![]() |
Suasana khusyuk saat ibadah shalat. (Foto mualliminenamtahun/istimewa). |
"Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laailaaha illaallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil hamdu."
Gema takbir hari raya Idul Fitri 1446 hijriah saling bersahutan dari masjid hingga surau-surau kampung. Ahad, 31 Maret 2025 menjadi awal bulan Syawal, resmi sudah bulan suci ramadan 'pulang' meninggalkan rumah orang-orang muslim setelah sebulan lamanya bertamu.
Ada rasa bahagia menyambut hari yang fitri, di sisi lain ada sedih bersemayam dalam lubuk hati terdalam. Ada tangis menyembunyikan tampaknya, berpura-pura jika semua baik-baik saja.
Pagi ini, alarm ponsel nasih berdering sama sebagaimana malam-malam ramadan, tepat pukul setengah tiga dini hari atau jam dua lewat tiga puluh menit. Setelah duduk sejenak melepas kantuk sembari mengumpulkan nyawa, aku segera bergegas dengan sigap menuju dapur usai aroma gosong tercium pekat oleh hidung. Rupanya kue terakhir yang dipanggang oleh saudariku telah gosong, saking terlalu lama ditinggal ketiduran.
Menjelang subuh itu aku bersyukur sebab telah dibangunkan dengan keadaan sehat dan segar. Untungnya semua baik-baik saja, meski bau gosong telah memenuhi dapur minimalis rumah kami, semua tetap aman terkendali. Berkat alarm ponsel aku bisa bangun lebih awal sebagaimana malam-malam ramadan untuk santap sahur, masih bisa merayu-Nya di sepertiga malam terkahir melalui doa-doa di malam yang fitri. Dan, tentunya menikmati mandi subuh yang memberi banyak manfaat bagi diri.
Baca juga: Dari Bilik Dapur Minimalis, Untuk Hari Raya yang Manis
Udara segar pagi kemarin terasa sejuk untuk dihirup, decak semangat menyertai diri untuk segera bergegas menuju masjid. Bersamaan dengan waktu ketika seberkas sinar mentari mulai meninggi dengan ketinggian seukuran tombak, kami melepas langkah menuju Masjid Darul Amal, Blok Banten di Kelurahan Seputih Jaya, Kecamatan Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah.
Dengan semangat yang masih menyala penuh energi positif usai diisi dengan tetesan cahaya keimanan pada ramadan sebulan lamanya. Aku melangkah dengan percaya diri memasuki ruang masjid yang tak begitu besar, namun cukup menampung hingga ratusan jamaah. Dua rakaat dilaksanakan sebagai penghormatan kepadanya yang menjadi rumah ibadah umat muslim, lalu turut bersama menyenandungkan gema takbir dengan jamaah lainnya. Masha Allah, indahnya kalimah itu, sederhana dan bermakna, menggetarkan jiwa.
Pagi ini masjid ramai disesaki masyarakat yang berbondong-bondong guna melaksanakan shalat idul fitri. Laki, perempuan, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Baik yang berpuasa dan menjalankan ibadah dengan sungguh-sungguh ataupun hanya sekadar menjalani 'bulan puasa' wallahu alam. Semua bahagia, semua menikmati hari kemenangan bersama.
Usai Muroqi (Bilal) yang dipimpin oleh Pak Muarif, Ketua RT setempat - menyeru agar jamaah siap-siap untuk mendirikan shalat dengan mengumandangkan kalimat tarqiyyah; "As-shalaah... As-shalaah... As-shalaata(u) sunnatan li 'iidil fithri jaami'ah rahimakumullāh." Semua berdiri dengan tertib dan rapi, menata hati menghadap ilahi rabbi.
Diimami ustadz kampung, dua rakaat pada pagi di hari raya idul fitri menghadirkan keteduhan. Lantunan ayat suci Al Quran menggetarkan jiwa, mengetuk hati-hati yang merindukan kemenangan. Air mata menjadi saksi kerinduan yang tak lagi mampu tertahankan.
Baca juga: Berawal Dari Cerita di Buku, Qatar Membuatku Sulit Berpaling
Ramadan benar-benar telah berpulang, tida akan lagi terdengar riuh suara anak-anak menyesaki masjid pada malam-malamnya, pun demikian surau-surau maupun masjid akan kembali sepi dari lantunan ayat suci Al Quran setelahnya (tadarusan). Nuansa ketika bangun di penghujung malam tidak akan lagi terasa sebagaimana dilakukan ketika menjelang waktu sahur bersama. "Ya Allah, pertemukan kami dengan ramadan-Mu, sampaikan usia kami dengan ramadan-ramadan yang akan datang bersama orang tua, keluarga, dan guru-guru kami tercinta."
Usai shalat idul fitri secara bersama, Khatib menaiki mimbar - menyampaikan pesan semangat kepada jamaah dengan membawa pesan semangat dan cinta di hari raya. Ada poin penting yang aku soroti (highlight) dari khotbah singkat sebagaimana disampaikan Ustadz Suwari pagi kemarin; puasa ramadan yang baru saja selesai dilaksanakan, diharapkan mampu mengembalikan manusia pada jati diri yang asli, fitrah, sebagaimana anak yang baru lahir dari kandungan ibunya, yang bersih dari noda dan dosa.
Kemenangan, kesucian, dan keberkahan yang diperoleh kaum muslimin, tidak lain karena kesuksesannya menjalankan ibadah puasa ramadan satu bulan penuh lamanya. Maka, beruntunglah mereka yang berhasil memanfaatkan bulan ramadan secara maksimal, baik dalam menjalankan ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Proses penyucian jiwa manusia, tidak hanya melalui ibadah puasa sebagaimana menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melalui harta berupa kewajiban mengeluarkan zakat. Zakat fitrah bertujuan untuk membersihkan jiwa dari sifat tamak, rakus, dan cinta harta yang berlebihan. Sifat-sifat ini akan membawa kepada kebinasaan, kerusakan dan kehancuran baik pada individu maupun sosial. Implikasi lain dari zakat fitrah ialah terajutnya tali silaturrahmi dan terbangunnya sikap saling peduli antar sesama, terutama dengan kaum dhuafa, fakir miskin dan anak yatim.
Upaya penyucian jiwa pasca ramadan, mesti dilakukan secara terus menerus, baik melalui ibadah ritual maupun ibadah sosial. Oleh karenanya hari yang fitri ini harus dijadikan momentum guna memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'Ala (SWT).
Baca juga: Dalam Hangat Sentuhan Ajaib Mama dan Doa Mustajabnya
"Hari raya idul fitri adalah hari di mana manusia seakan terlahir kembali, diberkati oleh Allah berupa jiwa yang suci, terbebas dari noda, dan dosa. Maka, janganlah kita keluar dari fitrah sebagaimana yang sudah kita dapatkan pada bulan ramadan," demikian tegas Ustadz Suwari di hadapan jamaah Masjid Darul Amal.
Dalam akhir khotbahnya, beliau mengingatkan kepada semua agar ibadah shalat harus selalu dijaga, sebagaimana di bulan suci ramadan. Baik yang wajib maupun sunahnya. Pun, demikian lidah, bibir, mulut, dan hati harus selalu senantiasa mengingat Allah (memuja-memujinya) dengan penuh cinta, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring. Sama halnya tadarus Al Qur'an harus terus berjalan, agar kita selalu mendapatkan petunjuk dan keselamatan baik di dunia maupun akhirat. Begitu pula dengan ibadah-ibadah lainnya harus selalu dipupuk agar diri tidak kembali menjadi pribadi yang jauh dari rahmat-Nya.
Rangkaian ibadah pagi itu ditutup dengan tafakur diri, lalu doa bersama dan diakhiri dengan saling bermaaf-maafan (berjabat tangan) diiringi lantunan sholawat kepada Baginda Nabi. Bersamaan lantunan sholawat yang menyejukkan hati, tangis jamaah pecah, air mata kesedihan, kerinduan, dan kebahagian bersatu padu dalam kehangatan hari raya.
NB: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana dengan judul sama.
Comments
Post a Comment