![]() |
Ilustrasi oleh AI. |
Oleh: Cendekia Alazzam
"Terima kasih telah mengikuti perjalanan Cerita Bersambung (Cerbung) Pelukan yang Tak Selesai karya Cendekia Alazzam. Bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, silakan baca di sini! - Ohya, sekadar pemberitahuan, mulai sekarang cerbung ini akan dipublikasikan sepekan dua kali, yaitu setiap malam Ahad dan malam Rabu."
Hari itu, sekolah madrasah tempat Akmal, anak sulung Suwantra dan Tinara, bersekolah mengadakan pertemuan wali murid. Suwantra tak bisa hadir karena ada tugas dinas ke luar kota. Tinara datang sendiri, mengenakan blus sederhana dan kerudung cokelat susu, membawa harap bisa mengenal lebih dekat dunia belajar putra sulungnya yang mulai beranjak remaja.
Di ruang kelas, ia pertama kali melihat Faiz. Guru muda itu sedang berbicara hangat dengan beberapa wali murid, mengenakan kemeja putih polos dan celana bahan gelap. Sikapnya tenang, kalimat-kalimatnya ringan namun penuh wibawa. Ada senyum yang tak dibuat-buat dan mata jernih yang menatap tanpa menghakimi.
Saat giliran Tinara berbicara dengannya, Faiz menyambut dengan sopan.
"Assalamu’alaikum, Ibu... Saya Faiz. Guru kelas sekaligus wali dari Akmal. Anak Ibu termasuk yang menonjol, rajin dan santun."
"Wa’alaikumussalam, Mas Faiz... Alhamdulillah, semoga Akmal bisa terus belajar dengan baik. Terima kasih ya sudah membimbing."
Percakapan itu singkat, tapi ada rasa tenang yang ditinggalkan Faiz. Sederhana, namun hangat. Sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan dari seorang laki-laki.
Beberapa minggu kemudian, Faiz semakin akrab dengan keluarga Suwantra. Ia sering mengantar Akmal pulang jika ada kegiatan tambahan di sekolah, atau kadang sekadar mampir mengobrol sebentar di teras rumah. Suwantra, yang awalnya hanya menyapa basa-basi, mulai merasa cocok.
"Anak ini sopan, ya. Lembut juga cara ngomongnya. Jarang sekarang anak muda kayak gitu," kata Suwantra suatu malam saat mereka duduk bertiga di ruang tengah - bersama Faiz.
Faiz hanya tersenyum merendah, seperti biasa.
Kedekatan mereka tumbuh natural. Tak ada paksaan, hanya perasaan nyaman yang lahir dari percakapan yang jujur dan tawa yang tak dibuat-buat. Tinara mulai memperhatikan bagaimana Faiz mendengarkan setiap ucapan, meskipun itu hanya keluhan tentang dapur yang bocor atau cucian yang belum kering.
Suwantra bahkan pernah bercanda, "Kalau kamu belum punya orang tua angkat, tinggal sama kami saja, Faiz. Rumah ini cukup luas."
Faiz tertawa saat itu. Tapi sejak saat itu, ia memang jadi lebih sering berada di rumah mereka. Kadang ia datang untuk menemani Akmal belajar, kadang diajak makan malam oleh Tinara. Anak-anak pun menyukainya. Mereka memanggilnya Kak Faiz dengan suara riang, dan Faiz selalu sabar meladeni mereka bermain.
Tinara diam-diam menyukai ketenangan yang dibawa Faiz. Ia seperti oase di tengah gurun pernikahannya yang tandus. Bukan karena Faiz muda atau tampan, tapi karena Faiz hadir. Ia benar-benar hadir. Ia mendengar, merespons, dan memahami. Tidak terburu-buru, tidak juga menghakimi.
Dan yang membuatnya lebih menggelitik: Suwantra tampak bahagia dengan keberadaan Faiz. Bahkan, ia makin sering mengajak Faiz ngobrol panjang, kadang hingga larut malam. Mereka bicara tentang politik, pekerjaan, hingga urusan pribadi. Pernah suatu malam, Suwantra bilang pelan, "Aku tuh udah lama nggak cerita kayak gini ke siapa-siapa. Tapi ke kamu, Faiz, rasanya enak aja."
Faiz hanya mengangguk dan tersenyum. Ia tak tahu bahwa malam itu, ia mulai mengisi ruang-ruang kosong dalam rumah itu, ruang-ruang yang sudah lama tak disentuh oleh cinta.
Tinara menyaksikan itu semua. Dari balik pintu, dari sela-sela kegiatan rumah, ia mencatat bagaimana suasana rumah menjadi sedikit lebih hangat ketika Faiz ada. Ia tak pernah mengira, bahwa seseorang yang datang pelan-pelan seperti Faiz, bisa membawa begitu banyak perubahan.
Dan diam-diam, hatinya mulai bergetar. Bukan karena cinta, belum tentu. Tapi karena harapan. Bahwa mungkin, seseorang masih bisa membuatnya merasa dilihat. Didengar. Dihargai.
Sementara itu, Suwantra mulai melihat Faiz tak hanya sebagai guru anaknya. Tapi sebagai sahabat. Teman bercerita. Bahkan, mungkin - tanpa ia sadari - juga sebagai pelarian dari rasa bersalahnya sendiri.
Rumah itu, yang dulu sunyi dan dingin, kini punya satu tambahan suara. Suara yang datang diam-diam. Tak banyak bicara. Tapi cukup untuk membuat semuanya mulai berubah.
[Bersambung...]
Baca juga: Cinta Pengabdian dan Jejak yang Abadi [Cerbung]
Comments
Post a Comment