Skip to main content

Seni Menikmati Hidup Pas-Pasan ala Rofi Ali Majid

Sumber: Freepik.


Kita hidup di zaman yang setiap harinya seperti dikomando untuk lebih. Lebih kaya, lebih cantik, lebih cepat, lebih sukses. Bahkan bahagia pun harus lebih bahagia dari orang lain, biar bisa dipamerkan di story 24 jam. Padahal, kenyataannya banyak dari kita yang hidupnya biasa-biasa saja. Pas-pasan. Gaji pas untuk makan. Waktu pas untuk istirahat. Dan cinta, ya… pasrah aja kalau belum jodoh.


Tapi apakah hidup pas-pasan itu kutukan? Atau justru berkah yang belum kita pahami bentuknya?


Buku “Berdamai dengan Hidup Pas-Pasan” karya Rofi Ali Majid adalah cermin yang jujur sekaligus jenaka. Ia tidak menyuruh kita kaya, tapi juga tidak menyuruh kita miskin. Ia hanya mengajak kita untuk berdamai: dengan keadaan, dengan harapan, dan yang terpenting dengan diri sendiri.


Just Enough, Nggak Usah Pakai Drama


Buku ini menyodorkan filosofi yang sangat membumi: cukup itu cukup. Kalau lagi bahagia, ya bahagia aja. Nggak usah sampai nyewa private jet buat story. Kalau sedih, ya sedih aja. Nggak usah pakai backsound slow-motion dan lampu remang-remang. Karena hidup kita bukan sinetron. Dan kalau marah? Ya silakan. Tapi jangan sampai lempar-lempar galon, apalagi harga galon sekarang juga ikut naik.


Prinsip just enough ini terdengar sederhana, tapi sesungguhnya adalah bentuk kedewasaan yang jarang dipraktikkan. Kita terbiasa didorong untuk reaktif, bukan reflektif. Semua emosi harus diekspresikan maksimal, padahal sering kali yang kita butuhkan cuma jeda. Diam sebentar. Lihat ke dalam. Rasakan cukup.


Dari Koleksi Benda ke Koleksi Makna


Salah satu bagian menarik dari buku ini adalah ketika membahas kebiasaan manusia yang gemar mengoleksi. Benda-benda, barang, status sosial. Kita sering berpikir makin banyak punya, makin banyak bahagia. Tapi nyatanya, makin penuh rumah, makin sumpek kepala.


Kita haus untuk diakui, tapi sering lupa dengan makna untuk diri sendiri. Dan, ketika hidup mengajarkan kita pas-pasan, sesungguhnya kita sedang dipaksa belajar memilah: mana yang benar-benar penting, dan mana yang cuma “latah sosial”.


Seperti kata penulis, “Mengapa kita sibuk menjadi seperti yang diinginkan orang lain, padahal kita bahkan belum sempat menjadi diri sendiri?”


Refleksi Sosial dalam Keseharian


Buku ini juga menarik karena menyentil pelan budaya kita yang serba pamer dan konsumtif. Di masyarakat urban, kadang gengsi bisa lebih mahal dari harga barangnya. Rela utang demi branding diri, padahal branding yang dibutuhkan adalah yang terasa nyaman di hati, bukan di timeline orang lain.


Di balik gaya penulis yang santai dan renyah, kita diajak merenung bahwa menjadi pas-pasan bukan berarti kalah. Justru kita sedang dilatih untuk tangguh. Mungkin kita tidak bisa beli barang mahal, tapi kita punya kendali atas cara kita merespons dunia. Dan, itu jauh lebih bernilai dari harga sebuah iPhone.


Salah satu kutipan menarik dari buku ini adalah resep bahagia orang Denmark: rumah yang nyaman, tradisi yang hangat, dan rasa syukur yang terus diperbarui. Meskipun kita hidup jauh dari Kopenhagen, tiga hal itu bisa diadopsi di mana saja, termasuk di kontrakan kecil dengan kipas angin yang bunyinya seperti pesawat mau lepas landas.


Karena kenyamanan bukan soal ukuran rumah, tapi siapa yang ada di dalamnya. Dan tradisi bukan hanya tentang acara besar, tapi rutinitas kecil yang kita rawat bersama: makan malam tanpa gawai, ngobrol sore sambil bikin kopi, atau saling mengingatkan untuk tidak menambah utang di tanggal tua.


Hidup pas-pasan bukan soal keterbatasan, tapi tentang belajar menerima batas. Kita tidak selalu bisa punya semuanya, tapi kita bisa belajar cukup dari apa yang ada. Buku ini tidak menawarkan solusi instan, tapi menawarkan cara pandang yang sehat.


Dan mungkin itulah yang paling kita butuhkan saat ini: cara hidup yang tidak menguras tenaga untuk membuktikan siapa kita, tapi cukup untuk membuat kita bersyukur karena masih bisa tertawa, makan, dan bermimpi, meskipun dengan cara yang sederhana.


Karena pada akhirnya, damai itu bukan datang dari memiliki lebih banyak. Tapi dari merasa cukup, walau cuma punya sedikit.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih. 

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Ipar adalah Maut: Badai Rumah Tangga Tanpa Adanya Sebuah Tanda!

Poster Film Ipar adalah Maut yang dipajang di beranda XXI. Dokpri/Pecandu Sastra-2024. Ipar adalah Maut merupakan film yang diangkat dari kisah nyata, berawal dari cerita viral yang diunggah oleh Eliza Sifaa melalui akun TikTok miliknya di tahun 2023. Kisah ini merupakan cerita dari salah satu pengikutnya di platform digital tersebut. Berkisah tentang seorang mahasiswi yang dipinang oleh Dosen muda, di mana pernikahan mereka semakin sempurna berkat hadirnya sang buah hati. Namun sayang, kebahagiaan yang menghampiri mereka hanyalah sementara, sebab hadirnya seorang wanita yang tak lain ialah adik ipar dari sang suami.

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏.