![]() |
Ilustrasi dibuat oleh AI |
Halo sahabat pembaca, selamat datang di blog Pecandu Sastra. Terima kasih telah berkunjung ya. Berikut adalah part pertama dari Cerita "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi" karya Cendekia Alazzam.
Seperti yang tadi aku bilang, bahwa cerita ini dibagi menjadi 10 bab. Dan masing-masing bab akan dipublikasikan seminggu sekali. Nah, buat yang penasaran apa itu"Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi", kalian bisa membacanya di link >>>berikut<<<.
BAB 1 [Pertemuan Dua Dunia]
By: Cendekia Alazzam ©2025
Cinta kadang datang dari arah yang tak terduga, melalui jalan sunyi yang tak disangka. Seperti angin yang bertiup pelan tapi pasti, membawa dua hati dari dua pulau yang berbeda untuk saling mengenal, menyatu dalam pernikahan, dan membangun keluarga. Itulah yang dialami oleh Arfi dan Santi.
Arfi adalah lelaki berusia 27 tahun saat pertama kali mengenal Santi. Ia seorang aktivis muda yang penuh semangat, mencintai dunia sosial, pendidikan, dan lingkungan. Wajahnya bersih dengan kumis tipis dan janggut yang mempertegas ketampanan alaminya. Senyumannya manis dan menenangkan. Tubuhnya tidak tinggi, hanya 168 cm, tapi tegap dan berisi, menunjukkan bahwa ia bukan sembarang lelaki. Ia juga seorang jurnalis lepas di beberapa majalah berita. Hidupnya padat dengan aktivitas sosial, namun hatinya selalu merasa ada yang kurang. Ia belum menemukan sosok yang bisa dijadikan tempat berbagi kehidupan.
Sementara Santi, seorang guru muda dari pulau seberang. Usianya setahun lebih tua dari Arfi. Tubuhnya cukup tinggi, 170 cm, berkulit sawo matang, dan memiliki kecantikan alami yang sederhana. Ia bukan tipe perempuan yang gemar berdandan, tapi bila ia melakukannya, kecantikannya memancar lembut seperti bidadari yang turun dari langit. Ia pun hidup dalam kesibukan mengajar anak-anak Sekolah Dasar Negeri di daerahnya.
Mereka pertama kali berkenalan lewat dunia maya. Awalnya hanya saling menyapa lewat komentar di melalui konten-konten pada jejaring sosial facebook. Lalu lanjut ke pesan pribadi, bertukar cerita ringan, hingga akhirnya menyapa setiap pagi dan menutup malam bersama. Tidak ada niat untuk jatuh cinta di awal, hanya dua insan yang saling menghargai obrolan dan pandangan masing-masing.
Baca juga: Ketika Sang Imam Keluarga Pergi
Namun, seperti hujan yang perlahan membasahi tanah kering, begitu pula cinta tumbuh di antara mereka. Arfi menyukai cara Santi mendengarkan. Tidak banyak perempuan yang mau mendengarkan cerita tentang kegiatan sosial, tentang seminar kecil di kampung-kampung, atau tentang konflik batin seorang aktivis. Santi pun terpikat oleh cara Arfi berbicara - penuh empati, tapi juga bijak. Ia bukan hanya pemikir, tapi juga pelaksana. Bukan hanya berwacana, tapi juga bekerja nyata.
Tiga bulan setelah kenal, Arfi memutuskan untuk terbang ke pulau tempat Santi tinggal. Ia membawa satu tas ransel dan sejuta rasa deg-degan. “Kalau tidak cocok, setidaknya aku sudah mencoba,” gumam Arfi dalam hati.
Santi menjemputnya di bandara dengan senyum malu-malu. Mereka saling menatap tanpa banyak bicara, namun ada getaran hangat yang terasa. Pertemuan itu bukan tentang dua orang asing, tapi seolah reuni dua jiwa yang telah lama mencari satu sama lain.
Selama tiga hari Arfi tinggal di kota kecil itu, mereka menghabiskan waktu mengunjungi pantai, berbicara panjang tentang cita-cita, dan bertukar mimpi. Tidak ada janji manis, tapi ada niat yang jujur. Saat Arfi hendak pulang, ia berkata lirih, “Kalau kamu yakin, mari kita lanjutkan.”
Baca juga: Anak Kecil Bernama Kevin dan Pelajaran Tentang Keikhlasan
Santi tidak langsung menjawab. Tapi sorot matanya sudah mengatakan segalanya. Mereka melanjutkan hubungan itu dengan lebih serius. LDR bukan hal mudah, namun cinta yang tulus menjembatani jarak. Satu tahun kemudian, mereka menikah. Sebuah pesta kecil diadakan di kampung halaman Santi. Tidak mewah, tapi penuh doa dan restu dari orang-orang yang mencintai mereka.
Setelah menikah, Arfi memutuskan untuk pindah dan menetap di kota tempat Santi berdinas. Mereka menyewa rumah sederhana di pinggir kota. Kehidupan mereka jauh dari kata mewah, tapi mereka saling memiliki. Arfi tetap dengan kegiatan sosialnya, dan Santi mengajar di sekolah negeri di dekat rumah. Satu per satu anak lahir: Laura, Hafidz, dan Rayyan - masing-masing hanya berselisih satu tahun.
Di balik kesibukan mereka, cinta itu tetap tumbuh. Setiap pagi, Arfi mengantar Santi ke sekolah, lalu melanjutkan dengan kerja-kerja sosialnya. Santi menyiapkan sarapan sambil menyuapi anak-anak. Malam hari, mereka duduk berdua setelah anak-anak tidur, saling berbagi cerita tentang hari yang telah berlalu.
Baca juga: "Kejutan di Hari Spesial Abah: Suara yang Dirindukan"
Arfi selalu berkata, “Kita ini mungkin bukan pasangan sempurna, tapi cinta kita nyata. Itu sudah cukup.”
Dan Santi akan menjawab dengan senyum, “Iya, cukup. Dan aku bersyukur.”
Begitulah kisah cinta mereka bermula. Dari dua dunia yang berbeda, mereka menyatu, menciptakan rumah, dan memulai kisah panjang yang penuh makna. Sebuah awal yang kelak membawa mereka bertemu dengan seseorang lain - seorang gadis remaja yang akan mengubah warna kehidupan mereka.
Bersambung...
Comments
Post a Comment