Skip to main content

Ranjang-Ranjang yang Berjarak [PTS 13]

 

Ilustrasi dibuat oleh AI (Gemini).

"Halo, selamat datang di Bab 13, cerita bersambung (cerbung) "Pelukan yang Tak Selesai". Bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, silahkan baca di sini!!!"


Bab 13
Ranjang-Ranjang yang Berjarak

Cerita oleh: Cendekia Al Azzam


Pagi itu, langit mendung menyelimuti kota. Hujan belum turun, tapi udara basah seakan menyimpan rahasia. Tinara berdiri di depan jendela kamar, mengenakan daster tipis dan memeluk tubuhnya sendiri. Di belakangnya, ranjang yang masih hangat bekas Faiz tertidur, kini kosong. Ia sedang di dapur, membantu menyiapkan sarapan anak-anak. Rutinitas yang berjalan seperti biasa, namun tak lagi terasa biasa.


Tinara menutup matanya sejenak. Pelukan Faiz semalam masih membekas di kulitnya. Sentuhannya bukan hanya menyalakan gairah, tetapi juga rasa yang sulit dijelaskan. Bukan hanya tubuh yang menyatu, tapi juga luka-luka yang saling dipahami. Ia tahu ini salah. Tapi ia juga tahu, dari semua yang salah dalam hidupnya, hanya ini yang membuatnya merasa hidup.


Di ruang kerja lantai atas, Suwantra duduk dengan laptop terbuka namun layar kosong. Matanya terpaku pada jendela. Hatinya resah. Ia mulai menyadari perubahan-perubahan kecil yang dulu ia anggap remeh. Senyum istrinya yang makin jarang untuknya, suara pelan-pelan di malam hari, bahkan caranya menatap Faiz — terlalu lama, terlalu hangat. Ia merasa kehilangan arah di rumahnya sendiri.


Sore itu, ia memutuskan bicara dengan Faiz. Bukan sebagai orang tua asuh, tapi sebagai lelaki yang merasa tak lagi memiliki kendali atas keluarganya.


"Faiz, kuta bisa bicara sebentar?"


Faiz menoleh, menaruh buku yang sedang dibacanya. "Ya, Pak?"


Suwantra menatapnya dalam. "Kamu betah di sini, kan?"


"Betah sekali, Pak. Anak-anak baik, Bu Tinara juga perhatian... dan Bapak sendiri sangat terbuka. Saya banyak belajar."


Senyum itu polos. Namun bagi Suwantra, ada sesuatu di baliknya yang membuat dadanya sesak.


"Kalau suatu hari nanti kamu merasa waktunya keluar dari sini, bilang saja, ya. Jangan tiba-tiba. Biar saya bisa siapin semuanya."


Faiz mengangguk, tapi jelas wajahnya berubah. Sementara itu, Tinara yang mendengarnya dari balik pintu, menggigit bibirnya. Ia tahu — ini bukan sekadar percakapan basa-basi. Ini peringatan halus.


Malam harinya, ranjang Suwantra dan Tinara terasa lebih dingin dari biasanya. Mereka sama-sama membisu. Punggung saling membelakangi. Tak ada sentuhan, tak ada percakapan. Jarak yang dulu lahir dari kelelahan kini tumbuh menjadi jurang.


Di kamar sebelah, Faiz duduk termenung. Dada sesak oleh rasa bersalah, tapi juga keinginan yang tak bisa dipadamkan. Tatapan Tinara sore tadi — yang memohon, yang takut — masih membayang. Ia tahu waktunya mungkin tak lama. Tapi malam ini, ia masih di sini.


Pelan-pelan, langkah kaki terdengar menuju kamarnya. Pintu diketuk perlahan.


"Faiz..."


Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Tapi cukup untuk membuat jantung Faiz berdegup lebih cepat.


Ia membuka pintu. Tinara berdiri di sana, mata berkaca-kaca.


"Aku nggak bisa tidur."


Ia tak bicara. Hanya membuka pintu lebih lebar, membiarkannya masuk. Dan di kamar yang sempit itu, dua jiwa kembali menyatu. Bukan dalam hasrat belaka, tapi dalam ketakutan kehilangan dan keinginan mempertahankan yang semu.


Di lantai atas, Suwantra duduk di ruang kerja, menatap layar kosong. Ia tahu, malam ini, ranjang di kamarnya akan tetap dingin. Dan rumah ini... bukan lagi tempat yang bisa ia sebut pulang dengan penuh yakin.


Bersambung...


Full Cerbung Pelukan yang Tak Selesai [Baca di sini!!!]

Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...