Skip to main content

Yang Tersisa di Antara Kita [Cerbung PTS 15]

Yang Tersisa di Antara Kita (Cerbung) Pelukan yang Tak Selesai. (Foto oleh AI/Gemini).


"Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karya-karya kami. Sehat selalu untuk kalian semua. Alhamdullilah, tak terasa sudah tiba di bab 15, semakin mendekati bab-bab akhir nih. Gimana ceritanya, cerita dong di kolom komen! Ohya, bagi yang kelewatan bab sebelumnya, boleh baca di sini ya!!!"


Bab 15 – Yang Tersisa di Antara Kita

Oleh: Cendekia Al Azzam 


Minggu-minggu setelah kepergian Faiz berjalan perlahan seperti gerimis yang tak kunjung reda. Di rumah itu, aroma kopi pagi, suara anak-anak yang ribut kecil, dan ketukan alat masak di dapur kembali menjadi irama harian. Namun, di antara semua yang tampak tenang, ada getar yang berbeda di dada Tinara.


Ia kerap berdiri di depan jendela kamar, memandangi taman kecil yang dulu sering mereka duduki bersama Faiz. Setiap sudut rumah menyimpan jejak: gelas yang biasa digunakan Faiz, buku catatan di rak dekat sofa, dan sehelai jaket yang ia lupa bawa saat pergi. Semua menjadi peninggalan sunyi, membisikkan kenangan dalam diam.


Sementara itu, Suwantra menjadi sosok yang makin tenang. Kecelakaan yang sempat dialaminya menjadi tamparan halus yang membuatnya sadar: rumah yang dulu ia abaikan sedang menunggunya kembali. Ia mulai lebih sering berbicara dengan anak-anak, mencium kening istrinya sebelum berangkat kerja, dan duduk menonton televisi di malam hari meski hanya diam bersama.


Di suatu malam, Tinara memberanikan diri bercerita. Tentang rasa mual di pagi hari yang makin kuat, tentang kelelahan yang tak biasa. Suwantra merengkuhnya dengan pelan, mencium dahinya, dan berkata, "Mungkin ini hadiah dari Tuhan. Kita akan mulai lagi, dari awal."


Tinara ingin menangis. Bukan karena bahagia saja, tapi karena rasa bersalah yang perlahan tumbuh, seperti akar kecil yang menembus tanah hatinya. Ia tidak tahu sampai kapan bisa menyimpan rahasia itu. Tentang cinta diam-diam yang sempat tumbuh, dan mungkin, tentang darah yang kini mengalir dalam janinnya.


Ia memutuskan menuliskan semuanya dalam sebuah jurnal. Hal-hal yang tidak bisa ia katakan pada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri. Dalam buku itu, ia menulis tentang pagi terakhir bersama Faiz, tentang pelukan terakhir, tentang kecupan dan bisikan yang masih terngiang dalam ingatan. Jurnal itu ia simpan rapi di balik lemari pakaian, dengan pengunci kecil, seakan berharap waktu akan melindunginya.


Beberapa kali, ia mengira Faiz akan datang. Mengetuk pintu, menyapa anak-anak, atau sekadar mengambil jaketnya. Tapi rumah itu tetap tenang. Dan Faiz tetap menjadi cerita diam yang hanya ia genggam sendiri.


Suatu pagi, ketika mentari belum sepenuhnya terbit, Tinara duduk di ruang makan. Anak-anak masih tidur, Suwantra bersiap ke kantor. Saat ia menatap wajah lelaki itu, ia tahu, bahwa cinta bisa tumbuh kembali. Bukan karena lupa, tapi karena memilih untuk terus bertahan.


Suwantra mencium pipinya, membelai perutnya yang mulai mengeras.


"Kita akan baik-baik saja, ya?"


Tinara mengangguk. Senyum tipis menghias wajahnya.


"Akan butuh waktu... tapi ya, kita akan baik-baik saja."


Dan pagi itu, suara burung-burung kecil di halaman menyambut hari baru. Hari yang menyimpan rahasia, luka, cinta, dan harapan. Semua tertinggal di satu rumah kecil, di hati dua insan yang memilih untuk terus pulang meski arah pernah melenceng jauh.


---

Bersambung ...

Full Cerbung Pelukan yang Tak Selesai [Baca di sini!!!]

Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...