![]() |
| Gambar dibuat oleh AI: Gemini. |
"Selamat pagi, apa kabar semuanya. Maaf ya updatenya telat banget, bahkan hampir 3 pekan nggak update ya. Sebagai permohonan maaf dariku, maka cerita "Pelukan yang Tak Selesai" hari ini akan update sekaligus 5 Bab. Cek terus ya updatenya!
Dan, selamat datang di Bab 11. Bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, silahkan baca di sini!!!"
Cerita oleh: Cendekia Al Azzam
Suwantra duduk di ruang kerjanya yang sempit di kantor cabang, mengusap pelipis yang berdenyut. Layar laptop menampilkan laporan yang belum selesai, tapi pikirannya mengembara jauh. Sudah beberapa hari ini ia merasa ada yang berbeda di rumah. Bukan suara, bukan bau, tapi semacam getar samar yang tak bisa dijelaskan. Seperti bisikan yang ditelan dinding. Ia mengabaikannya.
Perjalanan ke luar kota makin sering, dan hubungan dengan rekan kerjanya, Nira, makin sulit dikategorikan sebagai sekadar profesional. Nira bukan sekadar kolega; ia menjadi tempat pelarian Suwantra. Wanita muda, manis, dan pandai membaca situasi. Sering kali mereka lembur hanya berdua. Kadang makan malam bersama. Kadang saling bercerita soal rumah tangga masing-masing, hingga satu malam mereka pulang ke apartemen Nira.
"Kamu kelihatan lelah," ujar Nira malam itu sambil menyodorkan sebotol wine. Ia hanya mengenakan daster satin biru, tipis dan mengundang.
"Rumah kadang nggak terasa rumah," jawab Suwantra, setengah mabuk oleh rasa jenuh.
Ciuman itu terjadi tanpa aba-aba. Tubuh mereka menyatu di sofa, napas berpacu, kain tercecer. Suwantra tahu ini keliru, tapi di saat yang sama, ia merasa hidup kembali. Tubuhnya merespons sentuhan yang sudah lama asing baginya. Nira tahu apa yang ia lakukan. Ia memanjakan Suwantra, menenggelamkannya dalam gairah yang membuatnya lupa pada luka di rumah.
Di sisi lain, Tinara duduk di sudut kamar, mengenakan baju tidur tipis. Suasana rumah sunyi. Anak-anak tidur, dan Faiz baru saja menutup pintu setelah memeriksa mereka. Ia lalu masuk ke kamar Tinara dengan langkah pelan.
"Dia ke luar kota lagi?" tanya Faiz sambil duduk di tepi ranjang.
Tinara mengangguk. Tak ada kata. Hanya tatapan yang saling mengerti. Faiz lalu mencium keningnya, lalu bibirnya. Tangannya menyusuri punggung wanita itu, pelan, seolah menulis puisi di sana. Tubuh mereka saling menemukan, sekali lagi.
Kini tak ada lagi rasa bersalah. Mereka menjadi candu satu sama lain. Setiap sentuhan adalah pelarian, tapi juga rumah. Mereka bercinta bukan hanya karena sepi, tapi karena merasa utuh saat bersama. Tinara menemukan dirinya kembali. Faiz menemukan makna kedewasaan. Mereka saling mengisi kehampaan yang dibiarkan menganga terlalu lama.
Suwantra di tempat lain memeluk Nira dari belakang. Nafas mereka masih belum teratur. Ia tak bertanya apa yang akan terjadi setelah ini. Ia hanya ingin merasa dibutuhkan, walau sejenak. Tapi di rumahnya, seseorang lain sudah lebih dulu mengisi ruang yang ia tinggalkan.
Malam itu, dua ranjang yang berbeda menjadi tempat pengkhianatan sekaligus pengakuan. Tidak ada yang menang. Tidak ada yang utuh. Hanya dua sisi dari luka yang sama, mencari kehangatan di luar jalur, demi merasa hidup kembali.
Dan di antara gelap dan dingin, dua cahaya asing tumbuh perlahan, menyala dalam sunyi masing-masing.
Bersambung...
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]

Comments
Post a Comment