masalah, komunikasikan. Bangun empati. Sebab anak-anak tumbuh dari sinergi rumah dan sekolah.


Baca juga: Cahaya yang Tak Pernah Padam [Cerbung]


Sayangnya, kita hidup di era di mana pendidikan semakin 'bermetrik'. Nilai, skor, ranking - semuanya jadi tolok ukur utama. Akibatnya, aspek moral, etika, dan spiritual seperti tersingkir ke pinggir. Bahkan ketika guru menanamkan kedisiplinan, ia bisa dianggap 'terlalu keras' dan berujung ke laporan hukum.


Fenomena ini menyedihkan. Ketika mendidik dianggap pelanggaran, kepercayaan pun tergerus. Anak-anak jadi ragu terhadap figur otoritas. Mereka tidak lagi melihat guru sebagai sosok yang perlu dihormati, melainkan sekadar fasilitator belajar. Padahal, pendidikan yang sejati adalah proses batiniah - menyentuh hati, bukan hanya otak.


Belajar dari tradisi klasik, kita tahu bahwa ilmu tak cukup hanya dikejar, tapi juga harus dimuliakan. Dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim, disebutkan enam syarat menuntut ilmu: kecerdasan, semangat, kesabaran, bekal, bimbingan guru, dan waktu panjang. Tidak ada yang instan. Dan tidak ada satu pun syarat yang menghilangkan peran guru.


Baca juga: Yang Harus Diperhatikan oleh Donatur Jum'at Berkah


Teknologi dan internet memang memberi akses tak terbatas pada informasi. Tapi tetap saja, Google tak bisa menggantikan guru. Sebab guru bukan sekadar sumber pengetahuan, tetapi pembentuk watak. Nilai, kejujuran, sopan santun, dan tanggung jawab - semua itu lahir dari keteladanan, bukan dari video tutorial.


Untuk itu, mari kita rawat kembali semangat keberkahan dalam pendidikan. Jangan ukur keberhasilan hanya dari angka. Tapi lihatlah prosesnya: apakah anak-anak menjadi lebih baik? Apakah mereka punya empati, punya sikap, dan tahu mana yang benar dan salah?


Dan satu hal lagi yang perlu kita bahas: Guru hari ini tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tetapi juga memahami dinamika digital, kesehatan mental siswa, bahkan isu-isu sosial terbaru. Ia dituntut untuk selalu adaptif, cepat belajar hal baru, dan tak boleh tertinggal dari perkembangan zaman.


Baca juga: Solusi Ekonomi Krisis ala Ustadz Segaf Baharun 


Namun siapa yang merawat kesejahteraan emosional guru itu sendiri? Guru yang bahagia dan dihormati akan menciptakan suasana belajar yang positif. Tapi jika guru terus-menerus dirundung tekanan, dibebani administrasi, dan minim dukungan, bagaimana ia bisa menyemai semangat belajar yang tulus kepada siswanya?


Kita juga harus mulai menggeser cara berpikir. Bahwa mendidik bukan hanya tugas guru. Ini adalah tanggung jawab kolektif - orang tua, masyarakat, bahkan media. Jangan biarkan guru berjalan sendiri di tengah arus zaman yang kencang. Sebab kalau mereka tumbang, masa depan bangsa pun ikut tergelincir.


Mengembalikan kepercayaan pada guru bukanlah romantisme masa lalu, tapi kebutuhan nyata hari ini. Maka mari kita mulai: dengan saling menghormati, mendengar, dan membangun komunikasi yang sehat antara rumah dan sekolah. Karena hanya dengan itu pendidikan bisa benar-benar bermakna.

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...