![]() |
Abuya Al Habib Abdullah bin Muhammad Baharun. (Sumber: petuah_abuya) |
Jemari itu bergerak nyaris tanpa perintah, menggulir layar demi layar dalam sebuah ritme yang begitu akrab. Mata terpaku pada cahaya biru, sementara dunia di sekitar perlahan memudar dalam keheningan. Ini adalah potret zaman kita: sebuah paradoks di mana teknologi yang dirancang untuk menghubungkan, justru sering kali menjadi sekat paling tebal antara kita dengan kehidupan itu sendiri.
Tanpa sadar, kita mungkin telah menyerahkan hal paling berharga; waktu, perhatian, dan kedalaman interaksi pada sebuah dunia semu yang ada di ujung jari.
Menjawab kegelisahan massal ini, seorang ulama kharismatik, Abuya Al-Habib Abdullah bin Muhammad Baharun, berbagi pemikiran yang begitu relevan. Nasihat berharga ini beliau sampaikan dalam sebuah momen penting, yakni pada Multaqo Nasional Alumni Putri Universitas Al Ahgaff beberapa waktu lalu.
Dalam forum terhormat tersebut, beliau menguraikan peta jalan untuk membebaskan diri, untuk kembali menjadi tuan atas hidup kita sendiri. Mari kita selami bersama 6 langkah bijak ini, bukan sebagai diktat yang kaku, melainkan sebagai sebuah percakapan dari hati ke hati.
Langkah 1: Iman sebagai Kompas Utama
Sebelum kita bicara soal aplikasi pembatas waktu atau detoks digital, Abuya mengajak kita untuk mundur sejenak dan memeriksa fondasi paling dasar: iman. Ini bukan sekadar soal ritual ibadah, melainkan soal acuan, soal kompas moral yang kita gunakan untuk mengarungi hidup.
Di dunia maya, semua hal terasa cair. Batasan antara baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, menjadi kabur. Hubungan bebas antara laki-laki dan perempuan misalnya, dipertontonkan setiap hari hingga kita atau anak-anak kita mulai menganggapnya sebagai hal yang wajar. Di sinilah iman berperan sebagai jangkar.
Iman adalah keyakinan teguh bahwa standar kebenaran mutlak datang dari Sang Pencipta, Allah SWT, melalui lisan Rasul-Nya. Apa pun yang selaras dengan itu, itulah kebenaran. Sebaliknya, apa pun yang bertentangan dengannya, sepopuler atau sekeren apa pun kelihatannya di media sosial, adalah sebuah kepalsuan.
Tanpa kompas yang kokoh ini, kita akan mudah terseret arus mana pun yang sedang deras. Jadi, langkah pertama adalah mengokohkan kembali kompas internal kita. Tanyakan pada diri: "Siapa yang menentukan benar dan salah dalam hidupku? Algoritma atau Al-Qur'an?"
Langkah 2: Sadar Penuh, Jangan Terperdaya
Coba bayangkan sejenak, jika anak kita hendak pergi ke pasar yang ramai, kita pasti akan berpesan, "Hati-hati ya, Nak, di sana banyak copet, jangan mudah percaya sama orang asing." Kita melakukannya karena kita sadar akan potensi bahaya di dunia nyata.
Anehnya, saat kita atau anak-anak kita "masuk" ke dunia maya yang jauh lebih liar dan tak terduga, kita sering kali lupa memberikan peringatan serupa. Inilah yang disebut oleh Abuya sebagai rendahnya kesadaran
Kita harus sadar betul bahwa dunia maya bukanlah ruang publik yang bebas dan netral. Ia adalah sebuah arena yang dirancang, dikendalikan, dan dimonitor. Setiap klik, setiap tontonan, setiap pencarian yang kita lakukan adalah data.
Data ini bukan sekadar angka; ia adalah cerminan pemikiran, kecondongan, dan bahkan kelemahan kita. Informasi inilah yang kemudian dijadikan "senjata" oleh para raksasa teknologi untuk memengaruhi kita, membentuk selera kita, dan tentu saja, mengeruk keuntungan dari kita.
Kesadaran ini adalah perisai. Saat kita sadar bahwa kita sedang berada di lingkungan yang terkendali, kita akan lebih waspada. Kita tidak akan menelan mentah-mentah setiap informasi yang disodorkan. Kita akan lebih berhati-hati dalam berbagi, dan lebih kritis dalam menerima.
Langkah 3: Kita adalah Manusia Merdeka, Bukan Budak Algoritma
Ini pertanyaan reflektif yang sangat penting dari Abuya: Siapa yang memiliki siapa? Kita yang memiliki ponsel, atau ponsel yang memiliki kita?
Jika kita merasa cemas saat jauh dari ponsel, jika kita lebih panik kehilangan ponsel daripada kehilangan dompet, atau jika suasana hati kita ditentukan oleh jumlah likes, mungkin sudah saatnya kita mengakui bahwa kita telah terjajah. Kita menjadi budak dari ciptaan kita sendiri.
Abuya mengingatkan kita akan fitrah hurriyyah (kebebasan). Allah menciptakan kita sebagai manusia merdeka, sebagai hamba-Nya semata, bukan budak bagi korporasi-korporasi yang mengatur apa yang harus kita inginkan, ke mana uang kita harus dibelanjakan, dan bagaimana standar kebahagiaan kita seharusnya terlihat.
Sadar atau tidak, keinginan untuk punya gadget terbaru, mencoba kafe yang sedang viral, atau membeli pakaian model terkini, sering kali lahir dari apa yang terus-menerus kita lihat di dunia maya. Mereka mengatur hidup kita secara halus.
Memerdekakan diri berarti merebut kembali kendali. Ini adalah deklarasi bahwa hidup kita, pilihan kita, dan masa depan kita tidak akan didikte oleh algoritma yang dirancang untuk keuntungan segelintir pihak.
Langkah 4: Percantik Dunia Nyata, Bukan Sekadar Feed Media Sosial
Mengapa kita begitu betah berjam-jam di dunia maya? Jawabannya sering kali sederhana: karena kita merasa dunia maya lebih menarik, lebih indah, dan lebih memuaskan daripada dunia nyata kita.
Maka, solusinya bukan hanya dengan mengurangi waktu di dunia maya, tetapi dengan secara aktif memperkaya dan mempercantik kehidupan nyata kita. Jika selama ini setiap anggota keluarga sibuk dengan gawainya masing-masing di kamarnya, cobalah ciptakan sebuah "sihir" tandingan. Buatlah ruang keluarga menjadi tempat yang begitu hangat dan menyenangkan sehingga ponsel pun terlupakan.
Sediakan camilan, ajak mengobrol tentang hal-hal ringan, bercanda tawa, atau mainkan permainan papan sederhana. Ajak anak-anak untuk ikut memasak di dapur. Dalam hal ini, Abuya bahkan memberikan nasihat yang sangat praktis:
"Masaklah lebih banyak dibanding pesan makanan lewat GoFood atau yang lainnya."
Poinnya bukan soal anti GoFood, melainkan tentang proses kebersamaan yang tercipta saat memasak. Aroma bumbu yang ditumis, suara tawa saat ada adonan yang gagal, dan kehangatan makan bersama adalah pengalaman nyata yang tak tergantikan oleh gambar makanan paling estetis sekalipun di Instagram.
Dan yang terpenting, jagalah privasi kehidupan nyata kita. Abuya mengingatkan:
"نحمي واقعنا الحقيقي من الانكشاف. الحياة الحقيقية سر. البيوت أسرار لا يصلح أن تنكشف"
"Kita harus menjaga kehidupan nyata kita dari keterbukaan (expose). Kehidupan kita yang nyata adalah rahasia. Rumah-rumah kita adalah rahasia yang tidak patut untuk diumbar."
Kebahagiaan sejati tidak butuh validasi publik. Ia cukup dirasakan.
Langkah 5: Berjuang Bersama, Bukan Sendirian
Melepaskan diri dari cengkeraman candu digital adalah sebuah perjuangan berat. Melakukannya sendirian di tengah lingkungan yang justru menarik kita kembali adalah hal yang nyaris mustahil. Di sinilah pentingnya tadhamun atau tanggung jawab bersama.
Ini adalah sebuah proyek keluarga, sebuah gerakan komunitas. Ajak pasangan, orang tua, atau anak-anak untuk duduk bersama. Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk berbagi keresahan. Gunakan bahasa yang lembut dan penjelasan yang mudah dipahami.
"Ayah/Bunda, aku merasa kita semakin jauh ya belakangan ini. Bagaimana kalau setiap malam, satu jam sebelum tidur, kita semua letakkan ponsel dan kita ngobrol saja?"
Langkah kecil seperti ini, jika dilakukan bersama-sama, akan memiliki dampak yang luar biasa besar.
Langkah 6: Mencapai Kemenangan Batin
Jika kelima langkah sebelumnya telah kita jalani dengan sungguh-sungguh, kita akan sampai pada tahap puncak yang disebut Al-Fath - sebuah kemenangan atau terbukanya jalan.
"Kemenangan" di sini bukan berarti kita membuang ponsel kita dan hidup terasing dari teknologi. Bukan. Kemenangan sejati adalah ketika posisi kita berbalik: kita yang mengontrol dunia maya, bukan sebaliknya.
Kita menggunakannya secara sadar untuk hal-hal yang bermanfaat; untuk silaturahmi, untuk belajar, untuk bekerja. Lalu kita bisa meletakkannya dengan mudah tanpa rasa kehilangan. Ponsel kembali menjadi alat, bukan tuan.
Jika setelah mencoba semua langkah ini kita masih merasa gagal, itu bukan akhir dari segalanya. Itu adalah sinyal untuk kembali ke langkah pertama, mengevaluasi di mana letak kesalahannya, dan mencoba lagi dengan lebih baik.
Dan ingatlah pesan penutup yang penting: kita tidak akan bisa melepaskan orang lain dari candu ini sebelum kita sendiri berhasil terlepas. Perubahan selalu dimulai dari diri sendiri.
Ingatlah, perjalanan ini adalah tentang merebut kembali aset kita yang paling tak ternilai: waktu, perhatian, dan momen-momen berharga di dunia yang benar-benar nyata. Karena hidup yang sesungguhnya ada di sini, dalam setiap detak jantung, dalam setiap tatapan mata, dan dalam setiap kehangatan pelukan, bukan di dalam dinginnya genggaman layar.
Comments
Post a Comment