Perjumpaan Terakhir, part of "Pelukan yang Tak Selesai". (Foto oleh AI/Gemini)
"Selamat datang di Bab 14, cerita bersambung "Pelukan yang Tak Selesai". Bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, silahkan baca di sini!!!"
Perjumpaan Terakhir
Pagi itu matahari bersinar lembut di sela tirai kamar Faiz. Ia bangun lebih awal dari biasanya, duduk lama di tepi ranjang dengan mata menerawang. Sejak kecelakaan ringan Suwantra, atmosfer rumah perlahan berubah. Lebih hangat, lebih rapi, lebih... seperti rumah pada umumnya. Tapi tidak untuk Faiz. Ia tahu waktunya hampir habis.
Tinara mengetuk pelan pintu kamarnya. Faiz membuka dengan senyum kecil, menunduk seperti biasa.
"Boleh aku masuk?"
Faiz hanya mengangguk.
Tinara duduk di sisi ranjang, mengenakan daster lembut berwarna pastel. Wajahnya tampak lebih tenang, tapi ada sesuatu yang menggantung di matanya — semacam kesadaran yang tak bisa diucapkan.
"Aku tahu kau akan pergi dari rumah ini," katanya pelan. "Aku hanya ingin... mengingatmu, tanpa penyesalan."
Faiz memandangi perempuan itu. Perempuan yang selama ini mengisi kekosongan hatinya. Tak ada kata yang mampu mewakili apa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia hanya mendekat, memeluk Tinara dengan kehangatan paling jujur yang ia miliki.
Pagi itu, tubuh mereka kembali menyatu. Bukan karena nafsu, tapi karena cinta yang tak tahu harus bagaimana lagi. Mereka bercinta dalam diam, dalam tatap, dalam peluh yang berusaha memahat kenangan ke dalam ingatan.
"Kalau ini terakhir kali," Faiz berbisik di telinga Tinara, "aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu dengan cara yang paling diam. Tapi paling dalam."
Tinara menangis dalam pelukannya. Tidak menolak, tidak menahan. Ia tahu, cinta mereka adalah badai yang tak bisa terus tinggal. Tapi pagi itu, mereka biarkan badai itu menyapu semuanya.
Beberapa hari setelahnya, Faiz pamit dari rumah. Alasannya sederhana: ingin mandiri, mencari tempat tinggal dekat tempat kerja barunya. Suwantra, yang kini lebih terbuka dan mulai berubah, bahkan memberi restu dengan senyum dan pelukan.
"Kamu udah kayak anak sendiri, Faiz. Jangan lupa pulang sesekali, ya?"
Faiz hanya mengangguk. Tatapannya berpindah pada Tinara yang berdiri di ambang pintu, membawa senyum getir yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua.
Malam itu, setelah kepergian Faiz, Suwantra dan Tinara duduk bersama di ruang keluarga. Ada tawa kecil, ada percakapan ringan. Bahkan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Suwantra memeluk istrinya di ranjang mereka. Mereka bercinta. Perlahan, hangat, seperti membangun ulang reruntuhan.
Beberapa minggu kemudian, Tinara mulai merasa berbeda. Mual di pagi hari, tubuh lelah tak biasa. Pemeriksaan menunjukkan sesuatu yang tak terduga: ia hamil.
Suwantra bahagia bukan main. Ia menganggap kehamilan itu sebagai tanda pemulihan, hadiah dari upaya memperbaiki hubungan mereka. Ia tak pernah tahu bahwa ada kemungkinan benih itu datang dari cinta yang diam-diam, dari pagi yang penuh peluh dan tangis.
Tinara hanya memandangi perutnya dalam diam, mengelus pelan.
"Kamu akan lahir dari cinta yang rumit," bisiknya. "Tapi Ibu akan menjagamu dengan sederhana. Dengan setia."
Dan langit pagi itu tetap cerah, seakan tahu bahwa cinta kadang tak selalu lurus jalannya, tapi bisa tetap sampai di rumah.
Bersambung...
Full Cerbung Pelukan yang Tak Selesai [Baca di sini!!!]
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]
Comments
Post a Comment