Skip to main content

Dari Bilik Dapur Minimalis Untuk Hari Raya yang Manis

Kue bangkit, salah satu hidangan hari raya (Sumber: Dokpri/Cendekian Alazzam)


       Dalam hitungan hari, puncak ramadan akan segera tiba. Hari raya idul fitri 1446 hijriah yang dinantikan semua umat muslim di penjuru dunia akan hadir di tengah-tengah kita. 


Hari-hari akhir ramadan menjadi hari paling sibuk, terutama bagi kaum perempuan. Dengan terampil dan lihai mereka bersuka cita melepas penat - mengukir cerita lewat dapur minimalis untuk sajian lebaran yang manis. 


Kendati demikian, kaum laki-laki bukan berarti hanya diam, duduk manis tanpa bantuan, mereka pun sama sibuknya mempersiapkan hari raya yang istimewa guna menyambut sanak saudara.


Dari bilik dapur rumah, sejak seminggu menjelang lebaran aktivitas di dapur makin ramai, bising yang biasanya muncul ketika menjelang waktu salat asar hingga maghrib dan di saat waktu sahur sampai subuh berlabuh, kini sejak pagi hingga menjelang sore ia akan terus menghantarkan keriuhan - memahat cerita yang kelak akan menjadi kenangan.


Baca juga: Berawal Dari Cerita di Buku, Qatar Membuatku Sulit Untuk Berpaling


Di dapur minimalis dengan ukuran tiga kali tujuh meter itu, beragam makanan tengah dipersiapkan untuk menyambut para tetamu yang akan datang pada hari raya. Ada keripik pisang, akar kelapa, kue mentega, kacang bawang, hingga kue bangkit atau babon kelapa.


Dari berbagai macam sajian lebaran itu, aku tertarik dengan kue bangkit. Ia unik dan menjadi salah satu hidangan lebaran yang tidak pernah absen setiap tahunnya dibuat oleh Mama. Itulah alasan mengapa aku melontarkan pertanyaan; "mengapa harus kue itu, apa tidak ada resep lain atau Mama hanya bisa membuat hidangan itu saja?" Tapi, faktanya banyak kue-kue lain yang berhasil Mama sajikan.


Bagi Mama, di antara banyak ragam kue yang dibuat melalui sentuhan tangan ajaibnya, hanya kue bangkit atau sejenisnya yang ia inginkan. Sebab, di usia yang tidak lagi muda, dengan kondisi gigi yang hampir punah semuanya, hanya kue-kue semacam itu yang dapat ia cicipi. Sisanya hanyalah panjangan dan dibuat khusus untuk menjamu para tamu.


Baca juga: Dalam Hangat Sentuhan Ajaib Mama dan Doa Mustajabnya 


Kue yang memiliki tekstur rapuh dan lumer di mulut ini terbuat dari tepung kanji, tepung sagu, kuning telur, kelapa, daun pandan, dan gula. Wangi khasnya yang menggugah selera membawa kenangan tersendiri saat menyantapnya. Mungkin karena ada banyak pengorbanan yang diberikan si pembuatnya, dari letihnya badan yang tengah berpuasa - harus bertempur kembali di dapur untuk menyiapkan sajian lebaran, hingga waktu yang seharusnya menjadi jatah untuk istirahat justru dihabiskan untuk membuat kue.


Yang paling mahal adalah perjuangan kita dalam mendapatkan bahan-bahan untuk membuat sajian ini. Dari rebutan dengan warga lain karena stoknya di warung yang sedikit, ditambah harganya juga lumayan mengalami kenaikan. 


Belum lagi kenangan-kenangan yang terukir bersama kue satu ini. Sepanjang hari raya berlangsung hingga beberapa hari setelahnya, kue bangkit inilah yang paling favorit. Paling enak disantap dan paling diterima sama perut, sisanya lewat. Semahal apapun kue yang lain, tetap kue bangkit inilah yang menjadi andalah. Sebagai teman ngopi di pagi hari, maupun hidangan untuk menemani ngobrol keluarga. Hanya dia yang tidak membuat bosan.


Baca juga: Sepuluh Penyebab Husnul Khatimah  


Kue bangkit bagi Mama adalah kebutuhan yang harus, sebab sebanyak apapun kue lain yang dihidangkan mereka hanya akan menjadi pajangan. Hanya kue bangkit dan sejenisnya lah yang dapat dikunyah oleh mulutnya yang sudah tidak lagi bergigi. 


Bagi Mama, jika tidak ada kue sejenis ini maka kue lainnya pun tidak akan tersentuh bahkan oleh para tamu. Karena sejatinya tamu enggan makan apabila kita sebagai tuan rumah tidak memulainya. Bagaimana mau memulai, jika hidangan yang disajikan tidak ada yang bisa dikunyah. 


NB: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana dalam event Ramadan Bercerita 2025, dengan judul sama. 

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...