Skip to main content

Puisi: Detik yang Menyimpan Wajahmu

 
Aku dan sepupuku, di suatu hari di sudut rumah sakit. (Dokpri).


Di bawah kanopi langit seng yang berkarat senja,
kau datang - serupa angin kecil yang menyingkap sunyi,
ringan seperti daun gugur yang tak tahu ia indah,
dan senyummu... ah, senyummu menusuk pelan seperti cahaya pagi
yang menelusup celah dada,
menggetarkan sesuatu yang tak sempat kupanggil dengan nama.


Kita ini sepupu, begitu kata silsilah yang tertulis,
tapi jarak usia membentangkanmu di pelukanku seperti anak kecil
yang sedang pulang ke langit yang pernah ia rindukan diam-diam.
Dan aku?
Aku hanyalah musim yang tersentuh mekar tawamu,
tercengang pada binar matamu yang tak tahu caranya berdusta,
dan terdiam oleh sesuatu yang tak sempat ditemukan oleh kamus - barangkali rasa, barangkali rahasia.


Kita jarang bersua,
namun saat itu, waktu seperti menundukkan dirinya,
membiarkan tiap detik jatuh perlahan,
agar aku sempat menyimpan senyummu dalam kenangan yang tak akan aku pinjamkan.


Aku membaca gerak-gerikmu - bahasa tubuh yang belum disunting dunia,
yang belum tahu caranya menjadi topeng.
Dan di sanalah aku sadar,
barangkali itu yang paling hilang dari diri kita yang tumbuh:
kemurnian yang tak pernah belajar berpura-pura.


Aku tak tahu, apakah hari ini akan singgah lama di ingatanmu,
tapi bagiku, engkau adalah detik mungil yang berhasil memahat sunyi menjadi sajak.
Dan bila suatu saat ada yang bertanya padaku - tentang makna hangat di tengah hidup yang terlalu gemar berhitung dan berpikir - akan kutunjukkan potret-potret ini,
dan kujawab dengan lembut:
"Lihatlah... cinta kadang datang dalam wujud paling sederhana - dan justru di situlah keajaibannya."


Lampung, 2 Juli 2025

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...