Skip to main content

Menjaga Eksistensi Pergerakan PMII Melalui Budaya Literasi



Oleh: Disisi Saidi Fatah


Memikirkan keberlangsungan masa depan organisasi, menyampaikan unek-unek dan kegelisahan serta menggambar konsepsi melalui tulisan. Begitulah seharusnya watak dan ciri kader pergerakan. Mengamalkan salah satu trilogi PMII tentang Pikir. Salah satu indikator manusia mampu "benar-benar" berpikir adalah menulis. 

Menulis apapun merupakan wujud kemampuan kita menjadi seorang manusia, apalagi tulisan kita bermanfaat untuk khalayak luas. Inilah salah satu poin penting yang tertuang dalam halaman xi buku dengan judul Kaderisasi, Eksistensi, dan Jati Diri PMII. Buku ini merupakan gagasan sembilan kader PMII dari berbagai daerah yang dituangkan dalam bentuk karya sastra bunga rampai pada Juli 2020 lalu.  

Buku ini ditulis berawal dari kata-kata Sahabat Mahbub Djunaidi: Aku akan menulis dan terus menulis sampai aku tidak mampu menulis yang menjadi semangat tersendiri bagi para penulis. Sebab semangat dan budaya literasi khususnya menulis di dalam organisasi PMII perlu dan penting untuk digalakkan. 

Alangkah malunya kita sebagai kader PMII yang mengetahui bahwa Sahabat Mahbub Djunaidi adalah seorang penulis, sedangkan kita sebagai generasi penerusnya tidak mampu menulis. Padahal menulis itu sangat penting, bahkan untuk memunculkan sebuah peperangan bisa diawali dengan tulisan yang disebar di berbagai media. Untuk itu, perlu kiranya untuk mencontoh 'bapak' kita demi melanjutkan perjuangannya sebagai bentuk hormat kita demi melanjutkan perjuangannya sebagai bentuk hormat kita kepada beliau.  

Hadirnya buku ini tentu menjadi sangat penting untuk dibaca dan dinikmati, dengan harapan dapat membangun kesadaran para kader PMII khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya. Buku ini dirangkai dalam sembilan bab yang dijadikan tiga bagian yakni pola pikir dan gerakan, kaderisasi PMII, serta tantangan dan arah gerak. Diambil dari beberapa sumber yang kemudian diolah kembali dengan kemampuan masing-masing penulis, untuk menjadi tulisan ringan yang mudah dipahami.  

Dalam pengantarnya, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PMII Periode 2017-2021, sahabat Agus Mulyono Herlambang mengatakan, organisasi PMII hari ini sudah menjadi organisasi kemahasiswaan yang besar dan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Apabila dilihat dari jumlah anggota dan sebarannya, serta struktur organisasi, karena tidak banyak negara yang memiliki perkumpulan atau serikat mahasiswa seperti di negara kita. 

Dari segi kualitas, memang kita tidak boleh jumawa. Jika kita mengklaim bahwa PMII adalah organisasi yang paling berkualitas, tentu hal itu belum bisa, karena tidak ada alat ukur yang tepat untuk membandingkan kualitas kader antar organisasi. Namun begitu, kita menyadari masih banyak kekurangan dan hal-hal yang perlu dibenahi di organisasi ini. Dari perihal tata kelola, arah gerak, visi, strategi, dan kesinambungan organisasi dalam mengikuti sekaligus menyesuaikan perkembangan zaman. Hal ini merupakan PR bersama. PR kader-kader PMII di semua tingkatan, dari Rayon hingga Pengurus Besar.

PMII merupakan organisasi kaderisasi yang mempunyai harapan besar dalam menciptakan kader ulul albab di setiap regulasi kepemimpinannya. Dilihat dari peran atau fungsi PMII yang begitu besar, maka wajib kiranya melirik kembali dinamika yang terjadi khususnya di internal PMII, baik itu dari fokusnya kajiannya maupun pada gerakan yang dimulai dari nol hingga puncak ideal harapan PMII itu sendiri. (Hal 62) 

Pada realitanya, PMII hari ini lebih mengedepankan ruang kognitif dan psikomotorik tanpa mempunyai fokus yang lebih terhadap ruang afektif. Sehingga jika kita melirik pada bagian terkecil dari nilai-nilai PMII dalam Nilai dasar Pergerakan (NDP) seringkali kita temukan dalam setiap gerak langkah warga pergerakan seakan-akan mengalami kemerosotan mengenai ruh gerak PMII. (Hal 63) 

Berbicara tentang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tentu membicarakan hal yang sangat kompleks. Hal ini tentu bukan sebab pemahaman kita yang sempit mengenai PMII itu sendiri. Bukan pula sudut pandang kita yang terbatas. Melainkan saking luasnya dimensi tubuh dan organ yang ada di dalam organisasi mahasiswa NU ini. 

Sejak resmi berdiri pada 17 April 1960, begitu banyak hal yang dapat menjadi pembahasan; dari konstitusi, eksistensi, strategi, filosofi, kaderisasi, ruang gerak, paradigma, dan masih banyak lagi hal menarik lainnya. Belum lagi berbicara tentang permasalahan, hambatan, dan aneka ragam persoalan organisasi lainnya. Tentu saja hal ini membutuhkan waktu yang panjang untuk berdiskusi sembari menikmati kopi hitam.

Buku dengan tebal 147 halaman ini, memberi sedikit banyak sumbangan pemikiran penting dalam dinamika organisasi PMII. Namun, tentu saja masih banyak hal kekurangan di dalamnya. Penyusunan (lay out) tulisan masih terlalu padat, sehingga ketika orang yang tidak hobi membaca akan merasa jenuh. 

 Penulisan catatan kakinya juga belum tersusun rapi. Tata letak yang digunakan buku ini juga terbilang mendasar, tidak ada kesan seni yang dapat menambah semangat pembaca. Namun, terlepas dari itu semua, buku ini sangat perlu untuk dibaca oleh Kader PMII se-Indonesia sebagai sajian untuk tetap merawat akal sehat, nalar kritis, dan tradisi intelektual. 


Peresensi adalah Disisi Saidi Fatah, Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Way Kanan, Lampung 


Identitas Buku: 

Judul Buku : Kaderisasi, Eksistensi, dan Jati Diri PMII 

Penulis : Dela Prastisia, dkk 

Ukuran : 14 x 20 cm, xiv + 133 hlm 

Penerbit : Kars Publisher 

Cetakan : Pertama, Juli 2020 

ISBN : 978-602-5901-34-8


Sumber: NU Online

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.