Skip to main content

Surat yang Tak Pernah Dikirim [Cerbung PTS 13B] BAB Bonus

 

Surat yang Tak Pernah Dikirim [Bab Bonus - Cerbung PTS 13B]. Foto oleh AI/Gemini.

"Terima kasih ya, sudah setia sebagai pembaca di blog aku. Selamat datang di Bab 13B, bab ini adalah bab bonus cerita "Pelukan yang Tak Selesai", sebenarnya sih, bab ini nggak aku tulis, tapi karena antara bab sebelumnya dan bab selanjutnya agak ngambang, jadilah dibuat part yang ini. Bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, silahkan baca di sini!!!"


Bab 13 B
Surat yang Tak Pernah Dikirim

Oleh: Cendekia Al Azzam 


      Malam itu turun hujan pelan, membasahi genteng rumah seperti denting pelan dari hati yang tak tahu harus berkata apa. Faiz duduk di kamarnya, cahaya lampu meja temaram menyinari kertas kosong di hadapannya. Pena di tangannya ragu-ragu, seperti pikirannya yang bingung.


"Untuk Bapak Tinara dan Ibu Suwantra yang aku sayang," ia menulis pelan, tangan gemetar.


Di surat itu, Faiz menumpahkan isi hatinya. Tentang kebingungannya. Tentang betapa hangatnya rumah itu, tetapi sekaligus menyiksa. Ia menulis bahwa ia tak pernah berniat merusak. Bahwa semuanya terjadi karena sunyi yang tak lagi bisa ditahan, karena pelarian yang berujung pada pelukan.


Ia menulis, "Aku tahu ini salah. Tapi kadang kesalahan terasa seperti satu-satunya pelarian dari luka. Aku mencintai kalian dengan cara yang berbeda-beda. Suwantra seperti ayah, dan Tinara... seperti cahaya yang menyinari reruntuhan jiwaku."


Surat itu tidak pernah dimasukkan ke dalam amplop. Tidak pernah disegel. Tidak pernah dikirim. Faiz melipatnya rapi dan menyimpannya di bawah tumpukan pakaian paling dalam. Seolah menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk dibagikan, tapi juga terlalu besar untuk dilupakan.


Sore harinya, kabar datang. Suwantra mengalami kecelakaan ringan di proyek. Terselip, terpeleset di tangga besi saat hujan deras turun.


Tinara panik, bergegas ke rumah sakit sambil menggenggam tangan Faiz yang juga cemas bukan main. Mereka duduk di ruang tunggu, saling diam. Mata Tinara merah. Faiz hanya mampu menyentuh bahunya, menenangkan tanpa kata.


Suwantra terbaring dengan perban di dahinya. Tak parah, tapi cukup membuatnya diam lama saat melihat Tinara masuk.


"Aku pikir aku akan mati," katanya, suaranya parau. "Dan aku nyesel."


Tinara mendekat, menggenggam tangannya.


"Maaf... aku udah lama nggak jadi suami yang baik. Mungkin aku terlalu sibuk, terlalu fokus sama kerja, sama diri sendiri. Aku lupa caranya pulang."


Tinara menangis pelan. Faiz berdiri di ujung pintu, menyaksikan dari kejauhan. Ada sesuatu yang berubah. Ia tahu malam itu menjadi batas. Sebuah garis tak kasat mata mulai digambar.


Setelah Suwantra pulang ke rumah, suasana berubah sedikit demi sedikit. Ia jadi lebih perhatian, mulai mengajak bicara Tinara. Bahkan menyempatkan waktu makan malam bersama anak-anak. Faiz menyadari bahwa kebersamaannya dengan keluarga itu sudah mencapai akhir musim.


Malam berikutnya, ia menatap langit-langit kamarnya. Surat itu masih di bawah tumpukan baju. Ia hampir ingin mengambil dan memberikannya. Tapi tak jadi.


Karena ia tahu, sebagian rahasia harus cukup disimpan oleh malam. Agar pagi bisa tetap berjalan tanpa luka baru.


Dan dari kejadian itu, babak baru mulai bergerak — menuju hari-hari yang tak lagi sama.


Bersambung...


Full Cerbung Pelukan yang Tak Selesai [Baca di sini!!!]

Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...