Skip to main content

Aku 'Zero Waste' Aku Tamak?

Ilustrasi. (Foto: stock.adobe) Istimewa


         Dalam beberapa kesempatan taat kala berkumpul dengan teman maupun orang-orang baru, ada hal yang seringkali membuatku nggak nyaman, terutama ketika kita makan bersama di satu meja atau duduk bersampingan. Karena setiap makan, kebiasaan yang aku anut ialah tidak menyisakan makanan sedikitpun di piring, meski itu hanya sebutir nasi.


Yang membuat diriku nggak nyaman, ketika orang-orang memandangku dengan keanehan, seakan-akan menilai diriku rakus atau tamak. Tak jarang pula mereka saling berbisik dan sesekali menatapku dengan mimik wajah yang kurang sedap untuk dipandang. Padahal nggak ada yang salah dengan apa yang aku lakukan, tidak membuat mereka merugi atau tersakiti. Tapi, mengapa hal ini seolah menjadi aib?


Jujur, aku kurang setuju dengan pendapat orang-orang 'bijak' yang mengatakan jika kita bepergian untuk makan bersama dengan teman maupun kenalan, disarankan untuk tidak menghabiskan makanan yang tersaji dalam piring, hal itu dianggap agar kita tidak dinilai rakus atau semacamnya. Tapi, menurutku pribadi hal ini justru aneh, ya sangat aneh gitu - kita memaksa diri untuk mendapatkan 'nilai' dari seseorang dengan melakukan hal yang sudah jelas nggak ada benarnya.


Baca juga: Ketulusan Cinta An-Nass dan Sepiring Mie Instan


Menyisakan makanan sama saja membuangnya, itu sama halnya kita tidak mensyukuri akan nikmat yang telah Allah beri, tidak bersyukur atas rezeki yang Allah hadirkan. Proses menghabiskan makanan ini bagiku adalah suatu tindakan syukur terhadap hidup dan juga upaya berterima kasih kepada semua yang berperan hingga makanan itu akhirnya tersaji di depanku. 


Aku rasa upaya zero waste food atau menghabiskan makanan di piring ini harus dibudayakan, dimulai dari diri kita sendiri. Tidak usah takut dicap tamak, rakus, atau kampungan, dan lain sebagainya. Ingat, kita hidup di atas landasan yang benar. Dalam Islam, membuang-buang makanan termasuk mubazir, yaitu perbuatan memakai sesuatu dengan tidak layak dan semestinya. Membuang-buang makanan juga dilarang sebagaimana dijelaskan dalam surah Al Isra ayat 26 dan 27, di mana Allah Subhanahu Wa Ta'ala (SWT) mengungkapkan bahwa perilaku pemborosan adalah merupakan kebiasaan setan.


Tips Agar Tidak Membuang-buang Makanan Saat Ramadan


 Di bulan ramadan perilaku konsumtif kita kian meningkat, namun tidak dengan sikap dan perlakuan kita dalam memakannya. Sering kali kita kalap mata ketika berbelanja, baik itu untuk kebutuhan sahur maupun berbuka. Yang menjadi masalahnya ialah ketika yang kita beli adalah makanan yang sudah dimasak atau makanan yang tidak bisa bertahan lama.


Baca juga: "Capcay Sayur Bakso: Makanan Sehat - Kantong Hemat ala Anak Kost"


Cara efektif untuk menanggulanginya tentu harus dengan bijak dalam budaya berkonsumsi seperti; berbelanja bahan makanan dan masak secukupnya. Kurangi "war takjil" hanya karena lapar mata. Berbagi makanan ke tetangga, teman, atau orang yang membutuhkan di jalan. Dan, jika makanan tersebut terlanjur basi, mau tidak mau harus dibuang, maka cara pamungkasnya adalah dengan mengompos sisa makanan. Nah, untuk tata cara membuat kompos yang baik, sahabat pembaca dapat menelusuri artikel-artikel terkait di Kompasiana. 


Bisa juga dengan membuat biopori atau lubang resapan biopori, yaitu lubang silindris vertikal pada tanah yang diisi sampah organik untuk meningkatkan daya resap air dan menghasilkan kompos alami, sekaligus mengatasi genangan air dan banjir. Aku dulu sering membuat biopori saat tinggal bersama orang tua asuh di tanah rantau. Caranya yang sederhana, dengan menimbun sampah organik seperti; sisa makanan, daun kering, ranting kecil, dan sisa tanaman ke dalam lubang yang telah dibuat. Hal ini dapat menghidupi fauna tanah, seperti cacing, yang menciptakan pori-pori di dalam tanah. Dan, tentunya akan menjadi kompos alami seiring berjalannya waktu.


Baca juga: Sahur Perdana di Pesantren Tanpa Air Putih


Note: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, dalam event Ramadan Bercerita 2025. Klik di sini untuk membacanya!

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.