Skip to main content

Rindu yang Mengarah ke Ka'bah: Sebuah Impian Menuju Tanah Suci

Indahnya ka'bah yang dipenuhi oleh umat Islam yang merindu kepada-Nya. (Sumber: Baznas)


       Semua bermula dari sebuah siaran langsung di tv - pemandangan jutaan umat Islam mengenakan ihram sedang memutari Ka'bah dengan lantunan talbiyah, dan menitikkan air mata dalam lautan doa yang tak bertepi. Saat itu, aku masih remaja. Tidak sepenuhnya mengerti makna haji, tapi ada sesuatu yang mengetuk di relung hati. Sebuah rasa yang tumbuh perlahan: ingin, rindu, dan harap.


Rasa itu kian mengakar ketika aku membaca sebuah buku yang menceritakan kisah-kisah inspiratif para jemaah haji - Romantisme Berhaji dan Romantisme Tanah Suci buah karya Bang Riza Perdana Kusuma. Ada yang menabung puluhan tahun, ada yang berjualan kecil-kecilan, hingga yang mengalami keajaiban tak terduga dalam perjalanannya menuju tanah suci. Kisah mereka bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan batin yang menyentuh, menggugah, dan membangkitkan harapan.


Beberapa tahun lalu, kenangan tak terduga kembali menyulut nyala rindu. Pagi itu aku baru saja pulang dari mengantar adik bekerja. Di tengah perjalanan, tiba-tiba diberhentikan oleh polisi. Jalanan macet. Kukira ada kecelakaan, ternyata puluhan bus beriringan hendak memasuki bandara. Di badan bus tertera spanduk “Rombongan Haji Lampung, Kloter ...” Entah mengapa, mataku langsung basah. Melihat para calon haji di dalamnya, rasa haru menyeruak - seakan aku ikut dalam keberangkatan mereka. Hatiku bergumam, “Ya Allah, semoga suatu saat aku dan keluargaku juga Kau mampukan menuju tanah suci-Mu.”


Sejak itu, doa untuk berhaji dan ke tanah suci tak pernah luput dalam setiap sujud.


Tahun lalu, Allah kembali mengirimkan isyarat haru. Orang tua asuhku saat menempuh pendidikan di bangku SMA - Papi dan Biatu, kembali berangkat haji setelah sebelumnya pada tahun 2005. Saat silaturahmi momen Idul Fitri lalu, aku sampaikan doa agar keduanya diberikan kemudahan dan kesehatan selama menjalani ritual ibadah haji, dan tentunya menitip beberapa doa sederhana - salah satunya agar aku dan keluarga bisa turut serta menginjakkan kaki ke tanah suci.


Baca juga: "Kejutan di Hari Spesial Abah: Suara yang Dirindukan"


Ketika kedua berangkat ke tanah suci, komunikasi kami aku jaga. Saban hari aku kirim pesan singkat berisi doa-doa dan harapan untuk keduanya, dengan harapan agar mereka tidak lupa dengan diriku. Sehingga, ketika mereka berdoa, namaku turut serta disebut di dalamnya. 


Dan kejutan terindah datang di suatu pagi, kala itu Papi menghubungiku lewat video call dari depan Ka'bah. "Silakan, nak, berdoa langsung," katanya. Aku tak bisa menahan air mata. Di hadapan Ka'bah - meski hanya lewat layar - aku melantunkan doa. Sebuah momen yang tidak akan pernah kulupa. Dalam haru, aku berdoa agar Allah memampukan, memanggil, dan memberi kesempatan untuk menjejak tanah haram-Nya suatu hari nanti.


Haji bukan sekadar perjalanan spiritual. Ia adalah bentuk kesempurnaan ibadah yang dirindukan oleh hati yang berserah dan mencinta. Jika keinginan itu sudah hadir dalam hati, maka yakinlah, Allah telah menanamkan benih panggilan-Nya.


Baca juga: Anak Kecil Bernama Kevin dan Pelajaran Tentang Keikhlasan
 

Tak semua panggilan itu datang dengan cara yang sama. Ada yang harus menunggu lama, ada yang diberi jalan tak terduga. Tapi satu yang pasti: Allah tak akan menyia-nyiakan rindu hamba-Nya.


“Tanah suci tidak hanya didatangi oleh mereka yang mampu, tapi oleh mereka yang Allah pilih.”


“Jika hari ini kita hanya bisa melihat Ka'bah lewat layar, yakinlah suatu hari nanti kita akan memandangnya langsung dengan mata basah karena syukur."

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.