Skip to main content

Beratnya Menjalani 'Life After Lebaran'

Suasana sepi di Jalan Lintas Sumatera, Lampung. (Foto Antara)


Setelah lebaran usai dan saatnya kembali ke rutinitas awal, kok jadi berat ya? Adakah yang merasakan hal sama? 


         Momen hari raya idul fitri adalah puncaknya rindu dari segala rindu terobati. Perjalanan mudik ke kampung halaman dan kumpul bersama keluarga adalah momen terindah yang tak terlupakan dan menjadi kenangan terindah yang terukir dalam memori.


Liburan dan cuti bersama sepanjang idul fitri nggak begitu terasa ya, tiba-tiba harus berpisah lagi dengan keluarga dan orang-orang tersayang.  Seperti baru kemarin orang-orang 'war' tiket transportasi untuk mudik, duduk bersama keluarga menikmati kudapan saat berbuka puasa dan sahur bareng, hingga gema takbir hari raya berkumandang dari surau-surau sekitar rumah.


Setelah kumpul-kumpul dan melepas rindu, kok berat ya menjalani kehidupan setelahnya! Adakah yang merasakan hal yang sama? Atau hanya aku saja! 


Baca juga: Sahur Perdana di Pesantren Tanpa Air Putih


Sudah dua tahun terakhir ini, Alhamdulillah bisa menikmati momen hari raya bersama keluarga. Tapi, pada edisi kali ini hati kembali merasa sedih, seolah kehilangan sesuatu. Suasana ramadan yang begitu terasa kepergiannya dan momen-momen kumpul bareng keluarga. Padahal, aku nggak ikut merantau, tapi kesedihan di hati tidak bisa ditepis ketika melihat anggota keluarga satu persatu meninggalkan rumah, belum lagi melihat kawan-kawan yang kembali ke perantauan. 


Nggak kebayang gimana suasana hati teman-teman di tanah rantau. Dari yang nggak biasa dan akhirnya terbiasa karena liburan; terbiasa melihat kumpul keluarga, eh tiba-tiba harus balik ke kost dan sendirian. Sudah terbiasa melihat makanan di meja, sekarang makan mie instan lagi karena nggak keburu masak. Terbiasa melihat indahnya pemandangan di kampung halaman, kini hanya memandangi macetnya jalan dan ruwetnya aktivitas. Sudah terbiasa dibangunkan oleh ibu, eh sekarang dibangunkan sama alarm handphone. Terbiasa nyantai saat di rumah, sekarang harus terburu-buru mengejar waktu biar nggak telat saat kerja. 



Aku pun demikian, merasakan hal yang sama. Suasana yang tadinya ramai kini menjadi sunyi, sepi, dan kadang membuat badmood. Bahkan saat ke masjid air mata tiba-tiba jatuh saat mendengar kumandang azan. Masjid yang biasanya ramai dipenuhi orang-orang setiap shaffnya, kini hanya tersisa beberapa jamaah saja. Gema tadarusan anak-anak muda kini tidak lagi terdengar oleh telinga. Kurma yang biasa menjadi makanan favorit saat ramadan kini rasanya seakan biasa saja, meski manisnya tetap terasa tapi suasana di hati sangat berbeda. Kue lebaran buatan mama dan keluarga juga masih tersisa lumayan di lemari, biasanya ludes karena rebutan. 


Baca juga: Apa Iya, Dalam Bercanda Kita Harus 'Merdeka' 


Benar-benar beda ya kehidupan di saat ramadan dengan sesudahnya. Ketika ramadan aktivitas tertata, dari pagi hingga pagi lagi sebisa mungkin dibuat produktif. Sekarang, hanya bisa berharap dan berusaha agar produktifitas tersebut tidak kendur dan terputus. Meski tidak seproduktif ramadan, setidaknya masih tetap dijalankan.


Untuk sahabatku di tanah rantau, meski aku nggak ikut merantau, aku pernah merasakan hal sama sebagaimana yang kini kalian rasakan. Doaku yang terbaik untuk kalian, semangat ya, memang berat menjalani kehidupan setelah lebaran. Dari yang ramai-ramai menjadi sendiri dan berkawan dengan sepi. Tapi tenang, seiring berjalannya waktu nanti akan kembali terbiasa. 


Saran dariku, jangan banyak menyendiri di kostan. Kalau lagi gundah, cobalah keluar main ke tetangga atau ke tempat ramai. Dan, yang terpenting, jangan biarkan hati kosong, apalagi jauh dari mengingat-Nya (Allah Subhanahu Wa Ta'Ala). Karena dengan mengingat-Nya lah hati akan tenang.


Baca juga: Perkedel Tempe Menu Sehat Kaya Akan Protein 

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...