![]() |
Kenangan bersama Papa di salah satu kegiatan bersama. Papa mengenakan batik dan memaki peci hitam. (Dokpri) |
Ada sosok yang tak pernah benar-benar pergi, meski waktu telah menutup lembar hidupnya di dunia. Sosok yang jejaknya masih hangat dalam ingatan, nasihatnya masih hidup dalam tindakan, dan senyumnya masih terbayang dalam diam. Bagi diriku, sosok itu adalah Papa.
Papa bukan ayah kandungku, tapi ia adalah ayah dalam segala arti. Ia adalah sahabat, guru, sekaligus sosok panutan dalam hidupku. Kami dipertemukan dalam satu ikatan yang bukan karena darah, tapi karena takdir kebaikan. Aku tumbuh di bawah bimbingannya, terlibat dalam banyak kegiatan sosial dan keagamaan yang beliau pimpin. Dari bakti sosial di desa-desa, hingga kegiatan spiritual, dari penggalangan dana bencana, hingga pelatihan kepemudaan yang penuh semangat - Papa tak pernah lelah mengajak kami menjadi bagian dari perubahan.
Yang kuingat, Papa tidak banyak bicara. Tapi setiap tindakannya adalah nasihat. Ia mendidik kami bukan dengan ceramah, tapi dengan keteladanan. Ketika beliau berdiri memimpin rapat organisasi, ketika ia terjun ke lapangan dalam bhakti sosial, atau saat dengan tenang menenangkan hati anak muda yang sedang goyah - di sanalah kami belajar tentang makna hidup.
Namun, di tahun 2020, semua berubah. Di tengah kesibukan, aku mulai jarang bertemu Papa. Komunikasi mulai renggang. Aku pikir itu biasa. Aku pikir masih banyak waktu. Hingga suatu pagi yang kelabu, kabar itu datang: Papa telah wafat.
Dunia seakan berhenti. Jantungku berdetak pelan, otakku menolak percaya. Bagaimana bisa? Baru kemarin rasanya aku melihat kebersamaan beliau dengan anak-anak melalui update media sosial miliknya, dan menikmati karya-karya puisi indah darinya. Kini beliau telah pergi, tanpa aku sempat mengucap terima kasi, tanpa sempat memeluknya untuk terakhir kali.
Baca juga: Pertemuan Dua Dunia
Tiga malam berturut-turut setelah kepergiannya, aku bermimpi tentang Papa. Beliau hadir dalam diam, menatapku dalam-dalam, dan di malam ketiga, beliau hanya tersenyum sebelum menghilang. Aku terbangun dengan dada sesak, penuh gelisah, kehilangan yang terasa mengoyak. Aku merindukannya dengan cara yang tak bisa kujelaskan. Dan untuk waktu yang lama, aku tak bisa berdamai dengan kenyataan bahwa kami sempat berjauh sebelum beliau pergi.
Waktu berlalu. Aku terus mendoakannya. Setiap selesai sholat, namanya selalu kusebut. Fatihah dan doa kupanjatkan untuknya, bersama guru-guruku, orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini lebih dulu. Tapi, seperti manusia pada umumnya, aku pun mulai lalai. Kesibukan, rutinitas, dan urusan duniawi membuat doa-doa itu perlahan terlewat. Tanpa kusadari, sudah sekian lama aku tak lagi mengirimkan hadiah doa khusus untuk Papa. Hingga seminggu lalu, beliau datang lagi—dalam mimpi.
Kali ini berbeda. Papa datang tidak sekadar berdiri jauh. Beliau mendekat, menatapku, dan tanpa berkata apa-apa, beliau memelukku erat. Pelukan yang lama, penuh rindu, seperti melepas segala sesak yang lama tak terucap. Di dalam mimpi itu, aku menangis - bukan karena sedih, tapi karena bahagia akhirnya bisa bertemu, meski hanya dalam tidur. Rasanya sangat nyata. Terlalu nyata.
Saat aku terbangun, aku masih bisa merasakan pelukannya. Dan dadaku kosong, tapi hangat. Seperti baru saja mengantar seseorang kembali ke rumah.
Baca juga: 'Rindu yang Mengarah ke Ka'bah: Sebuah Impian Menuju Tanah Suci'
Sejak malam itu, aku tersadar. Mungkin Papa rindu dengan doa-doaku. Mungkin beliau hanya ingin mengingatkanku bahwa cinta itu butuh dipelihara, bahkan setelah kepergian. Atau mungkin... itu adalah bentuk kasih dari jiwa yang tak pernah benar-benar pergi - datang hanya untuk berkata, “Nak, jangan lupakan.”
Sejak malam itu, aku kembali mendoakan beliau setiap selesai sholat. Aku sebut namanya dengan penuh rasa. Aku kirimkan fatihah, seperti dulu. Bahkan kini, aku menghadiahkan doa juga untuk semua yang pernah menyentuh hidupku, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada.
Karena kini aku sadar, doa adalah jembatan paling lembut antara dunia dan akhirat. Dan perjumpaan dalam mimpi bukan hanya bunga tidur. Ia adalah pesan, pengingat, dan mungkin juga tanda cinta dari langit yang tak ingin kita melupakan.
"Doa adalah jembatan paling lembut antara dunia dan akhirat. Dan perjumpaan dalam mimpi bukan hanya bunga tidur. Ia adalah pesan, pengingat, dan mungkin juga tanda cinta dari langit yang tak ingin kita melupakan."
Terima kasih, Papa. Untuk pelukan itu. Untuk datang kembali. Aku akan terus menyebut namamu, seperti dulu engkau menyebut namaku dalam doa-doamu. Sampai kita benar-benar bertemu… bukan dalam mimpi.
Baca juga: 'Kejutan di Hari Spesial Abah: Suara yang Dirindukan'
Comments
Post a Comment