Mingguan di Majelis



"Malam ini begitu indah dan istemewa. Majelis pekan ini memang berbeda, mungkin sebab kehadiran santri baru yang membuat berbeda."

     Ahad ini adalah Ahad yang paling bersejarah dalam hidupku, dapat berbagi senyum, kasih dan sayang, serta kebahagiaan dengan mereka semua. Terutama dia. Radja, seorang murid baruku. Satu bulan sudah kita dipertemukan dalam forum pendidikan di Madrasah Yayasan Deen Salam. Namun baru sekarang, lebih tepatnya pada malam ini di Mejelis Dzikir dan Ta'lim Deen Salaam, kita akrab dan bersua bersama.
   Baru kusadari bahwasanya muridku yang satu ini berasal dari kota yang sama denganku. Kota dimana aku berproses selama empat tahun lamanya, pada masa putih abu-abu. Sejak Mei 2012 lalu semua bermula, lika-liku kehidupan yang masih membingungkan dan penuh tanda tanya dalam anganku. Sedari aku tak mengerti akan hiruk pikuknya kehidupan yang sebenarnya, yang aku tahu hanyalah kebahagiaan yang didapatkan dan tak pernah mementingkan seberapa banyak pengorbanan dan usaha untuk mendapatkan kebahagiaan itu sendiri. Sampai pada pertengahan April 2017, dimana aku harus kehilangan semua yang pernah aku dapatkan, yang membawaku pada secerca cahaya kehidupan di madrasah ini.


    "Hey bengong saja," tegurku pada seorang anak yang duduk paling depan pada majelis.

   "Eh Abang. Sehat bang," jawabnya sembari mengulurkan tangan dan mencium tanganku.

   "Aku perhatikan kau bengong saja sedari tadi dik,"

   "Tidak apa-apa bang, aku hanya sedang menunggu kedatangan seseorang," jawabnya dengan polos.

   "Kalau boleh abang tahu, adik sedang menanti kedatangan siapakah?"

   "Sudahlah lupakan," ujar anak itu mengalihkan pembicaraan.

   Anak-anak memang tak pernah memanggilku bapak atau pak guru. Sebab aku yang tidak ingin dipanggil dengan panggilan itu. Aku merasa risi saja jika ada yang memanggilku dengan sebutan itu. Sebab umurku masih muda. Aku lebih suka jika di panggil kakak, mas, ataupun abang.

  "Dengan siapa abang kemari?"

  "Keluarga dik," jawabku. "Ohya namamu siapa, abang lupa," tuturku balik bertanya.

   Maklum akhir ini aku banyak aktivitas yang mengharuskan diriku sibuk. Jadi belum bisa bertatap muka sepenuhnya dengan murid baru di madrasah. Butuh waktu yang ekstra untuk mengenali satu persatu wajah mereka agar aku ingat. Belakangan ini, aku banyak disibukkan dengan berbagai kegiatan. Apalagi kemarin aku diberi mandat sebagai penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan di kotaku. Hiruk pikuk demokrasi membuat waktuku banyak tersita, ditambah persiapan masuk perguruan tinggi. Jadi harus pintar-pintar membagi waktu.

   "Aku Radja, dari Bandar Lampung," jawab anak itu yang semakin membuatku penasaran.

   "Nama lengkapmu siapa dik?" tanyaku semakin serius.

   "Radja aja. Tak ada yang lain!"

   "Ha?" timpalku dengan nada sedikit tinggi yang mungundang tatapan seluruh mata tertuju kepadaku. "Namamu panjang sekali. Aneh lagi," bisikku kepadanya.

   "Radja Aja Tak Ada Yang Lain. Jadi abang panggil apa ini?"

   "Aduh bang. Maksudnya nama lengkapku ya Radja. Hanya itu,"

   "Astaghfirullah, maafkan aku dik yang gagal fokus denganmu."

   Mati aku menahan malu. Bisa-bisanya pertanyaan macam itu terucap oleh bibirku. Kemanakah pikiran-pikiran ini tuhan.
   Aku terdiam beberapa saat, tak ada kata terucap lagi dari bibirku. Aku tersipu malu dengan Radja. Pertanyaan konyol itu membuatku tergelitik lucu. Jika aku pikirkan dan ulangi kata-kata itu, aku jadi malu sendiri dengan diri. Aku terdiam sembari memainkan kamera DSLR. Kuambil gambar empat sampai lima kali jepretan, sesekali aku lihat hasil jepretan sembari memandang Radja.
   Aku pikir Radja akan tertawa terbahak-bahak oleh pertanyaan oleh pertanyaanku tadi, ternyata ia hanya diam sembari memperhatikan ku yang sedang mengambil gambar. Mungkin sebab aku gurunya, jadi ia tidak ingin menertawakanku atau mungkin ia memang bukan tipe orang yang senang menertawakan kesalahan orang lain.

   Sembari menikmati hidangan dan tampilan yang disajikan anak-anak Madrasah Deen Salaam, aku kembali berbincang dengan Radja. Sesekali mendokumentasikannya dalam bentuk foto maupun video. Sebelumnya aku memang diminta Abah Yusuf, Kiai pimpinan Yayasan Deen Salaam untuk selalu mendokumentasikan setiap acara dan kegiatan di yayasan.

   "Radja berasal dari Kota Bandar Lampung ya?"

   "Iya bang. Benar"

   "Dari pasar tradisional masuk lagi sekitar tiga kilo bang," ujar Radja sambil memainkan jari-jari tangannya.

   "Oh di daerah situ ya," sambungku sambil mengangguk, pura-pura paham namun sebenarnya tidak. "Abang dulu tinggal di Bandar Lampung juga selama empat tahun."

  "Abang sendiri tinggal dimana?"

   "Abang aslinya orang Lampung Tengah, disini tinggal dengan Bapak Angkat. Tak jauh dari sini, sekitar sepuluh menit sampai jika naik kendaraan,"

   Suasaba semakin larut malam. Angin malam yang semakin mengundang kantukku, apalagi banyak aktivitas hari ini semakin membuatku lelah. Namun aku berusaha untuk menguatkan diri sampai di penghujung majelis ini. Bagiku majelis ini adalah ajang silaturahmi antara aku dan para wali santri serta ajang untuk mengasuh kemampuan bagi santriwan-santriwati.
   Tak terasa tiba sudah di detik-detik penghujung acara. Aku menoleh ke arah samping kananku, Radja sedang tertidur lelap diatas pundakku. Sengaja tadi aku biarkan ia tertidur sebab aku tak tega melihat ia terlalu lelah menahan kantuk.

   "Radja. Dik. Ayo bangun, acara sudah selasai," tuturku perlahan sembari membangunkan Radja.

   "Aku tertidur ya bang," jawabnya kaget.

   "Iya. Tadi sengaja abang tidak bangunkan kamu. Sebab abang tak tega melihat adik terlalu lelah menahan kantuk,"

   "Sudah. Sekarang Radja pulang ke asrama ya. Istiharat dulu, besokkan ada kegiatan dari pagi,"

   "Abang tidak menginap disini?"

   "Abang tidur dirumah dik. Bapak dan Ibu mengajak pulang,"

   "Mengapa tidak tidur bareng disini saja bang?" pintanya padaku.

   "Lain kali ya, kalau abang tidak sibuk," jawabku sembari melepas senyum kepada Radja. "Ohya, Radja kita selfie bareng dulu ya. Buat kenang-kenangan," pintaku sebelum ia berlalu.

   Usai foto bareng, Radja pamitan kepadaku untuk kembali ke asrama. Begitu juga sebaliknya denganku, aku pamitan untuk pulang kerumah pada Radja dan kawan-kawannya.
   Sebenarnya aku ingin menghabiskan malam ini di pesantren, namun besok pagi aku harus standby disini sedari pagi. Jadi aku putuskan untuk pulang kerumah saja, agar bisa membagi waktu dirumah.

   Malam ini begitu indah sekali. Berkesan dan istimewa. Majelis pekan ini juga sangat berbeda dari majelis sebelumnya. Mungkin sebab kehadiran santriwan-santriwati baru yang membuat suasana berbeda.

   Sampai jumpa kembali esok pagi, Radja dan Deen Salaam.

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.