![]() |
Jamaah Muslim berkumpul untuk salat Idul Adha di lapangan terbuka, menciptakan suasana khusyuk dan penuh kebersamaan di pagi hari raya. (DetikFoto) |
Hari Raya Idul Adha memang selalu terasa berbeda dari Idul Fitri. Malam takbiran yang tak seramai biasanya - tidak ada deretan anak‐anak remaja masjid yang memukul beduk sambil pawai obor, tak banyak arak-arakan mobil bak terbuka yang berkeliling kampung. Suasana cenderung hening, seakan mengajak kita bermenung: apa sebenarnya makna “kurban” itu?
Meski lengang, hati saya tetap penuh syukur. Allah masih memberi usia untuk berjumpa “lebaran haji” tahun ini. Syukur itu bertambah ketika, semalam, saya menyaksikan laga kualifikasi ronde 3 antara Timnas Indonesia dan China. Setelah penantian nyaris 38 tahun, Garuda akhirnya mematahkan kutukan. Skor kemenangan itu memang belum menjamin tiket ke Piala Dunia 2026, tapi asa kita masih terjaga, peluang Timnas Indonesia menuju kualifikasi ronde 4 terbuka lebar - dan bukankah harapan juga bentuk kurban? Kita menunda kecewa, tetap percaya pada proses, lalu merelakan apa pun hasilnya.
Pagi yang Kesiangan
Karena begadang nonton bola dan sibuk mengangkut air bersih - sebab di kompleks kami sedang krisis air, jadi harus banyak-banyak bersabar - itulah sebabnya saya bangun terlambat. Usai beberes di rumah saya bergegas menuju Masjid Darul Amal di blok Banten, Seputih Jaya, Gunung Sugih. Masjid favorit yang sejak bertahun-tahun menjadi saksi tarawih, Idul Fitri, dan Idul Adha saya. Lima belas menit sebelum bilal menyeru ajakan shalat, saya akhirnya mendapat tempat di teras sisi kanan.
Ada insiden kecil: seorang anak protes karena merasa spotnya “diambil”. Jujur, saya nggak sengaja. Karena waktu saya berdiri, saya melihat di salah satu shaff depan ada space yang kosong. Syukurlah dia kenal dekat denganku, jadi “drama” berakhir dengan senyum. Kadang, Allah mengajarkan kita lewat hal sederhana - bahkan soal bagi-bagi space sajadah. Saya ingatkan diri sendiri: siapa pun berhak atas kenyamanan; jangan keras kepala hanya karena datang lebih dulu.
Baca juga: "Dua Sarung: Cinta Dalam Diam"
Khutbah di Tepi Jendela
Ustaz Suwari - beliau adalah Ustadz kampung yang cukup kenal dan dekat denganku, saat kita bertemu beliau selalu ringan senyum dan bertegur sapa. Pagi ini beliau yang menyampaikan khutbah. Saya duduk di luar, bersebelahan dengan barisan anak-anak, membuat saya harus lebih ekstra fokus agar apa yang disampaikan bisa dicerna dengan baik, setidaknya satu atau dua kalimat. Dari celah jendela, saya melihat Om Izol, Pak Miskan, dan jamaah lain menyimak khatib dengan khusyuk. Ada beberapa poin yang berhasil saya tangkap:
- Kurban bukan soal menyembelih hewan semata, tetapi menyembelih rasa memiliki.
- Keikhlasan Nabi Ibrahim & ketundukan Nabi Ismail adalah mercusuar bagi setiap muslim.
- Semakin kita mencintai sesuatu, semakin besar pula ujian “melepas” itu.
Beliau juga menyampaikan sebuah hikmat dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail Alaihi Salam (AS) - yang saya rekam melalui ingatan:
“Setiap kita adalah Ibrahim: Ibrahim punya ‘Ismail’. Ismail kita mungkin harta benda kita, jabatan, gelar, ego - apa pun yang kita sayangi dan pertahankan di dunia ini. Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail; Ibrahim hanya diminta Allah membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail, karena hakikatnya semua adalah milik Allah.
Idul Adha adalah tentang percaya dan ikhlas - dua hal yang sungguh berat. Banyak yang kita rasa sudah jadi bagian hidup kita, ternyata harus kita lepas. Hingga muncul kesadaran bahwa kita benar-benar tak punya apa‐apa. Bahkan napas - yang sering luput kita syukuri - ternyata milik-Nya.”
Baca juga: [3] Aktivis Dengan Seribu Cinta
Saya terdiam. Hikmah tersebut terus membayangi pikiran, seakan menempel di kepala lebih kuat daripada takbir di pengeras suara. Oleh karenanya buru-buru saya tuangkan dalam tulisan, agar lebih banyak pula yang menerimanya.
Dua Sarung & Napas yang Dipinjam
Pikiran saya melayang pada kenangan “dua sarung” milik Papi, bapak angkat yang dulu menampung saya saat SMA. Ia menolak memberi sarung bekas - ia merasa kurang pantas - lalu mengganti dengan sarung baru yang masih wangi toko. Selama ini saya mengira nilai terbesar ada pada “sarung bekas penuh sejarah”. Rupanya, Papi mengajarkan versi lain dari kurban: memberi yang terbaik, bukan yang tersisa. Dengan kata lain, melepaskan ego “ini punyaku” demi kebahagiaan orang lain.
Begitulah Idul Adha bekerja - sunyi, tetapi dalam. Ia mungkin tak diwarnai gemuruh petasan seperti Idul Fitri, tapi justru di kesenyapannya kita diajak mengeja makna:
- Percaya bahwa setiap titipan akan kembali pada Pemiliknya.
- Ikhlas merelakan Ismail‐Ismail kecil di hati - entah harta, kedudukan, atau ambisi - jadi jembatan mendekat pada Allah.
- Syukur atas napas yang masih gratis kita hirup, air yang (walau harus diangkut bolak-balik) tetap tersedia, hingga gol-gol Timnas yang membangkitkan semangat kebangsaan.
“Barang siapa yang mampu menundukkan egonya pada Hari Raya Kurban, maka sepanjang tahun ia sudah memotong hewan ‘kesombongan’ dalam dirinya.”
Semoga Idul Adha kali ini tak hanya menoreh jejak darah hewan qurban di bumi, tapi juga meneteskan keikhlasan di hati. Selamat merayakan, kawan. Mari kita berbesar hati: apa pun “Ismail” kita, jangan ragu menyerahkannya kepada Allah - karena sejak awal, semuanya memang titipan.
Baca juga: "Tanpamu Aku Baik-Baik Saja: Sebuah Renungan Cinta, Hijrah, dan Harga Diri"
* Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, dengan judul sama.
Comments
Post a Comment