![]() |
Aku dan sepupuku, di suatu hari di sudut rumah sakit. (Dokpri). |
Di bawah kanopi langit seng yang berkarat senja,
kau datang - serupa angin kecil yang menyingkap sunyi,
ringan seperti daun gugur yang tak tahu ia indah,
dan senyummu... ah, senyummu menusuk pelan seperti cahaya pagi
yang menelusup celah dada,
menggetarkan sesuatu yang tak sempat kupanggil dengan nama.
Kita ini sepupu, begitu kata silsilah yang tertulis,
tapi jarak usia membentangkanmu di pelukanku seperti anak kecil
yang sedang pulang ke langit yang pernah ia rindukan diam-diam.
Dan aku?
Aku hanyalah musim yang tersentuh mekar tawamu,
tercengang pada binar matamu yang tak tahu caranya berdusta,
dan terdiam oleh sesuatu yang tak sempat ditemukan oleh kamus - barangkali rasa, barangkali rahasia.
Kita jarang bersua,
namun saat itu, waktu seperti menundukkan dirinya,
membiarkan tiap detik jatuh perlahan,
agar aku sempat menyimpan senyummu dalam kenangan yang tak akan aku pinjamkan.
Aku membaca gerak-gerikmu - bahasa tubuh yang belum disunting dunia,
yang belum tahu caranya menjadi topeng.
Dan di sanalah aku sadar,
barangkali itu yang paling hilang dari diri kita yang tumbuh:
kemurnian yang tak pernah belajar berpura-pura.
Aku tak tahu, apakah hari ini akan singgah lama di ingatanmu,
tapi bagiku, engkau adalah detik mungil yang berhasil memahat sunyi menjadi sajak.
Dan bila suatu saat ada yang bertanya padaku - tentang makna hangat di tengah hidup yang terlalu gemar berhitung dan berpikir - akan kutunjukkan potret-potret ini,
dan kujawab dengan lembut:
"Lihatlah... cinta kadang datang dalam wujud paling sederhana - dan justru di situlah keajaibannya."
Lampung, 2 Juli 2025
Comments
Post a Comment