![]() |
| Ilustrasi oleh AI |
"Sesuai perkataanku pagi tadi, karena Kamis malam lalu nggak update. Maka, pekan ini akan update dua kali. Bagi kalian yang belum membaca bab sebelumnya (Bab 6), silakan >>> baca di sini <<< ya!"
Hari kelima setelah kepergian Arfi. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Langit kota dipenuhi awan kelabu, seolah alam pun ikut merasakan kehilangan. Disa belum sepenuhnya mampu menerima kenyataan. Ia tetap datang ke makam Arfi setiap hari. Duduk berjam-jam di sisi pusara, membaca Al-Fatihah, membisikkan kerinduan, dan menyesali waktu yang telah lewat.
Malam itu, tubuh Disa kelelahan. Sejak pulang dari makam, ia tak banyak bicara. Di kamar lamanya yang tak pernah disentuh sejak ia pergi merantau, Disa rebah dengan mata yang bengkak. Pelan-pelan kantuk mulai membawanya tenggelam.
Dan dalam tidur itulah, keajaiban datang.
Disa berdiri di sebuah padang rumput yang luas. Udara terasa hangat. Matahari menyinari lembut wajahnya. Tak ada suara, hanya bisikan angin. Lalu dari kejauhan, seseorang berjalan mendekat.
Itu Papa.
Arfi datang dengan senyum yang selama ini ia rindukan. Wajahnya cerah, tubuhnya sehat. Tidak ada lagi keriput atau selang infus. Hanya senyuman hangat dan tatapan penuh kasih.
“Papa…” Disa memanggil lirih.
Arfi mendekat dan tanpa banyak kata langsung memeluknya erat. Pelukan yang sangat nyata. Disa bisa merasakan kehangatan, aroma tubuhnya yang khas, dan rasa aman yang selama ini hilang.
“Maafkan Disa, Pa…” ucapnya tersedu.
Arfi mengusap kepala Disa, lembut seperti biasa. “Papa nggak pernah marah… Papa tahu kamu sayang, kamu hanya bingung. Dan Papa… sangat bangga padamu.”
Disa menangis di pelukannya. “Aku merasa bersalah… aku telat, aku nggak ada di saat terakhir Papa…”
“Tidak ada yang terlambat untuk orang yang kamu cintai. Doamu sampai, Dis. Rindumu sampai. Papa tahu kamu menangis setiap malam. Tapi sekarang… kamu harus ikhlas.”
Arfi melepaskan pelukannya, menatap Disa dalam-dalam. “Papa bahagia. Jangan terus menyalahkan dirimu. Kamu masih punya banyak hal baik untuk dilakukan. Teruskan yang Papa mulai. Teruskan cahaya itu.”
Disa hanya bisa mengangguk, air matanya jatuh satu per satu. “Aku janji, Pa… Aku akan terus mendoakan… akan terus mencintai… walau hanya lewat doa.”
Arfi tersenyum lebar, “Dan Papa akan selalu mendengar. Bahkan dari tempat yang tak bisa kamu lihat…”
Kemudian cahaya putih perlahan mengelilingi Arfi. Tubuhnya memudar, tapi senyumnya tetap terlihat sampai akhir. Disa terbangun.
Pagi itu, Disa membuka mata dengan dada sesak tapi hangat. Air mata masih membekas di pipinya. Ia segera mengambil air wudu dan salat Subuh dengan khusyuk. Usai salat, ia menulis dalam buku hariannya:
Malam ini Papa datang. Memelukku. Mengajarku tentang ikhlas. Mungkin kini aku mulai bisa menerima bahwa perpisahan bukan akhir. Karena cinta, jika tulus, tidak pernah mati.
Hari-hari berikutnya, Disa mulai kembali ke rutinitasnya. Tapi kali ini dengan semangat baru. Ia melanjutkan studi sambil mendirikan komunitas sosial kecil di kampus, yang ia beri nama “Langkah Arfi”—sebuah penghormatan untuk lelaki yang telah membentuk dirinya, tanpa darah, tapi dengan cinta.
Setiap minggu ia tetap datang ke makam. Membawa bunga, doa, dan cerita-cerita baru tentang perjuangannya. Ia tahu, dari tempat yang tak terlihat, Papa pasti mendengar.
Bersambung...

Comments
Post a Comment