Skip to main content

[7] Kepergian yang Membelah

Ilustrasi oleh AI

"Sesuai perkataanku pagi tadi, karena Kamis malam lalu nggak update. Maka, pekan ini akan update dua kali. Bagi kalian yang belum membaca bab sebelumnya (Bab 6), silakan >>> baca di sini <<< ya!"


Hari kelima setelah kepergian Arfi. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Langit kota dipenuhi awan kelabu, seolah alam pun ikut merasakan kehilangan. Disa belum sepenuhnya mampu menerima kenyataan. Ia tetap datang ke makam Arfi setiap hari. Duduk berjam-jam di sisi pusara, membaca Al-Fatihah, membisikkan kerinduan, dan menyesali waktu yang telah lewat.


Malam itu, tubuh Disa kelelahan. Sejak pulang dari makam, ia tak banyak bicara. Di kamar lamanya yang tak pernah disentuh sejak ia pergi merantau, Disa rebah dengan mata yang bengkak. Pelan-pelan kantuk mulai membawanya tenggelam.


Dan dalam tidur itulah, keajaiban datang.


Disa berdiri di sebuah padang rumput yang luas. Udara terasa hangat. Matahari menyinari lembut wajahnya. Tak ada suara, hanya bisikan angin. Lalu dari kejauhan, seseorang berjalan mendekat.


Itu Papa.


Arfi datang dengan senyum yang selama ini ia rindukan. Wajahnya cerah, tubuhnya sehat. Tidak ada lagi keriput atau selang infus. Hanya senyuman hangat dan tatapan penuh kasih.


“Papa…” Disa memanggil lirih.


Arfi mendekat dan tanpa banyak kata langsung memeluknya erat. Pelukan yang sangat nyata. Disa bisa merasakan kehangatan, aroma tubuhnya yang khas, dan rasa aman yang selama ini hilang.


“Maafkan Disa, Pa…” ucapnya tersedu.


Arfi mengusap kepala Disa, lembut seperti biasa. “Papa nggak pernah marah… Papa tahu kamu sayang, kamu hanya bingung. Dan Papa… sangat bangga padamu.”


Disa menangis di pelukannya. “Aku merasa bersalah… aku telat, aku nggak ada di saat terakhir Papa…”


“Tidak ada yang terlambat untuk orang yang kamu cintai. Doamu sampai, Dis. Rindumu sampai. Papa tahu kamu menangis setiap malam. Tapi sekarang… kamu harus ikhlas.”


Arfi melepaskan pelukannya, menatap Disa dalam-dalam. “Papa bahagia. Jangan terus menyalahkan dirimu. Kamu masih punya banyak hal baik untuk dilakukan. Teruskan yang Papa mulai. Teruskan cahaya itu.”


Disa hanya bisa mengangguk, air matanya jatuh satu per satu. “Aku janji, Pa… Aku akan terus mendoakan… akan terus mencintai… walau hanya lewat doa.”


Arfi tersenyum lebar, “Dan Papa akan selalu mendengar. Bahkan dari tempat yang tak bisa kamu lihat…”


Kemudian cahaya putih perlahan mengelilingi Arfi. Tubuhnya memudar, tapi senyumnya tetap terlihat sampai akhir. Disa terbangun.


Pagi itu, Disa membuka mata dengan dada sesak tapi hangat. Air mata masih membekas di pipinya. Ia segera mengambil air wudu dan salat Subuh dengan khusyuk. Usai salat, ia menulis dalam buku hariannya:


Malam ini Papa datang. Memelukku. Mengajarku tentang ikhlas. Mungkin kini aku mulai bisa menerima bahwa perpisahan bukan akhir. Karena cinta, jika tulus, tidak pernah mati.


Hari-hari berikutnya, Disa mulai kembali ke rutinitasnya. Tapi kali ini dengan semangat baru. Ia melanjutkan studi sambil mendirikan komunitas sosial kecil di kampus, yang ia beri nama “Langkah Arfi”—sebuah penghormatan untuk lelaki yang telah membentuk dirinya, tanpa darah, tapi dengan cinta.


Setiap minggu ia tetap datang ke makam. Membawa bunga, doa, dan cerita-cerita baru tentang perjuangannya. Ia tahu, dari tempat yang tak terlihat, Papa pasti mendengar.


Bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...