Skip to main content

Sepasang Sepatu, Selembar Cinta yang Abadi

Sepasang sepatu sederhana, saksi bisu kasih sayang yang tak terucap namun nyata terasa. (Sumber: Pexels)



Ada masa dalam hidup saya ketika sebuah sepatu mengajarkan lebih banyak tentang cinta dari pada semua buku pengembangan diri yang pernah saya baca.


Bukan sepatu bermerek. Bukan pula sesuatu yang mahal. Tapi sepasang kanvas hitam putih yang diberikan oleh seseorang yang bahkan bukan ayah saya - sebut saja Pak Arifin namanya, seorang Ayah dari tiga anak yang berusia hampir 40 tahun - yang saya temui dalam sebuah kegiatan sosial selepas SMA. Pertemuan kami hanya berlangsung setahun, tapi jejaknya seperti garis halus yang terus mengikuti langkah saya sampai hari ini.


Saya masih ingat malam itu. Ketika Pak Arifin baru saja pulang dari dinas di luar Kota, jika tidak salah Kota Batam. Beliau datang mengetuk pintu kamarku, seraya menyodorkan kantung plastik berwarna putih susu. "Untuk kakak," demikian tutur laki-laki aku aku panggil Papa itu.


Ketika saya buka, di dalamnya ada sepasang sepatu. Betapa riang dan gembira hati, sampai tak sepatah kata mampu terucap kala itu. Karena perhatian yang ia berikan semacam ini sangatlah jarang. Dibenak saya sama sekali tak terlintas, seberapa mahal harga sepatu itu dan termasuk bermerek atau bukan, yang jelas itu adalah perhatian sederhana yang bermakna dalam.


Ada senang dan bahagia menyelimuti hati. 


Baca juga: Air, Kenyamanan, dan Realita Tinggal di Perumahan 


Suatu pagi, saat hendak menghadiri sebuah acara, saya baru menyadari ada yang janggal dari sepatu pemberian Pak Arifin. Yang kiri terasa longgar, yang kanan malah sesak. Ketika saya periksa ukurannya, ternyata benar: yang satu nomor 40, satunya lagi 38.


Saya terdiam lama. Ingin bertanya, tapi tak sanggup. Ada rasa sungkan, takut justru membuatnya kecewa karena tahu ia salah membeli. Akhirnya, sepatu itu saya simpan saja di lemari - bukan untuk dipakai, tapi sebagai kenangan. Sebagai tanda cinta yang ia berikan dalam diam.


Waktu terus berjalan. Hingga suatu hari, saya memutuskan hijrah ke kota. Mengejar pendidikan, mengejar beasiswa. Sepatu itu tertinggal - entah karena lupa, atau memang saya sengaja tak membawanya. Tapi di dalam hati, kenangannya tetap saya bawa ke mana-mana.


Beberapa bulan kemudian, kabar itu datang: Pak Arifin wafat, sebab gula darah yang telah lama menggerogotinya. Ia memang nampak sehat setiap harinya, karena begitulah Ia yang tak ingin merepotkan orang-orang, serta khawatir tentang dirinya.


Baca juga: Curhat Tengah Malam [Cerbung]


Tapi yang membuat saya terdiam lebih lama, sebelum ia pergi selama-lamanya, ia sempat menyebutkan namaku. Dan, beberapa kali hadir dalam mimpi, dalam beberapa malam menjelang kabar duka itu tiba.


Saya segera pulang. Di kamar yang kini sunyi, saya mencoba menemukan sepatu yang dulu diberikan sebagai hadiah. Tapi tak lagi ada. Mungkin sudah dibuang. Mungkin dianggap tak penting. Dan di ruang yang hening itu, saya hanya bisa duduk dan menangis.


“Pak... maaf saya tak sempat bilang kalau ukurannya beda. Tapi saya senang, Pak. Senang sekali…”


Dari sepatu yang tak serasi itu, saya belajar sesuatu yang tak pernah diajarkan di sekolah: bahwa cinta tak selalu datang dalam bentuk yang sempurna. Bahkan, sesuatu yang tampak keliru pun bisa menjadi simbol kasih yang paling tulus.


Baca juga: Gaji Pertama dan Pelajaran yang Tak Tertulis 


Kita hidup di dunia yang terlalu sibuk mengejar keserasian. Semua harus pas, seimbang, ideal. Tapi hidup, sering kali tak seperti itu. Justru di tengah ketidaksempurnaan, cinta sejati sering menyelinap - tenang, dan penuh makna.


Pak Arifin memang tak meninggalkan warisan. Tak ada tabungan, tak ada surat wasiat. Tapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih berharga: cara mencintai. Memberi bukan dari apa yang ideal, tapi dari apa yang ia punya - dengan sepenuh hati.


Dan kini, di setiap langkah yang saya tapaki, ada bekas jejak dari sepatu itu. Sepatu yang mungkin tak sama ukurannya, tapi pas di hati. Karena cinta yang paling abadi, bukan soal bentuk, tapi soal ketulusan.


Saya rasa, hidup juga seperti itu. Kita mungkin tak akan selalu berjalan dengan langkah yang seimbang. Tapi selama hati kita tetap penuh kasih, setiap langkah - meski tertatih - akan selalu punya arah.

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...