Hijrah - Alfa Arkana Eounoia

"Hijrah"

Oleh : Alfa Arkana Eounoia (DSF)


Ilustasi.Ist | Gambar oleh Google


"Sebenarnya aku tak ingin berpisah, namun cepat atau lambat tetap kita akan berjumpa dengan perpisahan yang memang terkadang membuat sakit dan terluka."


           Aku tahu ini mungkin sakit, sebab tak lama lagi bersama dengan mereka (orang yang aku sayang), aku akan pergi meninggalkan semua untuk memulai perjalanan dan kehidupan baru. Sebenarnya aku tak ingin berpisah, namun cepat atau lambat tetap kita akan berjumpa dengan perpisahan yang memang terkadang membuat sakit dan terluka. Bukan aku tidak mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan. Aku sangat bersyukur dan bahagia bersama orang-orang disekitar yang Allah hadirkan dengan penuh warna dan cerita.

          Setelah mendapat kabar baik dari abah beberapa hari lalu. Aku benar-benar berpikir dengan matang dan membulatkan tekad serta mengambil keputusan yang ril.
Sebab aku tak ingin menyesal dan salah dalam mengambil keputusan. Kemarin aku sudah bicarakan hal ini baik-baik kepada ibu dan keluarga di kampung dan mereka menyetujui hal itu selagi itu baik untuk aku dan tidak merugikan semua pihak.
          Its oke jadi malam ini aku memberanikan diri untuk memulainya. Sebab masih ragu dan merasa gugup untuk mengajak papa ngobrol bareng, aku mengajak beliau melalui pesan singkat yang intinya adalah meminta sedikit waktu beliau untuk bersamaku malam ini. Sebab ada beberapa hal yang ingin kukatakan kepada beliau.

       Aku tergugup malu duduk disamping papa diruang tamu. Sengaja beliau buatkan dua cangkir kopi hangat untuk menemani  obrolan kami agar suasana bisa tenang dan santai. Aku masih terdiam, tertunduk diam. Namun aku merasa sedikit tenang berada disamping Papa.

        “Kak. Melamun saja, monggo diminum kopi nya,” ujar Papa memulai pembicaraan sembari merangkul pundakku.

        Aku merasa sangat nyaman berada dalam rangkulan Papa, meski beliau bukanlah orang tua kandungku namun bagiku beliau sudah lebih dari itu. Kebaikan dan kasih sayang nya aku bisa rasakan semua meski tak sebesar kasih sayang kedua orang tua kandung.

Aku merasa sakit sekaligus sedih untuk memulainya, kurangkul tubuh beliau dan kupeluk erat-erat. Masih tercium keharuman yang mampu mencairkan susana, sebagaimana yang membuatku selalu merindu untuk selalu bersama. Tak terasa air mata berjatuhan tak dapat terbendung olehku.

   “Pa. Maafin kakak ya. Kakak selalu membuat Papa marah dan selalu mengecewakan Papa,” tuturku sembari memeluk erat tubuh Papa.

    “Ada masalah apa kak. Kok terbata-bata seperti itu?”

   “Ceritakan pada Papa. Ada apa?”

Kutatap wajah Papa, dengan lamat-lamat kutatap tajam matanya yang tenang dan berwibawa. Dari pandangan matanya aku rasa beliau bersedia menerima semua keluh kesahku dan tak sabar untuk mendengarkan nya. Matanya berkedip menandakan bahwa beliau ingin segera mendengarkan keluh kesah itu.

“Pa. Maafin kakak ya. Papa enggak marah lagikan dengan kakak?”

“Lha marah kenapa. Kakak kan tidak melakukan kesalahan!”

“Papa masih maukan bersahabat dengan kakak?”

“Iya nak. Memangnya ada apa.”

“Kakak takut jika nanti Papa marah dan pergi. Pa, kakak ingin pulang dulu dan mencari susana baru. Tidak apa-apakan pa?”

“Papa enggak marah. Ya selagi itu baik buat kakak dan bisa bertanggung jawab. Mengapa tidak?”

“Bukankah begitu nak!” ujar Papa sembari merangkul tubuhku kembali dan mengusap keningku.

Papa benar-benar orang yang luar biasa dalam hidupku. Meski aku bukanlah anak kandung, namun bagi papa aku sudah seperti anaknya sendiri. Kasih sayangnya sama terhadap aku dan anak-anaknya, tak pernah beliau membeda-bedakan perlakukan dan sikap. Hanya saja usia yang membedakan diantara aku dan anak-anaknya.

Hari-hari akhir kuhabiskan untuk selalu bersama Papa. Aku tahu Papa pasti sedih dan merasa sangat kelihangan sebab begitu cepat aku akan pergi meninggalkannya. Wajahnya tak seindah dan sebahagia lalu yang selalu berseri ketika bersama. Ya mungkin saja beliau lelah sebab banyak aktivitas. Jadi pagi itu kupijat kaki dan pundak beliau untuk terakhir kalinya.

Hingga pada saat yang tiba. Waktu itu menunjukkan pukul 03.30 Wib. Papa mengetok pintu kamar, memberitahu agar aku bangun dan segera siap-siap sebab kendaraan yang akan aku tumpangi sudah menuju terminal. Segera kubergegas membereskan semua. Kulihat Papa sedang sibuk dibelakang mempersiapkan hidang untukku.

“Kakak makan dulu. Papa sudah siapkan semua untuk Kakak.”


Ya Allah, ternyata benar Papa tak sedikitpun marah kepadaku. Persahabatan yang sudah terjalin hampir setahun lebih ini menyisakan banyak kenangan dan keindahan. Papa sungguh luar biasa.
Subuh itu menjadi kenangan terakhir bersama Papa. Aku tak sanggup dengan keadaan ini tak kuat menahan air mata. Kupeluk papa erat-erat untuk terakhir kali sembari mengecup kedua pipinya.

“Pa. Maaf ya untuk semua kesalah dan khilaf kakak. Papa adalah yang terbaik, jangan pernah lupa dengan kakak. Sehat selalu pa,” kata-kata itu terucap dari bibirku untuk terakhir bersama beliau yang selama ini menjadi guru, sahabat, dan orang tua bagiku.
Semoga dengan ini semua menjadi lebih baik dan gemilang total.


-------------------------------------------------------------------
*Alfa Arkanan Eounoia (DSF) merupakan mahasiswa semester tiga jurusan Ilmu Komunikasi disalah satu perguruan tinggi di Lampung.
Memiliki hobi membaca, menulis, serta jalan-jalan dan mencoba hal baru. Aktif dikegiatan sosial budaya dan kemanusiaan. Memiliki motto "Bermanfaat untuk sesama. Berbagi dan berkarya dalam ranah kehidupan dan kemanusiaan yang setara dan seadil-adilnya."

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.